Tiba Masa,Tiba Akal Manajemen Pendidikan Nasional

Asrorun Ni'am Sholeh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
11/8/2016 00:10
Tiba Masa,Tiba Akal Manajemen Pendidikan Nasional
(ANTARA FOTO/Lucky R.)

ADA sebuah buku yang masih relevan dan sangat bagus ditulis Prof Dr Winarno Surakhmad MSc Ed terkait dengan kondisi pendidikan nasional kita. Buku tersebut berjudul Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi. Winarno menyoroti pendidikan nasional yang dewasa ini cenderung menuju kepada suatu tragedi nasional karena kekurangmantapan manajemen kebijakan pendidikan nasional, kurangnya profesionalisme birokrasi pendidikan, serta masih kurang profesionalnya pelaksana pendidikan. Pernyataan itu bukan main-main karena datang dari seorang tokoh pendidikan nasional yang kiprahnya sudah diakui banyak kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Almarhum mengajarkan begitu banyak nilai pedagogis kepada rakyat Indonesia. Mengapa dia menyebut tragedi pendidikan nasional? Menurutnya, ada strategi-stragi pendidikan yang keliru sehingga bisa mengarah pada tragedi nasional. Dia sangat resah melihat kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan di dalam strategi pembangunan pendidikan nasional apabila tidak diarahkan kembali kepada tujuannya yang hakiki.

Hasilnya ialah tragedi suatu bangsa. Konsep pendidikan nasional pada hakikatnya ialah berdasarkan Pancasila, yakni sesuai dengan lima sila yang sudah mendarah daging dalam sanubari setiap rakyat Indonesia. Selain itu, landasan konstitusi dalam penyelenggaran pendidikan nasional ialah UUD 1945. Namun, semangat itu sering kali tidak sesuai dengan implementasi di lapangan. Menurut Winarno, dalam praktik pendidikan nasional, ada dua reduksionisme (penyempitan makna). Pertama, reduksionisme terjadi karena policy pendidikan telanjur menyempitkan makna dan ketentuan UUD 1945 dan Pancasila. Materi yang terlontar dalam setiap kebijakan nasional tidak tecermin dalam kebutuhan dan nilai-nilai pedagogis penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Itu mencerminkan kebijakan pendidikan nasional hanya cari mudahnya saja dan tidak didasarkan sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, reduksionisme terjadi karena hal-hal yang esensial dalam praktik pendidikan justru tidak dilaksanakan, misalnya kebudayaan yang tidak menjadi referensi, praksis pendidikan sekadar agar gampang dilaksanakan, demi tujuan yang praktis-praktis.

Nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam hati sanubari bangsa ini, di antaranya tecermin dalam UUD 1945 dan Pancasila, ditinggalkan hanya demi mudah dilaksanakan. Pejabat negeri kita lebih senang mengumbar wacana yang kemudian memicu reaksi publik ketimbang memikirkan bagaimana sebuah kebijakan sesuai dengan semangat dan filosofi para founding father negeri ini. Dua reduksionisme itu tampak jelas dari wacana yang berkembang saat ini. Salah satunya ialah wacana memperpanjang jam belajar di sekolah. Ini menunjukkan keinginan Menteri Muhadjir yang 'praktis-praktis saja' dalam mewujudkan pendidikan nasional. Nilai-nilai pendidikan yang sejati justru tidak hadir dalam wacana kebijakan sang menteri yang baru beberapa hari ditunjuk Presiden Jokowi. Wacana ini tentu menuai kontroversi mengingat ketidakseragaman kebiasaan dan budaya di beberapa daerah. Misalnya, ada anak yang punya kebiasaan membantu orangtua bekerja sepulang sekolah di beberapa daerah. Atau juga, ada anak yang terbiasa belajar mengaji setelah pulang dari sekolah formal. Lantas jika wacana memperpanjang jam belajar sekolah hingga sore diimplementasikan, bagaimana dengan nasib anak-anak di daerah yang punya kebiasaan seperti di atas? Ini tentu membutuhkan kearifan dan wisdom sang menteri untuk melihat masalah.

Perlindungan anak
Sungguh pun wacana tersebut benar-benar akan diwujudkan dalam sebuah kebijakan, yang harus dipikirkan ialah kesiapan orangtua dan sekolah untuk 'membiarkan' anak berlama-lama di sekolah. Harus dipastikan terlebih dahulu kesiapan setiap sekolah dalam menyelesaikan prakondisi yang dibutuhkan. Begitu pula orangtua, berapa banyak orangtua yang bekerja sampai malam dan tidak bertemu anak-anak mereka? Apakah orangtua di daerah memiliki kesibukan seperti orangtua di wilayah perkotaan? Ini tentu pertanyaan yang harus dipikirkan lebih dalam untuk mencari jawabannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tergelitik untuk ikut berkomentar atas wacana tersebut. Sebagai lembaga yang sah diamanahi UU untuk melindungi anak, KPAI menilai isu ini sangat relevan jika dilihat dari perspektif perlindungan anak. Ada kesalahan cara pandang (world view). Pertama, anak bukanlah objek dari sebuah kebijakan, tapi harus dilihat sebagai subjek. Jika jam belajar anak diperpanjang di sekolah, artinya anak yang harus mengikuti keinginan orang dewasa, dalam hal ini guru, orangtua, bahkan pejabat negara. Dalam UU Perlindungan Anak, anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang disesuaikan dengan tumbuh kembang mereka. Artinya, jika kita mengacu pada UU, aturan dibuat harus sesuai dengan kepentingan terbaik baik bagi anak.

Istilah the best interest of the child bahkan sudah mendarah daging dalam sejarah perlindungan anak. Salah satunya ialah Inggris yang telah melahirkan Children's Charter. Kepentingan terbaik bagi anak juga tercantum dalam UU. Salah satunya ialah UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi, "Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan mereka." KPAI ingin memastikan hadirnya sekolah ramah anak. Konsepnya bisa mengacu pada 'Sekolah sebagai Taman Bermain' Ki Hajar Dewantoro yang di dalamnya itu bermakna lingkungan sehat bagi proses pendidikan anak. Sekolah ramah anak berarti proses pembelajaran disesuaikan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Hak-hak anak diperhatikan dengan saksama.

Penulis berharap wacana yang dilontarkan tidak sekadar 'Tiba masa, tiba akal'. Istilah itu sangat populer di kalangan pelajar yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah terburu-buru karena tenggat tugas sudah berakhir. Jangan karena ingin cepat-cepat melahirkan kebijakan pendidikan nasional, lantas melupakan hakikat dari tujuan pendidikan nasional tersebut. Kita tentu tidak ingin menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru ini menerapkan kebijakan dengan pepatah di atas. Semoga saja.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya