Ironi Kemerdekaan Kita

Silvian M Mongko Pengamat politik
19/8/2016 00:10
Ironi Kemerdekaan Kita
(MI/Susanto)

BENARKAH usia 71 tahun kemerdekaan RI berhasil menghantar bangsa ini kepada kedaulatan dan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian sejati? Sebuah gugatan yang tak mudah dipertanggungjawabkan. Kemerdekaan yang kini mesti memasuki fase kematangan tidak serta-merta mewujudkan manusia Indonesia berjiwa nasionalis, berdaulat, dan merdeka lahir dan batin. Kemerdekaan yang telah diterima sebagai berkah dan anugerah keringat darah para pendahulu serta pahlawan bangsa ini, kini menyisakan aneka persoalan kehidupan. Bangsa kita masih dibelenggu kemiskinan dan pemiskinan, daya tipu pembangunan, penindasan dan diskriminasi, ketimpangan sosial, intoleransi, dan problem kemanusiaan.

Beban sejarah
Beban sejarah dan kolonialisme yang berakar telah merekayasa jiwa manusia berkebudayaan Nusantara ini menjadi manusia Indonesia berjiwa pecundang. Penjajahan berabad-abad meninggalkan trauma sejarah dan beban mental yang terlampau berat diwariskan dan dipikul anak-cucu keturunan. Semangat nasionalisme dan kedaulatan terus diguncang kekuatan-kekuatan asing yang mengalir bersama arus globalisasi. Dari sektor politik, kita terus disuguhi perlakuan elite yang sibuk dengan politik kepentingan, transaksional, dan pragmatis. Politik bukan lagi urusan yang melampaui diri sendiri, melainkan sebuah proses penggalangan kekuasaan untuk menjamin operasionalisasi kepentingan diri dan kelompok oligarkis. Maka KKN tetap menjadi persoalan klasik yang terus memiskinkan negeri ini. Di sektor sosial, jiwa pecundang bangsa kita lahir dalam semangat kecurigaan yang tinggi. Bangsa yang memiliki jiwa kecurigaan demikian akan dengan mudah menafsir perbedaan sebagai musuh, bukan sebagai kekayaan demi merajut kebersamaan.

Mentalitas hamba
Demikian halnya pada sektor budaya. Karena kolonialisme dan beban sejarah turut menanamkan mentalitas hamba, kita menjadi tidak percaya diri, minder, dan enggan untuk memberi apresiasi atas kekuatan budaya kita sendiri, bahkan tak sanggup lagi memaknai secara positif warisan nilai budaya sendiri. Karena akar budaya yang begitu rapuh, kita menjadi manusia yang demikian mudah ditipu oleh daya tipu dan pengaruh negatif yang masuk. Kekalahan budaya ini terjadi pada fase ganda: (1) kerapuhan untuk memaknai budaya sendiri; (2) ketaksanggupan untuk menyaring budaya dari luar. Persoalan krusial lain yang sangat mengerikan saat ini ialah pengaruh narkoba yang menyerang masa depan generasi muda khususnya. Karena akar budaya sendiri yang rapuh, sekian sering kita menjadi hamba kapitalisme dan kusir kejahatan narkoba. Dari pihak pemimpin, mentalitas hamba demikian terjebak dalam nafsu cepat untuk menyelesaikan persoalan tanpa landasan etis-moral yang matang dan pertimbangan kemanusiaan. Hukuman mati bukanlah cara etis untuk menyelesaikan masalah narkoba. Sampai kapan pun tidak akan menyelesaikan masalah narkoba tanpa teladan moral-etis dari para pemimpin dan elite politik negeri ini.

Cita-cita revolusi mental akan tetap menjadi retorika dan bahasa pasar politik. Korupsi ialah satu dari sekian kanker politik yang paling berkontribusi memiskinkan negara dan menindas hak-hak rakyat. Korupsi yang didalangi institusi negara dan penegak hukum bahkan menjadi sebuah isyarat betapa negeri ini sudah tak punya rujukan moral dan budaya sendiri lagi dalam setiap tindakan publik. Dugaan keterlibatan dan korupsi di lembaga hukum (Polri, BNN, dan TNI) ialah kisah yang amat menyedihkan di usia ke-71 republik ini. Sementara itu, di sektor pendidikan, kita masih memelihara persoalan yang seakan menembus zaman. Kesenjangan sosial antara siswa miskin dan kaya. Antara daerah kota dan desa serta masalah sarjana abal-abal yang tak laku di pasar kerja adalah sedikit dari persoalan pendidikan yang amat kompleks. Paradigma pendidikan masih mengarah kepada mencari pekerjaan, bukan menciptakan lapangan kerja. Sementara itu, bagi elite tertentu, pendidikan masih dipolitisasi untuk kepentingan dan investasi politik. Nasib pendidikan kian tak menentu. Kalau pendidikan seperti itu, mau dibawa ke mana peradaban kita? Pemerasan, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan intoleransi masih menjajah negeri ini dari waktu ke waktu sebagai buah dari tirani jiwa pecundang dan mentalitas hamba bangsa ini. Bahkan kini kolonialisme bentuk baru lebih ganas dari sekadar peperangan fisik. Kini musuh negara justru produk generasi kita sendiri lantaran ketaksanggupan memaknai dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sudah dicetuskan pendiri bangsa kita. Dengan demikian, kebebasan dan kemerdekaan lahir-batin sebetulnya sebuah pergumulan sosial-politik anak-anak negeri untuk terus menembus kepekatan zaman.
Sebuah perjuangan tanpa akhir, jika kita tak mau menjadi generasi yang terus mewarisi kekerdilan berpikir dan berjiwa pecundang dari waktu ke waktu.

Referensi etis
Agenda perubahan melalui pembangunan karakter dan cita-cita kemerdekaan akan terwujud kalau kesadaran itu betul-betul dihayati para pemimpin. Banyak ironi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan di negeri ini justru terjadi karena aktor dan pelaku utamanya adalah para pemimpin. Ketika moral dan etika ditongsampahkan pemimpin, hukum pun bekerja lebih berat walau ujung-ujungnya lebih sebagai skenario memenangkan orang kuat. Bahkan sangat sering terjadi dalam praktik politik dan hukum kita, elite yang bermasalah (berat) sekalipun dapat dengan mudah kembali ke pucuk pimpinan. Sekali lagi, sebuah ironi kemerdekaan! Tak mengherankanlah jika krisis keteladanan dari atas begitu mudah menanamkan krisis kepercayaan di arus bawah. Sebab itu, pemimpin tak cukup hanya bermain retorika, tapi sungguh-sungguh menawarkan sebuah model baru, bukan sekadar cara baru. Pemimpin harus bisa menjadi referensi moral-etis masyarakat dan benar-benar mengurusi nasib rakyat. Pemimpin yang sibuk dengan kepentingan diri dan kelompok oligarkis dengan sendirinya ditolak dan dibenci rakyat yang waras. Di ruang sosial-politik sekarang, bangsa yang terus menangisi perlakuan elitenya menginginkan pemimpin sebagai pemecah masalah, bukan sumber masalah. Pemimpin yang tidak saja jujur, tapi juga berani untuk berjuang demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Di pihak lain, kemerdekaan demi keadilan dan hak-hak kemanusiaan perlu ditopang kekuatan massa. Kekuatan yang bukan sekadar mobilisasi massa, melainkan bermain dari level kesadaran. Kemerdekaan tak mungkin terwujud seutuhnya jika generasi penerus bangsa tak memiliki keberanian dan kesadaran kritis. Demokrasi sebagai roh kemerdekaan selalu mengandaikan kontrol kritis masyarakat sipil. Reformasi politik 1998 terjadi karena luapan kesadaran kritis yang tak terbendung lagi oleh kekuasan represif Orba. Maka dari itu, semangat demokrasi yang menjadi roh perubahan besar sejak reformasi mesti menjadi kekuatan politik massa yang terus dijaga dan dihayati semua lapisan masyarakat. Kita mengisi kemerdekaan ini dengan semangat cita-cita, usaha, dan kerja keras ke arah perubahan sosial, serta daya tahan yang tangguh untuk tetap bertahan pada karya keadilan dan kemanusiaan dalam situasi apa pun. Dengan demikian, kemerdekaan bukan sekadar seremonial, melainkan sebuah perayaan makna dan momentum untuk merefleksikan secara bersama. Sejauh mana kita mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, lalu apa yang mesti kita kerjakan selanjutnya. Manusia dengan semangat demikian tentulah bukan manusia berjiwa pecundang dan bermental hamba. Mari kita membangun optimisme demi RI yang merdeka lahir-batin. Salam kemerdekaan, dirgahayu negeriku.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya