Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak

Nurhayati, Guru di Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
22/8/2016 09:15
Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak
(MI/Duta)

BELAJAR di sekolah saja bersama guru tampaknya belum dapat dijadikan satu-satunya keberhasilan dari proses pembelajaran bagi pelajar di Indonesia. Kebanyakan dari mereka masih membutuhkan peran orang tua sebagai guru di luar sekolah (rumah).

Sejak 1980-an, keterlibatan orang tua dengan sekolah menjadi sebuah isu besar yang harus dipertimbangkan policy maker pendidikan. Pada dasarnya, definisi dari keterlibatan orang tua dalam banyak kasus lebih menjurus kepada proses encouragement yang dilakukan di rumah yang dapat mendukung segala kekurangan dari proses pembelajaran yang telah diperoleh di sekolah, seperti memonitor pekerjaan rumah dan memberikan motivasi belajar.

Selain itu, keterlibatan orang tua juga memiliki hambatan yang cukup pelik, mengingat tak sedikit dari orang tua sesungguhnya merupakan bagian dari birokrasi kependidikan dan juga tak sedikit bagian dari partai politik.

Sejak mengemuka jargon 'sekolah gratis', pemerintah seperti menutup kesempatan bagi orang tua dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses belajar-mengajar di sekolah.

'Sekolah gratis' seakan meninabobokan partisipasi aktif orang tua dan masyarakat yang sejak lama menjadi kekuatan pendidikan di Indonesia.

Jika menengok sejarah, sebelum keluarnya Inpres 10 Tahun 1975, peran masyarakat dan orang tua sangat kuat, bahkan lebih banyak dari peran pemerintah sekalipun. Tak sedikit madrasah dan sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat bertumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Namun, setelah terjadi arus perubahan politik dengan sistem demokrasi terbuka seperti sekarang ini, banyak politikus yang tidak dewasa dan memanfaatkan jargon 'sekolah gratis' untuk tujuan sempit.

Finnish lesson
Berbeda dengan model pendidikan di Finlandia, sebagaimana diungkapkan oleh penulis buku best-seller yang berjudul Finnish Lessons dan juga memenangi 2013 Grawemeyer Award, Pasi Sahlberg, bahwa keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran anak tidak menjadi fokus utama karena orang tua percaya sepenuhnya terhadap sekolah yang sangat well-prepared sehingga tanggung jawab orang tua terhadap anaknya lebih kepada aktivitas di luar sekolah, seperti trip maupun event tertentu dalam komunitas sekitarnya.

Di Finlandia, pada tahun-tahun pertama sekolah, orang tua diharapkan dapat mengantar dan menjemput anak mereka untuk pergi dan pulang sekolah. Sama halnya dengan keterlibatan orang tua dalam acara sekolah dan secara sukarela menjadi komite sekolah, yakni anaknya mengikuti proses pembelajaran.

Model pendidikan di Finlandia tidak menitikberatkan pada peran orang tua sebagai layaknya guru di sekolah sehingga anak-anak menjadi lebih mandiri, dan pada level tertentu (<>high school), mereka akan bebas memilih subjek dan program sekolah yang sesuai dengan passion dan menjadikan sekolah sebagai tempat atau bahkan rumah kedua yang menyenangkan.

Sebagaimana telah diyakini bahwa keterlibatan orangtua dalam pendidikan dapat meningkatkan <>outcome anak, terutama dalam prestasi akademik seperti membaca, matematika, tes IQ, dan pembentukan karakter.

Berdasarkan riset yang dilakukan Cotton dan Wikelund (1989) mengenai parent involvement in education, orang tua yang aktif dalam mendukung proses belajar di rumah akan menghasilkan anak yang cerdas secara akademik jika dibandingkan dengan mereka yang pasif.

Hal ini dapat dijadikan sebagai sinyal bahwa anak yang telah menghabiskan waktu seharian di sekolah masih membutuhkan bantuan orang tua di rumah untuk menyelesaikan segala proyek dan tugas yang diberikan oleh guru.

Bahkan, beberapa sekolah melakukan pelatihan khusus untuk orang tua siswa agar perannya sebagai guru di rumah jauh lebih sempurna.

Wajar untuk mempertimbangkan pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak, terlebih jika proses pembelajaran yang diperoleh di sekolah tidak efektif.

Artinya, guru dan sekolah tidak menjalankan fungsi yang sebenarnya sebagai sarana dan tempat anak memperoleh pendidikan yang baik.

Guru di sekolah-sekolah Finlandia pada umumnya menyarankan orang tua untuk meninggalkan anaknya di sekolah dan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pihak sekolah akan keberhasilan proses belajar peserta didiknya.

Orang tua juga diharapkan tetap berada dalam perannya sehingga mereka masih memiliki cukup waktu mengurus hal lainnya di rumah.

Guru-guru di Finlandia juga percaya bahwa secara pedagogi, mereka ialah yang paling paham akan kebutuhan siswanya sehingga mampu memenuhi apa yang seharusnya diperoleh peserta didik dalam proses pembelajaran.

Tidak salah jika orang tua terlibat dalam pendidikan anak, mereka sangat percaya diri bahwa kompetensi pribadi dan kompetensi guru yang telah terlatih secara profesional akan dapat membantu pengembangan belajar dan pembentukan karakter siswa di sekolah.

Ini ialah tanggung jawab sebagai seorang guru, mulai dari membuat perencanaan sampai menjalankan proses pembelajaran yang sesuai dengan passion dan kebutuhan peserta didik.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Venninen dan Purola baru-baru ini mengenai partisipasi orang tua dalam pandangan guru, ditemukan bahwa responden guru pada umumnya tidak menginginkan orang tua terlibat dalam proses perencanaan pembelajaran apalagi menjalankannya.

Hal ini dilatarbelakangi beberapa fakta bahwa orang tua tidak sepenuhnya paham akan kebutuhan individual maupun sekelompok siswa dalam perkembangan pendidikan mereka.

Terlepas dari pro-kontra keterlibatan orang tua untuk mendukung proses pembelajaran anak di sekolah, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan kembali sisi positif dan negatif dari berbagai perspektif yang berbeda.

Untuk memutuskan sesuatu itu baik, apalagi untuk pendidikan anak, tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi sehingga orang tua tidak pernah tahu ada sisi lain yang boleh saja lebih cocok dengan kebutuhan anak.

Sebagai contoh, anak yang di sekolahnya tidak memiliki passion di bidang matematika, ditandai dengan perolehan nilai yang jelek sehingga orangtua berkesimpulan bahwa anak tersebut butuh bimbingan tambahan di luar sekolah, dan pada akhirnya justru menambah beban belajar anak sampai pada titik jenuh dan hilangnya semangat untuk belajar.

Mengutip kembali apa yang pernah dikatakan Sahlberg, bahwa "he believes it is important that learning should be enjoyable, and all kids should be happy to go to school."

Membuat anak dan orang tua gembira dengan proses pendidikan ialah tanggung jawab semua pemangku kepentingan.

Karena itu, meningkatkan partisipasi orang tua dalam pendidikan pada semua level dan jenjang ialah imperatif, dan cara-cara kreatif dan inovatif tentang bentuk partisipasi orang tua bisa berasal dari dan atas inisiatif sekolah dan juga orang tua.

Syukur jika pemerintah juga peduli dengan menyediakan anggaran workshop untuk peningkatan kapasitas orang tua dan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi mereka dalam membangun dan mewujudkan kualitas pendidikan yang lebih baik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya