Mencari Model Dialog Antariman

Ibnu Burdah Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Penulis Buku Islam Kontemporer
02/8/2016 00:20
Mencari Model Dialog Antariman
(ANTARA FOTO/Anton)

SETELAH peristiwa Tolikara, Singkil, dan deretan peristiwa serupa lainnya, tindakan intoleransi kembali terjadi. Kali ini, sejumlah wihara dan kelenteng di Tanjungbalai, Sumatra Utara, dibakarmassa. Aksi itu diduga terkait dengan kesalahpahaman antara dua komunitas beragama di tempat tersebut. Kekhawatiran terhadap terjadinya tindakan intoleransi di tengah-tengah masyarakat kita semakin besar. Apalagi, di era reformasi ini, kelompok-kelompok dengan cara pandang keagamaan sempit memiliki ruang yang luas untuk berekspresi dan mencari pengikut. Hal itu pasti membawa dampak buruk terhadap hubungan antarkelompok agama yang berbeda yang ujung-ujungnya ialah pelemahan terhadap kohesi sosial yang jadi fondasi Indonesia. Di tengah-tengah suasana ini, sebuah pertanyaan patut diajukan, bagaimana seharusnya hubungan antarkelompok atau antaragama di Tanah Air ini mesti ditata? Pertanyaan ini penting dijawab mengingat dua hal. Pertama, ancaman dari paham dan tindakan ini terhadap kohesivitas masyarakat dan bangsa kita yang majemuk begitu besar. Penyebaran paham ini kepada anak-anak sekolah yang secara psikologis masih labil, jelas tak bisa dianggap enteng. Taruhannya sangatlah besar, yaitu masa depan masyarakat dan bangsa kita. Kedua, pentingnya segera mencari formulasi yang tepat untuk membangun proses dialog antariman sehingga sesuai dengan harapan. Mainstream umat Islam atau umat yang lain ialah moderat. Mereka biasanya tidak ingin 'jatuh' pada liberalisme, tapi juga tidak pula pada ekslusivisme. Model penataan hubungan antaragama 'secara moderat' inilah yang digali dalam tulisan sederhana ini.

Pluralisme
Gagasan pluralisme acap kita dengar dengan variasi yang begitu beragam. Namun, salah satu mainstream dalam paham ini ialah model yang ditawarkan John Hick dan Paul F Knitter. Inti gagasannya secara simplistis bisa dicuplik sebagai berikut. Sikap intoleran atau bahkan kekerasan agama kerap kali berasal dari pemahaman keagamaan yang dangkal. Semakin dangkal orang memahami agamanya, semakin besar peluangnya untuk bersikap intoleran, bahkan menggunakan cara kekerasan terhadap umat lain atas nama agama.
Jika masyarakat dangkal dalam memahami agamanya masing-masing, yang akan terjadi ialah konflik antaragama dalam skala luas sebab semua orang memandang orang lain sebagai berbeda dan keliru, dan mengklaim dirinya saja yang benar. Lalu dari situ, konflik terus akan terjadi. Karena itu, menurut cara pandang ini, solusi untuk mencegah sikap intoleransi dan konflik antaragama ialah 'pendalaman' agama masing-masing. Setiap umat beragama harus didorong untuk masuk sedalam mungkin ke dalam apa yang disebut sebagai 'essence' dari agamanya. Ketika orang telah mencapai kedalaman inilah, sesungguhnya semua agama itu benar dan sama. Karena itu pula, konflik agama dan kasus intoleransi akan berhenti dengan sendirinya sebab orang tak lagi melihat orang lain sebagai berbeda, atau dengan menggunakan bahasa Thariq Ramadhan, yaitu perbedaan itu ibarat orang mendaki sebuah gunung 'kebenaran'. Ketika masih di bawah, mereka saling menyalahkan yang lain dan yang berbeda dengannya. Mereka mengklaim jalan merekalah yang akan mencapai puncak kebenaran itu, sementara jalan orang lain di sisi kanan dan kirinya ialah salah apalagi yang jauh darinya. Akan tetapi, ketika di puncak, mereka semua terkejut bahwa ternyata semua jalan itu benar. Tujuan dari semuanya ialah satu, yakni puncak kebenaran itu. Thariq Ramadhan ialah cucu Hasan al-Bana, pendiri IM, yang kemudian menjadi intelektual muslim terkemuka di Eropa saat ini.
\
Oleh karena itu, sering terdengar ungkapan, pluralisme ialah paham yang menyamakan semua agama. Dalam konteks ini, pernyataan itu sepertinya sudah benar, tetapi itu kurang lengkap. Seharusnya ialah semua agama pada level esensinya (puncaknya) ialah sama menurut paham pluralisme. Entah apa yang dimaksud dengan esensi atau puncak setiap agama yang dianggap sama itu. Mungkin itu ialah nilai-nilai kemanusiaan universal seperti yang didesakkan kelompok 'muslim progresif'. Palsu.Inilah yang kemudian dipandang sebagai pluralisme 'palsu' oleh John B. Cobb Jr. dalam bukunya Transforming Christianity and The World. Menurutnya, pandangan pluralisme seperti itu justru tidak pluralis sebab ia memaksakan atau menyamakan dengan paksa keragaman (pluralitas) sebagai sesuatu yang sama kendati menggunakan istilah-istilah yang canggih, seperti esensi, esoteris, dan top of mountain. Namun, itu intinya memaksakan pluralitas sebagai sesuatu yang sama. Ini dipandang sebagai pengingkaran paling serius terhadap prinsip paling dasar dari pluralisme itu sendiri.

Pluralisme sejati (authentic pluralism) menurut Cobb, seharusnya bertitik tolak pada pengakuan absolut terhadap fakta keragaman ini. Dengan pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman, pada titik itulah 'dialog' sesungguhnya baru bisa dimulai. Yang dimaksud sebagai dialog dalam pengertian ini bukanlah dialog dengan pretensi akademis, semisal perbandingan untuk mencari persamaan dan perbedaan atau bahkan mencari mana yang benar dan mana yang salah. Dialog di sini lebih tepat dimaknakan dengan experiencing the others, menyelami pengalaman orang lain dalam menghayati agama dan kehidupannya. Tujuan dari proses ini ialah learning dari others secara terus-menerus untuk penghayatan agamanya sendiri. Pandangan ini bukanlah pandangan liberal yang hendak menyamakan semua agama secara paksa. Akan tetapi, hasil dari dialog yang dibayangkan itu adalah orang yang justru kuat berpijak dan matang dalam menjalankan agamanya sendiri di satu sisi, dan sekaligus begitu mengerti agama dan umat beragama lain sebab ia belajar banyak dari mereka, di sisi yang lain, bahkan seolah-olah orang lain itu menjadi bagian dari dirinya sendiri. Model dialog seperti yang terakhir barangkali lebih 'ramah' dan cocok bagi masyarakat religius dan 'guyub' seperti Indonesia. Setidaknya ini ialah salah satu model yang mungkin bisa dikembangkan dalam praksis dialog antariman. Wallahualam.




Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya