Berada dalam Lingkaran Kekerasan

Sutrisno Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
03/8/2016 00:20
Berada dalam Lingkaran Kekerasan
(ANTARA FOTO/Anton)

AKHIR-akhir ini bentrokan massa sepertinya mudah tersulut, entah itu karena latar belakang kelompok, organisasi, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hingga balas dendam. Terbaru, kerusuhan massa terjadi di Tanjungbalai, Sumatra Utara pada Sabtu (30/7) dini hari. Sekelompok orang merusak sejumlah wihara, klenteng, dan bangunan yayasan sosial, bahkan delapan unit mobil juga dibakar. Untuk mengantisipasi kejadian yang lebih besar, pihak kepolisian mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan hasutan-hasutan untuk berbuat yang tidak benar. Apalagi yang beredar di media sosial. Kekerasan mudah sekali meletup, terkadang hanya karena masalah sepele. Hanya karena ditegur untuk melirihkan suara speaker (pengeras suara) di masjid atau musala, misalnya, bisa terjadi amuk massa. Menjadi lebih kompleks lagi karena kerusuhan bernuansa SARA, sehingga sekali waktu terjadi gesekan yang mengakibatkan perselisihan. Jika kerusuhan tersebut tidak terselesaikan tuntas akan menjadi api dalam sekam, dan biasanya tak berapa lama kemudian meledak menjadi ajang pertarungan.

Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sekarang ini pun kita masih berada dalam budaya kekerasan yang mewajah dalam berbagai bentuk dan tali-temali menjadi lingkaran kekerasan. Kekerasan terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial-kemasyarakatan. Lingkaran kekerasan merebak secara sistemik-struktural, secara politis, ekonomis, kultural, bahkan religius. Menurut Michael Crosby, OFMCap (1996:18-20), lingkaran kekerasan merupakan buah dari setiap paksaan yang mengakibatkan luka. Dua kata kunci dari Crosby untuk kekerasan ialah paksaan dan luka. Keduanya bisa bersifat fisik ataupun psikis, personal ataupun komunal, psikologis ataupun sosiologis (Aloys Budi Purnomo, 2010). Kerusuhan bernuansa SARA di beberapa daerah dalam beberapa tahun terakhir, pada dasarnya juga menunjukkan rendah dan lemahnya apresiasi rakyat dan elite terhadap adab demokrasi. Adab demokrasi jelas menjunjung tinggi penegakan hukum. Tidak ada demokrasi tanpa penegakan hukum. Demokrasi tanpa hukum adalah democrazy yang memicu anarkisme. Kerusuhan dan kekerasan SARA terjadi justru karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya apresiasi etika dalam penyelesaian masalah sosial berbangsa dan bernegara.

Budaya demokrasi
Pilihan bagi Indonesia tidak lain kecuali menerapkan demokrasi secara konsisten. Konflik muncul karena demokrasi diterapkan secara parsial. Demokrasi hanya diterapkan saat pemilu belaka itu pun tidak utuh. Padahal demokrasi harus menjadi (meminjam istilah Plato) virtue atau kebiasaan dan kebaikan masyarakat. Ketika budaya demokrasi sudah terbangun secara mapan, pelbagai kemungkinan konflik/kekerasan bisa dicegah. Kerapnya muncul konflik di Tanah Air, baik konflik politik maupun sosial, karena budaya demokrasi belum mewujud dalam perilaku masyarakat. Kekerasan antaragama, konflik antaretnik/suku, juga tindakan main sendiri yang kerap dilakukan organisasi masyarakat atau kelompok tertentu hendaknya diatasi secara tuntas. Barulah setelah itu dilakukan berbagai upaya untuk mengubah prasangka buruk menjadi saling percaya, sikap-sikap keras dan menang sendiri diubah menjadi lembut, bijaksana, dan mau mendengar orang lain. Memang tidak mudah mengubah situasi panas dan tindakan destruktif mengingat akar persoalannya kompleks.

Pemicu kasus hanyalah pelatuk atau pemantik terhadap setumpuk praduga yang sering keliru. Banyak hal yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan musyawarah, tetapi masyarakat justru lebih suka menyelesaikan dengan kekerasan. Seolah-olah penyelesaian masalah dengan kekerasan itu menjadi candu untuk memuaskan ego masing-masing. Karena itulah, kita mesti berupaya keras agar kekerasan berbau SARA harus dihindarkan. Berdasar pada penyelidikan beberapa kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata fakta membuktikan bahwa kekerasan tidak steril dari prakondisi dan kondisi yang terjadi sebelumnya. Ideologi agama, frustrasi sosial, dan kekecewaan terhadap keadaan serta pembiasaan-pembiasaan terhadap potensi tersebut menjadi penting untuk ditelaah karena telah menjadi pemicu lahirnya kekerasan. Mahatma Gandhi berkata bahwa kekerasan bisa dihapuskan kalau kita tahu penyebabnya. Masalah-masalah mendasar yang melatari kekerasan perlu mendapat perhatian yang semestinya. Jangan jadikan kekerasan sebagai budaya masyarakat.

Terpenting, jangan mudah terprovokasi dengan hal-hal sepele yang menyebabkan api kerusuhan. Pikiran positif dan kesadaran kolektif juga harus selalu dikembangkan bahwa setiap konflik atau kekerasan mengandung suatu blessing in disguise untuk perbaikan, kemajuan, dan kedamaian bangsa yang majemuk ini. Di sisi lain, aparat keamanan dan terutama kepolisian harus meningkatkan kualitas intelijen baik dalam persoalan perkiraan keadaan, investigasi, analisis maupun manajerialnya. Mereka perlu memiliki mata telinga yang lebih tajam dan peka agar konflik bisa diredakan sebelum pecah. Aparat harus memiliki jaringan yang luas di kelompok mana pun di masyarakat agar setiap benda jatuh apa pun bentuk dan seberapa nyaring bunyinya mampu didengarnya dengan baik. Persoalan harus dikelola sebelum pecah. Di luar konteks keamanan, salah satu sumber terbesar kekerasan ialah persoalan ketidakadilan. Ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan ketidakadilan lainnya bukan dibuat masyarakat, tetapi dibuat subkultur kekuasaan (negara). Jika pemerintah dapat meminimalkan ketidakadilan dan kesenjangan kehidupan, sangat diyakini tindak-tindak kekerasan di masyarakat tidak akan terjadi.

Terakhir, kita ingin mengingatkan kembali bahwa masyarakat Indonesia adalah multietnis, multibudaya, dan menganut beberapa agama. Hal inilah yang menjadi modal besar bangsa Indonesia dalam merajut harmonisasi berkehidupan. Jadi, modal besar tersebut harus kita pelihara dan lestarikan supaya kerukunan hidup penuh kedamaian terus menyala, mengalahkan sikap-sikap keras, anarkistis, dan brutal yang makin tumbuh di berbagai daerah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya