Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PEMBALAP Formula Satu Indonesia, Rio Haryanto, dikabarkan didepak dari Tim Manor. Alasannya memang tidak sederhana: faktor biaya dan prestasi. Rio diberitakan hanya pernah menjadi yang terbaik ke-15 di GP Monako. Akan tetapi, di urutan berapa pun Rio menyudahi balapan, koran dan televisi Indonesia selalu menyematkan kata terbaik untuk Rio. Entah terbaik ke-15, terbaik ke-16, atau entah terbaik kesekian.
Secara morfofenemik, imbuhan teryang melekat pada dasar sifat baik memiliki arti 'paling'. Tentu saja makna paling itu akan mengontraskan bahwa tidak ada yang sama atau sebanding. Makna itu pun mengandung pesan bahwa itu satu-satunya: tidak dua, tidak tiga, apalagi lima belas. Kalau saja seorang siswa disemati kata terpintar, berarti dia yang terbaik, paling genius, dan nomor satu di sekolah itu. Begitu pun bila seorang pelari disemati kata tercepat, berarti dia berada paling depan dan terbaik catatan waktunya.
Namun, bagaimana predikat terbaik ke- 15 untuk Rio? Secara pragmatis berbahasa, pelabelan kata terbaik ke-15 merupakan penghalusan belaka. Pewarta menghindari kesan bahwa Rio terpuruk, tidak mendapat nilai, atau tercecer beberapa lintasan dari yang terbaik, yakni pembalap yang fi nis ke-1. Padahal, semua penyuka Formula Satu pun tahu bahwa penghitungan nilai hanya sampai 10 besar pembalap. Itu artinya Rio tidak pernah meraih angka satu pun selama balapan. Berarti pula Rio tak pantas disebut terbaik meskipun ke-15. Selain itu, penyematan predikat terbaik ke- 15 untuk Rio semata-mata alasan dukungan dan nasionalisme.
Kita bangga bahwa Indonesia memiliki pembalap di kelas profesional sekelas F1. Akan tetapi, sejatinya dukungan itu tidak perlu menga burkan makna. Kita tetap mendukung Rio, tetapi juga menonjolkan logika. Bisa saja pewarta menuliskan 'Rio berada di urutan ke-15'. Tentu saja kalimat itu sederhana, tetapi berlogika. Penghalusan makna kata seperti itu memang tetap saja kerap terjadi. Eufemisme di era Orde Baru tidak bisa hilang hingga ke akarakarnya. Tetap ada meski tersamar. Sebagai contoh, koran nasional selalu saja menuliskan kata diduga pada pelaku kejahatan yang belum memiliki hukum tetap. Padahal, secara fakta telah ditemukan barang bukti pada diri pelaku.
Koruptor yang ditangkap tangan beserta tumpukan uang tetap saja diberitakan 'terduga koruptor'. Bahkan sering pula diperhalus dengan 'terduga penyalahgunaan anggaran'. Ada lagi penghalusan kata 'terduga terorisme' terhadap sekelompok bersenjata yang sudah diperangi aparat berbulan-bulan. Bahkan sudah jatuh korba n tembak pun masih dilabeli 'terduga teroris'. Meski sudah banyak berkurang bila dibandingkan dengan Orde Baru, pemakaian kata oknum dan kata diamankan pihak kepolisian pun masih saja muncul di media massa.
Tak jarang pemakaian kata-kata itu disebabkan faktor ketakutan, kekhawatiran dipersalahkan, atau keengganan dikasuskan. Muncul di sebuah berita 'Oknum polisi membekingi pengedar narkoba', 'Oknum TNI menerima dana...', dan 'Oknum anggota BNN menerima dana dari Freddy Budiman'. Kenapa tidak kita sebut anggota Polri, anggota TNI, atau anggota BNN? Padahal, berita yang memiliki sandaran eufemisme akan kehilangan kepercayaan dan integritas. Bisa juga disebut lemah tak berdaya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved