Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PETA politik pilkada di DKI kian terbuka pascakeputusan Ahok memilih jalur partai politik meski telah mengantongi sejuta KTP dukungan yang membuatnya maju melalui jalur independen. Keputusan untuk mengalihkan pilihan dalam menimbang jalur pencalonan itu cukup realistis di tengah pertimbangan atas UU pilkada yang seolah mamasukkan pasal-pasal yang diduga bisa menghadang langkah Ahok, terutama berkaitan dengan pasal mengenai verifikasi administrasi dan faktual tentang bukti-bukti KTP dukungan. Karena itu, berdasarkan 'kompromi' bersama semua komponen pendukung, Ahok mengumumkan pilihannya ke jalur parpol sebagai kendaraan untuk pencalonan di Pilkada DKI 2017. Keputusan Ahok itu tentu saja membuat partai politik lain yang belum menyatakan pilihan apakah akan mendukung Ahok atau menyodorkan calon sendiri dari partainya itu kembali berpikir ulang untuk mempertimbangkan positioning Ahok dan tentu saja kian gamang menentukan calon mereka.
Hal tersebut dinyatakan juga dalam Bedah Editorial Media Indonesia, Rabu (3/7), 'Kegamangan mereka patut dimaklumi, tiap partai ataupun koalisi yang terbentuk pasti menginginkan kemenangan dalam pemilihaan umum. Namun kali ini sosok yang harus mereka kalahkan ialah Ahok, lawan yang berat. Dalam berbagai survei, Ahok terus-menerus mendapakan peringkat elektabilitas tertinggi'. Kegamangan partai politik dalam melihat calon lain yang sebelumnya telah menyatakan siap menantang Ahok membuat partai politik kian selektif dalam menghitung figur mana yang akan diusung yang peluang menangnya lebih besar. Kalah menangnya calon itu akan berimbas kepada partai politik yang bersangkutan. Sementara itu, bayang-bayang dukungan KTP yang sebelumnya telah diberikan kepada Ahok tentu menjadi 'modal politik' Ahok yang harus juga dipertimbangkan para penantang dan partai pengusungnya.
Itulah yang membuat semua partai politik yang belum menyatakan calon mereka demikian sibuk 'berkomunikasi politik' meski waktu pencalonan sudah demikian dekat. Situasi ini berbeda dari pilkada sebelumnya, di saat jauh hari partai politik dan calon independen demikian bergairah menyatakan pencalonan. Seharusnya gairah itu ada di pilkada DKI Jakarta kali ini yang ukuran kesuksesan serta model demokrasinya akan menjadi barometer bagi pilkada lain di Indonesia.
Gairah berdemokrasi
Demokrasi akan meraih kemenangan ketika warga antusias berpartisipasi dalam pemilihan sekaligus berlapang dada bila calon mereka kalah (Bedah Editorial MI, (3/8). Kali ini gairah berdemokrasi warga seharusnya benar-benar diberikan ruang oleh partai politik pengusung calon. Partai politik harus mampu menyediakan ruang untuk menilai dan mengkaji rekam jejak dan variasi pilihan atas calon yang disodorkan partai politik, yang demikian konsekuensinya berarti partai politik haruslah sejak awal menampilkan dan memublikasikan calonnya agar tak terkesan akhirnya pemilih sekadar memilih kucing dalam karung.
Makin cepat partai politik mengajukan dan mengumumkan calon, makin banyak kesempatan calon pemilih untuk melihat, mengkaji, dan menilai calon itu sehingga bisa memicu partisipasi dalam bentuk gairah untuk menjalankan hak berdemokrasi yang dimiliki dalam bentuk keikutsertaan untuk memilih nanti. Jika kita belajar dari Pilpres 2014, gairah berdemokrasi itu seperti dibenturkan jumlah pilihan yang harus dipilih rakyat sehingga rakyat pemilih termasuk pendukung dan tim sukses pun dihadapkan satu per satu pada upaya 'bukan untuk menjalankan hak berdemokrasi' sebagai bentuk gairah politiknya, melainkan lebih kepada upaya untuk mengalahkan lawan politik dengan segala upaya mendiskreditkan dan praktik serta pembelajaran politik yang tidak santun dan cerdas.
Jika nanti partai politik pengusung baik yang bisa mencalonkan calon sendiri tanpa harus berkoalisi ataupun yang memang harus berkoalisi lebih dulu untuk mencalonkan calon yang akan diusung, seharusnya bisa menampilkan calon sendiri yang membuat hitungan pilihan lebih variatif. Semakin bervariasi calon, semakin leluasa rakyat pemilih menentukan aspirasi atas figur yang akan dipilihnya. Memang pilihan atas calon dalam pemilihaan langsung lebih ditentukan figur, bukan oleh partai pengusung.
Figur wajah demokrasi di DKI
Belakangan nama Anies Baswedan muncul pascahengkangnya ia dari Kabinet Kerja Jokowi. Tentu saja ini menambah jumlah pilihan selain nama Risma, Sandiaga Uno, Yusril (yang mungkin masih dipertimbangkan Partai Demokrat), atau mungkin nama lain yang masih berharap bisa maju seperti Adhyaksa Daud akan menjadi pertaruhan gairah dan pengisi wajah demokrasi itu. Yang jelas pemilih akan terus berjibaku dengan pilihan untuk terus menggunakan cara belajar sosial dalam pilihan politik kali ini. Carl Hovland (1972) seperti menyediakan ruang lewat teorinya tentang 'asosiasi, reinforcement, dan imitasi' siapa pun pemilihnya dan siapa pun yang akan dipilihnya. Pemilih DKI Jakarta telanjur dikategorikan sebagai pemilih yang sangat 'rasional' sehingga ia bisa dipisahkan dari isu SARA yang akan menerjang lewat kampanye politik yang dilakukan setiap calon.
Asosiasi pemilih terhadap figur pilihan tidak ditentukan partai politik pengusung. Rasionalitas pemilih lebih dimungkinkan adanya reinforcement atas figur yang sudah nyata membuktikan kredibilitas dan kualitas kepemimpinannya. Ia menjadi semacam magnet yang bisa menjadi imitasi dan kemudian pemilih mengimitasi pilihannya. Itu soal barangkali mengapa elektabilitas Ahok seolah tidak dapat dihadang besarnya gonjang-ganjing atas dugaan keterlibatannya dalam masalah hukum yang dituduhkan melibatkannya. Yang jelas pesta demokrasi di DKI 2017 nanti akan memperlihatkan gairah demokrasi itu. Partisipasi politik pemilih DKI juga dapat dipastikan akan kian bertambah. Semua sudah memahami, belajar, dan mengapresiasi pilihan melalui belajar sosial untuk terlibat dalam politik.
Entah itu lewat asosiasi, reinforcement, atau imitasi. Mereka mengasosiasikan figur pilihan dengan kepentingan kepemimpinan di DKI ke depan. Meneguhkan dengan ketetapan atas pilihan yang perjalanan serta rekam jejaknya mereka maknai dan lalu satu demi satu memilih atas sikap imitasi atas satu pilihan, yang pemilih lain mengimitasinya. Kesuksesan pilkada DKI kali ini merupakan cermin kesuksesan berdemokrasi untuk seluruh pemilihan di Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved