WIEF Ke-12, Membangun Ekonomi Islam di Tengah Kearifan Nusantara

Ahmad Mikail Ekonom Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
04/8/2016 00:10
WIEF Ke-12, Membangun Ekonomi Islam di Tengah Kearifan Nusantara
(MI/ADAM DWI)

KUDETA berdarah di Turki yang baru-baru ini terjadi menunjukkan kepada dunia betapa sulitnya mendamaikan pemerintah yang bercorak sekuler dengan masyarakat dipengaruhi tradisi dan budaya yang kuat yang berasal dari kepercayaan agama. Hampir sejak jatuhnya Kesultanan Utsmani di Turki 92 tahun yang lalu, peran agama di dalam sebuah negara bangsa seakan-akan dibawa ke dalam ruang konflik yang terus-menerus. Di tengah ketakutan dunia akibat buruknya wajah Islam yang digambarkan aksi kekerasan dan terorisme beberapa waktu terakhir, ruang bagi negara untuk merepresi gerakan-gerakan keagamaan semakin terbuka lebar. Beruntungnya Indonesia jauh dari konflik tersebut. Sejak berdirinya Republik Indonesia, agama menjadi sesuatu yang sakral dan merupakan roh bagi bangsa Indonesia untuk membangun dirinya yang tercantum di dalam sila pertama Pancasila. Agama dilihat sebagai motor penggerak dan spirit membangun bangsa Indonesia dan bukan ancaman atau hambatan untuk membangun. Hal itu tidak hanya tecermin dari toleransi dan kerukunan hidup antarumat beragama yang relatif tinggi, tetapi juga tecermin dari aktivitas ekonomi bangsa Indonesia.

Hal ini dapat terlihat dengan gamblang betapa negara Indonesia mengakomodasi dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan ekonomi Islam. Sebagai contoh, sudah sejak beberapa tahun lalu, Indonesia menerapkan sistem keuangan ganda atau dual banking system yang mengakomodasi tidak hanya perbankan konvensional, tetapi juga perbankan syariah. Pertumbuhan aset perbankan syariah yang meningkat hampir 37% sepanjang lima tahun terakhir dengan total aset sebesar US$21 miliar menunjukkan potensi yang luar biasa besar bagi banyak syariah untuk tetap tumbuh berkembang setiap tahunya.

Selain tingginya potensi perbankan syariah, potensi pasar modal syariah di Indonesia juga terbilang cukup tinggi. Pertumbuhan outstanding sukuk korporasi meningkat sebesar 16,8% setiap tahunnya selama lima tahun terakhir, dan pertumbuhan sukuk negara juga meningkat 20% setiap tahunnya. Potensi tersebut relatif masih jauh dari maksimal, yakni rasio outstanding sukuk Indonesia terhadap PDB Indonesia terbilang masih jauh lebih rendah jika di bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia. Potensi tersebut diharapkan akan semakin meningkat tahun ini seiring dengan penggunaan sukuk sebagai instrumen penyerapan dana repatriasi tax amnesty.

Namun, pertumbuhan indikator-indikator keuangan tersebut hanyalah menjadi sebuah angka-angka belaka jika pertumbuhan keuangan syariah tidak berdampak luas bagi kemaslahatan masyarakat secara umum. Seperti kita ketahui hampir 97% masyarakat Indonesia bekerja di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tetapi hanya 16% UMKM yang mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Ketimpangan pendapatan Indonesia semakin tinggi setiap tahunnya akibat dari tidakseimbangan pembiayaan yang ada selama ini. Keuangan syariah, baik itu perbankan syariah, pasar modal syariah, maupun lembaga nonkeuangan syariah bisa menjadi jawaban bagi ketimpangan sektor keuangan yang ada dengan memberikan akses sebesar-besarnya bagi UMKM untuk mendapatkan pembiayaan modal dengan kontrak-kontrak keuangan berbasis syariah yang menjunjung tinggi keadilan dalam berbisnis. Jika melihat data pembiayaan, tidak salah rasanya menyematkan harapan untuk terbentuknya sistem keuangan yang berkeadilan jika melihat struktur penyaluran pembiayaan rata-rata perbankan syariah yang lebih dari 60%-nya masuk ke sektor UMKM. Dengan semakin tingginya pertumbuhan perbankan syariah, seharusnya dapat berbanding lurus dengan peningkatan akses UMKM untuk mendapatkan pembiayaan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat dengan keberadaan keuangan syariah.

Ekonomi Islam tidak hanya melulu berkaitan dengan sektor keuangan, ekonomi Islam juga berkaitan dengan sektor riil, yakni halal industri menjadi sebuah tren di tengah semakin meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata masyarakat muslim di dunia, terutama di Indonesia. Industri hijab dan hotel syariah yang dapat dikemas ke dalam halal tourism menjadi sebuah industri baru yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh Indonesia. Kembali lagi, Indonesia harusnya menjadi pusat bagi perkembangan halal tourism ini. Kita punya Pulau Lombok yang sejak lama orang menyebutnya sebagai pulau seribu masjid. Dengan pantainya yang indah serta keindahan alam dan keramahtamahan masyarakatnya, Lombok dapat menjadi salah satu tempat wisata halal tourism yang bisa bersaing dengan Bali sebagai motor penyerap devisa luar negeri.

Dengan besarnya potensi perbankan, pasar modal syariah, dan halal tourism, serta kondusifnya situasi politik dan ekonomi Indonesia di tengah perlambatan perekonomian global, sudah saatnya dunia melirik Indonesia menjadi surga bagi bertemunya setiap pengusaha-pengusaha andal dari seluruh belahan dunia, untuk bersinergi membangun ekonomi Islam. Tidak salah rasanya jika World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-12 yang memiliki tagline Decentralizing Growth, Empowering Future Business, memilih Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia merupakan tempat yang pas bagi tumbuh suburnya setiap ide-ide yang mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Sejarah panjang Indonesia dalam menyinergikan peran negara dan agama dengan kearifan lokalnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik. Setidaknya, hal itu dapat dimaksimalkan di dalam forum ini untuk menunjukkan bahwa Islam di Indonesia ialah untuk seluruh rahmat sekalian alam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya