Hubungan Tegang AS-Turki

Smith Alhadar Penasihat ISMES; Presiden Direktur Institute for Democracy Education (IDE)
26/8/2016 00:30
Hubungan Tegang AS-Turki
(DHA via AP)

PADA 24 Agustus, militer Turki bersama milisi-milisi oposisi Suriah menyerbu Suriah untuk menaklukkan Islamic State (IS) di Kota Jarablous, Suriah Utara. Serbuan besar-besaran Turki tidak hanya bertujuan menghancurkan IS yang belakangan gencar melakukan teror di Turki, tapi juga menghancurkan Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi Kurdi dukungan AS, yang hendak menyerang Jarablous guna menyatukan seluruh wilayah Kurdi di Suriah Utara dan Timur Laut di bawah kendali YPG. Pada hari yang sama, Wakil Presiden AS Joe Biden tiba di Ankara. Biden menyatakan dukungan AS terhadap serbuan Turki itu, bahkan AS ikut mengerahkan pesawat tempur untuk membantu koalisi pasukan Turki, dan meminta YPG mundur ke seberang timur Sungai Eufrat untuk menghindari bentrokan dengan pasukan Turki. Meskipun demikian, hal itu tidak serta-merta memuaskan Turki. Sudah lama Turki prihatin dengan perkembangan YPG dukungan AS yang terus membesar sejak berakhirnya kehadiran militer rezim Suriah di Suriah Utara dan Timur Laut akibat perang saudara di seluruh negeri itu. Keprihatinan Turki berubah menjadi kekhawatiran ketika pada Maret silam YPG memproklamasikan berdirinya wilayah federal di Suriah Utara dan Timur Laut.

Turki memandang YPG sebagai bagian dari kelompok separatis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara. Berdirinya wilayah otonomi Kurdi di seberang perbatasan Turki bagian tenggara dan selatan akan semakin mendorong aktivitas politik dan militer PKK untuk memperoleh wilayah otonomi serupa bagi warga Kurdi di Turki tenggara. Apalagi, di Irak utara, yang berbatasan dengan Turki tenggara, juga telah berdiri wilayah otonomi Kurdi.
Dalam menghadapi krisis Suriah, AS lebih fokus menghadapi IS. Kebetulan di antara milisi-milisi oposisi Suriah, hanya YPG yang bisa diandalkan untuk menghancurkan IS. Hal itu sudah terbukti saat YPG, dengan bantuan serangan udara AS, berhasil membebaskan Kota Kobani, Tal Abyad, dan terakhir Manbij dari tangan IS. Kini YPG tinggal 50 kilometer dari Raqqa, ibu kota de facto IS di Suriah. Hubungan Turki-AS makin tegang saat Washington mengisyaratkan akan mendukung negara demokrasi federal di Suriah sebagai solusi krisis Suriah. Suriah akan dibagi menjadi empat wilayah federal: wilayah Kurdi di timur laut, Alawiyah di utara, Arab Sunni di tengah, dan komunitas Druz di selatan. Peringatan Biden di Ankara bahwa AS akan menarik dukungan kepada YPG kalau mereka menyeberang ke sisi barat Sungai Eufrat tidak memuaskan Ankara karena YPG telah menguasai wilayah yang begitu luas dan telah menjalankan pemerintahan otonomi. Sementara itu, anggota PKK dari Turki dan Irak telah menyusup masuk ke wilayah yang dikuasai YPG.

Ketegangan hubungan Turki-AS tidak hanya terkait dengan fenomena YPG, tapi juga masalah ulama liberal Muhammad Fethullah Gulen--yang mengasingkan diri di Pennsylvania, AS, sejak 1999--yang dituduh Ankara mengotaki kudeta gagal di Turki pada 15 Juli lalu. Sesungguhnya, kedatangan Biden di Turki berfokus pada masalah Gulen. Pemerintah Erdogan menuntut Gulen diekstradisi ke Turki untuk menghadapi proses hukum yang hingga kini tak dapat dipenuhi AS.
Turki dan AS terikat perjanjian ekstradisi dan kedua negara harus menjalankan serangkaian prosedur hukum serta memenuhi bukti standar sebelum permintaan ekstradisi resmi dipenuhi. Perjanjian ekstradisi itu ditandatangani Turki dan AS pada 1979 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1981. Perjanjian itu mencantumkan 33 tindakan kejahatan yang merupakan dasar bagi ekstradisi, termasuk pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, pencemaran nama baik, dan pembakaran rumah dengan sengaja. Untuk menjadi dasar ekstradisi, pelaku harus melakukan kejahatan di kedua negara dan dapat dihukum penjara setidaknya selama setahun. Ekstradisi bisa juga diberikan jika seseorang berupaya melakukan kejahatan demikian atau bantuan yang diberikan dalam menjalankan kejahatan yang dapat diekstradisi. Geoff Gilbert, profesor di Universitas Essex di bidang HAM internasional dan hukum humanitarian, mengatakan AS harus menjawab dua pertanyaan pokok untuk memenuhi persyaratan hukum dasar untuk ekstradisi: apakah itu kejahatan berupa upaya menjatuhkan pemerintah dan apakah itu memiliki yurisdiksi ekstrateritorial untuk menuntut dalam kasus Gulen? Bagaimanapun, klausul dalam perjanjian ekstradisi itu menyatakan ekstradisi tidak akan dipenuhi bagi suatu kejahatan jika kejahatan itu berwatak politik, atau ekstradisi berupaya menuntut atau menghukum seseorang berdasarkan pada opini politiknya.
Menurut Bruce Zagaris, pengacara di Berliner Corcoran & Rowe LLP dengan pengalaman kasus-kasus ekstradisi AS, proses itu bergantung pada kejahatan apa yang akan didakwa Turki terhadap Gulen. Pengkhianatan dan persekongkolan untuk menjatuhkan pemerintah ialah tuduhan-tuduhan yang secara umum akan diperlakukan sebagai kejahatan politik dan AS dapat menolak mengekstradisi Gulen berdasarkan tuduhan-tuduhan itu.
\
Namun, jika Turki dapat memberikan bukti bahwa Gulen terlibat langsung dalam konspirasi untuk melakukan pembunuhan, misalnya, akan lain persoalannya. Sejauh ini Turki telah mengirimkan empat dokumen ke AS. Dalam konperensi pers di Ankara setelah bertemu Perdana Menteri Turki Binali Yildirim, Biden mengatakan para ahli hukum AS sedang bekerja untuk mengevaluasi bukti yang diberikan Turki yang masih perlu diserahkan kepada pengadilan AS untuk ekstradisi.
Tentu proses itu akan memakan waktu bertahun-tahun. Biden gagal menawarkan solusi cepat (solusi politik) sebagaimana diharapkan Turki. AS hanya mengusulkan pembentukan suatu mekanisme untuk mengatasi masalah ini pada tingkat pejabat senior. Bagaimanapun, jika dilihat dari perjanjian ekstradisi itu--kudeta berwatak politik--kecil kemungkinan AS akan mengekstradisi Gulen. Dengan demikian, ketegangan hubungan Turki-AS masih akan panjang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya