Ahok-Djarot Jilid Dua

Romanus Ndau Lendong Dosen Universitas Bina Nusantara
26/8/2016 00:15
Ahok-Djarot Jilid Dua
(MI/ROMMY PUJIANTO)

SETELAH gagal meminang Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, PDI Perjuangan akhirnya kembali menduetkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada DKI 2017. Kepastian itu diperoleh setelah Ahok-Djarot bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, Rabu (17/8), di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Meski belum diumumkan secara resmi, kepastian tersebut merupakan babak baru dari dinamika proses Pilkada DKI 2017. Koalisi Kekeluargaan yang awalnya bernafsu mengalahkan Ahok kini tergembosi karena hanya menyisakan enam parpol, yakni Gerindra, Demokrat, PPP, PKB, PAN, dan PKS dengan total kursi 44. Sebaliknya, parpol pendukung Ahok-Djarot yang terdiri atas NasDem, Hanura, Golkar, dan PDI-P semakin berdigdaya dengan akumulasi kursi mencapai 61. Tulisan itu berasumsi bahwa dukungan PDIP bagi Ahok-Djarot jilid dua benar adanya.

Rekonsiliasi politik
Menduetkan kembali Ahok-Djarot merupakan pilihan politik yang menarik dicermati. Pertama, duet itu menjadi ajang rekonsiliasi politik bagi Ahok dan PDIP. Keduanya bersimbiosis, saling membutuhkan, dan menguatkan. PDIP memiliki andil besar karena mengusung Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2012. Sebaliknya, Ahok yang meneruskan kepemimpinan Joko Widodo di DKI berperan mendongkrak popularitas dan legitimasi politik PDIP. Betul, belakangan, kemesraan di antara keduanya terganggu, lebih tepatnya kurang harmonis. Sebagian kader PDIP kurang menerima sikap Ahok yang terkesan semena-mena dan kurang memedulikan tata krama yang telah ditetapkan PDIP, misalnya, soal mekanisme pencalonan. Namun, tidak ada persoalan prinsip yang membuat keduanya terpisah dan harus saling berhadapan. Ahok sendiri menjalin relasi personal yang sangat positif dan produktif dengan Megawati Soekarnoputri. Ini yang membuat peluangnya tetap terbuka untuk dijagokan PDIP. Kalaupun terlihat riak-riak penolakan terhadap keputusan kembali menduetkan Ahok-Djarot, saya kira itu soal biasa dan sifatnya sementara. Demokrasi memang tidak berarti semua harus sepakat dan jangan sampai melenyapkan keberagaman pandangan politik.

Kedua, duet Ahok-Djarot bisa mematahkan kelaziman pecahnya kongsi pasangan kepala daerah dalam setiap suksesi politik. Data yang dihimpun Kementerian Dalam Negeri mencatat 95% pasangan kepala daerah saling berhadapan dalam penyelenggaraan pilkada. Soal itu biasanya memicu pertarungan sengit yang diwarnai dengan intrik-intrik politik yang kurang sejalan dengan etika dan moral, eksploitasi sentimen etnik dan agama, politik uang, hingga kekerasan fisik. Meski secara politik mudah dipahami, dalam jangka panjang, fenomena itu justru mendegradasi keluhuran demokrasi. Dalam kasus Ahok-Djarot, publik tidak melihat ada persaingan di antara keduanya. Tak terdengar perbedaan pendapat, apalagi konflik, yang mengganggu berjalannya roda pemerintahan DKI Jakarta. Justru keduanya berbagi peran, saling mengisi, dan melengkapi. Harmoni selalu terjaga. Djarot mengaku tak ada kendala saat bekerja sama dengan Ahok. Jadi, tidak ada alasan bagi keduanya untuk berpisah. Apalagi, survei Indobarometer menyebutkan 67% pendukung PDIP setuju menduetkan kembali kedua figur tersebut.

Memang akhir-akhir ini muncul kesan adanya rivalitas antara Ahok dan Djarot, tetapi saya kira itu isu yang sengaja ditiupkan para penentang Ahok. Harus diakui ada kelompok yang memang tidak menghendaki mantan Bupati Belitung Timur itu kembali memimpin DKI. Segala macam cara ditempuh dari isu korupsi UPS, polemik APBD DKI, kasus RS Sumber Waras, hingga tuduhan sebagai sosok tak beretika. Terakhir sempat diupayakan untuk mendatangkan Risma dari Surabaya demi memupus impian Ahok kembali memimpin Ibu Kota. Ketiga, Ahok-Djarot merupakan duet realistis karena duet itu paling populer sehingga diprediksi dengan mudah memenangi pertarungan dalam Pilkada DKI 2017. Dukungan politik yang kuat, sokongan Teman Ahok, dan penerimaan publik membuat duet Ahok-Djarot sulit tertandingi. Ini tentu sangat disadari PDIP. Sebagai pemenang Pemilu 2014, PDIP jelas tidak mau mengambil risiko kehilangan dominasi di Ibu Kota. Siapa pun paham memenangi kekuasaan di DKI Jakarta sangat prestisius, sebab bisa menjadi barometer politik nasional. Sikap Ahok yang terkesan sangat spontan, blak-blakan, dan cenderung konfrontatif memang sering menuai kritik tajam, bahkan penolakan. Apalagi banyak orang sudah terbiasa dengan penilaian kultur ketimuran yang seharusnya santun dan menjunjung tinggi harmoni. Namun, penilaian itu jelas kurang berdasar karena budaya sifatnya plural, relatif, dan sulit diseragamkan. Nilai pokok etika ialah kejujuran dan keadilan. Soal cara, itu periferi sifatnya. Apa gunanya berkata lemah lembut kalau di baliknya mengandung dusta? Setiap pemimpin, termasuk Ahok, memiliki keterbatasan-keterbatasan. Namun, itu soal lumrah. Kita memang tidak butuh sosok sempurna bak malaikat karena memang tidak pernah ada. Kita butuh pemimpin biasa, bisa salah dan marah, tetapi selalu berikhtiar untuk melakukan yang terbaik bagi kemajuan bangsa. Kalau mau jujur, inilah kekuatan Ahok yang membuatnya tetap didambakan sebagian besar publik Jakarta.

Keberlanjutan penataan Ibu Kota
Ibu Kota adalah jendela dunia. Kemajuan suatu bangsa, dalam banyak hal, bisa ditakar dari wajah Ibu Kota yang biasanya dijadikan role model pembangunan nasional. Karena itu, menata DKI Jakarta merupakan pekerjaan teramat berat. Persoalannya, Jakarta, kota kebanggaan bangsa, sejauh ini belum maksimal menghadirkan kenyamanan dan kegembiraan bagi warganya. The Economist pernah menempatkan Jakarta sebagai kota paling tidak aman di dunia. Kota ini tertinggal jauh dari Melbourne, Viena, Vancouver, Toronto, dan Calgari, lima kota teraman di dunia. Tingginya kriminalitas, kemacetan, dan banjir ialah masalah pokok yang mendera Jakarta. Setiap saat, warga Jakarta dilanda kecemasan, ketakutan, dan terkepung oleh kemacetan hebat. Rata-rata 4 jam setiap hari warga Jakarta menghabiskan waktu di jalanan. Persoalan itu tentu harus diatasi secara serius. Diperlukan sosok pemimpin yang tegas, berani, dan berintegritas untuk menata Jakarta. Ahok-Djarot sudah memulainya. Tanah Abang dirapikan, Kalijodo ditertibkan, dan taman-taman kumuh diperindah. Secara perlahan, kemacetan mulai dikurangi dan banjir tak lagi menjadi momok bagi warga DKI. Pembenahan Jakarta akan terus berlanjut seandainya Ahok-Djarot kembali memimpin DKI.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya