Rekor

Suprianto Annaf Redaktur Bahasa Media Indonesia
21/8/2016 06:00
Rekor
()

PRESIDEN Joko Widodo dan Arcandra Tahar sama-sama mencetak rekor. Rekor tak lazim rupanya. Untuk Jokowi, rekor itu disandangkan sebagai presiden tercepat ‘memecat’ menterinya. Bagi Arcandra, rekor itu diberikan sebagai menteri tercepat memegang jabatan. Pelabelan itu muncul selang beberapa menit setelah menteri ESDM itu diberhentikan.

Tentu saja itu pelabelan yang semena, serampangan, dan konyol. Dalam pengetahuan bersama, rekor lebih identik dengan kebaikan, kesuksesan, atau keberhasilan. Orang dikatakan mencetak rekor tentu saja karena mencatat hal terbaik. Misalnya dalam hal prestasi olahraga, pencetak rekor tentu memiliki prestasi yang melebihi olahragawan kebanyakan dalam bidangnya. Bisa pula, dalam rekor Muri, karena mampu membuat, katakan saja, donat terbesar, satai terpanjang, atau orkestra dengan anggota terbanyak. Singkatnya torehan rekor diperuntukkan hal yang bernilai positif dan bermanfaat. Di samping itu, rekor setidaknya memiliki pembanding dengan sebelumnya.

Dalam konteks Arcandra dan Jokowi, pemaksudan rekor tentu berbeda. Bisa juga karena masyarakat menyindir. Tentu pula itu jauh dari sanjungan atau prestasi. Kata rekor untuk Presiden lebih pada kecerobohan mengangkat sang bawahan yang berdwikewarganegaraan. Hal itu notabene tidak pernah terjadi pada enam presiden sebelumnya. Pun untuk Arcandra, dalam hukum positif Indonesia, dia menteri pertama yang berkewarganegaraan asing.

Dalam masyarakat pemakai bahasa, kecenderungan pelabelan positif pada sesuatu yang negatif kerap terjadi. Entah itu disebabkan ketidaktahuan, kelucuan semata, entah kerancuan makna. Misalnya, pada saat Zarima Mirafsur, sebagai model, tertangkap membawa 30 ribu pil ekstasi, masyarakat, media massa, atau siapa pun menyebut dan melabelinya sebagai ‘ratu ekstasi’. Menukar kata ratu yang positif, karena sebenarnya dilabelkan pada perempuan kerajaan yang ningrat dan terhormat, dengan kata ratu yang buruk, tak biasa, dan negatif tentu saja merupakan penggantian yang merendahkan dan melemahkan makna.

Pada hal yang lain, masyarakat merendahkan makna yang dikandung kata bintang. Benda langit yang indah, menarik, dan menakjubkan itu selama ini disepadankan untuk mewakili kehebatan, ketenaran, dan kepintaran. Tak sedikit hal positif bersanding dengan kata bintang, seperti bintang kelas. Ini semata-mata karena siswa atau mahasiswa itu mampu mengungguli siswa lain di sekolah atau di kampus. Begitu pula dengan predikat bintang film dan bintang olahraga. Kedua gabungan itu tentu bereferensi pada hal yang positif.

Namun, belakangan ini ada kesamaran makna karena bintang mulai disandingkan dengan hal bermakna negatif, asusila, dan rendahan. Sering ditemukan kata bintang berfrasa dengan kata seks sehingga disebut bintang seks. Ada pula kata bintang porno dan bintang sabu.

Kalau semua kata positif seperti rekor, ratu, dan bintang direndahkan dan disemenakan, tentu saja di masyarakat bahasa akan muncul pasangan kata yang beralih makna, bercampur baur, dan tidak bernilai. Sulit dibayangkan kalau saja nanti ada kata bintang korupsi, bintang begal, dan bintang cabul. Pun tak terperi rasanya bila muncul ratu seks, ratu copet, atau ratu bohong.

Sejatinya pelabelan itu terkesan dipaksakan. Sering kali pelabelan itu sekadar mengolok-olok tanpa merunut makna dasar kata itu. Padahal, kata sebagai diksi memiliki rujukan dan nilai rasa yang semestinya kuat dan tepat. Bukan abai dan sensasional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya