Nasionalisme Kaum Tarekat

Asep Salahudin Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya
30/7/2016 00:20
Nasionalisme Kaum Tarekat
(Istimewa)

DI pesantren yang diasuh Kiai kharismatik Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan Jawa Tengah pada 27-29 Juli 2016 dilangsungkan konferensi ulama internasional. Konferensi yang diselenggarakan Jam'iyah Ahlith Thariqah al-Mutabarah an-Nahdiyah bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan RI ini melibatkan 37 negara dengan mengambil tema, Bela negara: konsep dan urgensinya dalam Islam. Dalam konferensi itu agama dan negara kembali dipercakapkan. Bukan untuk saling diperhadapkan, tapi lebih kepada sikap peneguhan bahwa Islam dan nasionalisme semestinya diposisikan dalam satu helaan napas. Bela negara sebagai bela agama. Tentu tak lengkap kalau tak berpanjang-panjang menceritakan kontribusi umat Islam pada masa penjajahan. Terbentang mulai perlawanan yang dipimpin kaum tarekat terhadap kolonial sampai resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 mempertahankan Republik yang baru saja diproklamasikan Soekarno Hatta. Hikayat panjang tentang perlawanan umat Islam terhadap kolonial Hindia Belanda.

Perlawanan Aceh yang digerakkan Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien; Perang Paderi Imam Bonjol; KH Hasan dari Luwu; Gerakan Rifaiyah di Pekalongan. Selain itu, gerakan KH Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH Jenal Ngarib dari Kudus; KH Ahmad Darwis dari Kedu; KH Wahid (2987), dan KH Asnawi (1936) dalam pemberontakan Banten. Serta KH Zainal Mustafa Tasikmalaya dan juga perlawanan heroik yang dilakukan Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lainnya. Pada awal pergerakan nasional memanfaatkan politik etis Hindia Belanda elite muslim juga mengartikulasikan perjuangan politik demi memburu imajinasi keindonesiaan dalam wujud bikin perserikatan, seperti Serikat Dagang Islam (1905), Serikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Jamiatul Khair dan Al-Irsyad (1922) dan Nahdatul Ulama (1926). Di samping tentu saja sayap kaum nasionalis juga kebanyakan tokohnya beragama Islam seperti dilakukan Budi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (PI), PNI bahkan tidak sedikit juga umat Islam yang aktif di Partai Komunis Indonesia sepeti yang dilakukan Kiai Misbach dan sebagainya. Kenyataan ini tanpa berpretensi menutup mata kontribusi besar yang juga dilakukan agama lain.

Belahan dunia lain
Dari konferensi sekaligus saya dapat menyimak pemaparan dinamika hubungan Islam politik dan negara di belahan dunia lain. Terutama di Timur Tengah yang masih buram: eskalasi radikalisme, partai partai-partai Islam yang terus berada di persimpangan jalan, hikayat kudeta, persekutuan yang rapuh, persengketaan abadi, transisi kepemimpinan yang buntu. Dan fantasi politik keagamaan yang beragam dan kesulitan dicarikan titik temunya sehingga sering berujung pada pergelaran konflik mengerikan. Dalam sebuah ilustrasi salah seorang pembicara bahwa di 'musim semi Arab' yang paling ekstrem, "Orang membunuh membaca bismillah, yang dibunuh mengucapkan Allahu Akbar". Di Timur Tengah tampak relasi agama dan politik (negara) belum menemukan titik temu yang mampu menyatukan keragaman etnik, budaya, dan agama. Keduanya selalu berada dalam ketegangan yang tak terselesaikan. Malah sering kali fantasi yang dibangun ialah imajinasi politik abad pertengahan ketika dunia di belah dalam kategori bipolar darul Islam dan darul kufr.
Khas fikih skolastik. Agama sering menjadi pemicu mencuatnya sengketa bahkan perbedaan mazhab sekalipun tidak sedikit menjadi pemantik mencuatnya konflik.

Di samping agama acapkali dibajak untuk kepentingan kekuasaan sesaat. Isu Syiah Sunni atau Arab dan Persia sampai hari ini belum selesai. Belum lagi kaum penguasa yang bertindak tak ubahnya raja. Mungkin bagi penguasa seperti ini berpura-pura baik itu lebih baik daripada berbuat baik. Lebih berfaedah seolah-olah religius, daripada religius beneran. Untuk membungkam suara-suara berbeda dan supaya takhta dapat dipastikan tidak terlepas kepada Lian dibikinlah rekayasa kudeta. Itu terjadi hampir di mana-mana. Cerita karena tak mustahil kebanyakan penguasa diasuh sosok separuh satwa dan setengah manusia. Jejaknya persis Achiles itu yang kekuasaannya mampu bikin rabun rakyat dan para penggemarnya.

Rute moderasi
Kenyataan seperti itu tentu tak kita temukan di negeri kepulauan. Salah satu jawabannya karena sampai hari ini arus utama sikap keberagamaan kita masih berada di jalur moderasi. Jangkar utama ormas keagamaan terbesar yang akta kelahirannya lebih tua dari Negeri Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), NU dan Muhammadiyah, telah mengembangkan teologi inklusif, toleran, kosmopolit, lapang, dan terbuka. Teologi yang dalam konteks Kebangsaan menempatkan keindonesiaan sebagai bagian tak terpisahkan dari keislaman sebagaimana keislaman tidak mungkin dicerabut dari akar keindonesiaan. Inilah yang hari ini mendapatkan basis epistemologisnya dalam wujud unik apa yang disebut dengan 'Islam Nusantara' dan 'Islam berkemajuan'. Semacam model keislaman yang dijangkarkan di atas akar kultural dan kekuatan budaya yang tersebar sepanjang garis khatulistiwa dan telah menjadi oksigen masyarakat Nusantara dalam waktu yang lama.

Islam yang mampu tidak saja berdialog dengan tradisi, tapi juga terampil bikin rute visi untuk memberikan jawaban atas problem kemanusiaan mutakhir. Sementara itu, dari konteks kenegaraan Pancasila dan Bhinneka tunggal Ika menjadi jawaban dari relasi agama dan negara yang harmonis. Pancasila menjadi ideologi jalan tengah sehingga Indonesia tak jatuh menjadi negara agama tidak juga negara sekuler.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya