Selamat Merayakan Idul Fitri

Franz Magnis-Suseno Guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
15/7/2015 00:00
 Selamat Merayakan Idul Fitri
()
KATA Lebaran berarti 'selesai'. Yang selesai ialah bulan Ramadan, bulan puasa umat Islam. Lebaran atau Idul Fitri ialah hari kegembiraan, hari perayaan, hari keluarga, dan hari orang saling memaafkan. Dalam suasana gembira, seluruh komunitas menjadi terlibat, termasuk juga yang bukan umat Islam.

Akan tetapi, dalam hal itu, ada ambivalensi. Saya kadang-kadang ragu-ragu, boleh atau tidak saya mengucapkan 'selamat merayakan Lebaran'? Apalagi, 'selamat merayakan Idul Fitri!' Jangan-jangan yang mendapat ucapan saya yang nonmuslim diam-diam merasa tidak senang. Kami masih ingat fatwa dulu yang mengharamkan ucapan 'selamat Natal' bagi umat Islam serta mengimplikasikan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan keagamaan umat lain tidak semestinya.

Di lain pihak, begitu banyak sahabat muslim yang selalu mengucapkan 'selamat Natal' kepada saya dengan tulus dan gembira. Namun, ambivalensi tidak seluruhnya hilang.

Ambivalensi juga terasa waktu si nonmuslim diminta menulis menyambut Lebaran. Jangan-jangan, apa yang diharapkan akan kita tulis, sebenarnya bukan yang mau kita tulis, dan yang mau kita tulis belum tentu diharapkan.

Ambil contoh toleransi. Pada permulaan Juli ini, camat di salah satu wilayah dekat Ibu Kota Jakarta menetapkan bahwa selama bulan Ramadan, semua rumah makan harus tutup sebelum jam 12 siang. Menurut beliau itulah tanda toleransi umat nonmuslim. Jadi, kalau nonmuslim tetap mau makan sebelum jam 12 mereka yang tidak toleran? Di Yogyakarta bulan lalu, polisi menunjukkan toleransi tinggi dengan membiarkan sekelompok orang dari agama lain memaksa suatu youth camp Kristen ditutup. Di lain tempat, umat minoritas diharapkan menunjukkan toleransi mereka dengan bersedia menerima bahwa lingkungan agama mayoritas tidak mengizinkan mereka beribadah.

Di lain pihak, saya juga mendapat banyak pengalaman yang menenteramkan. Pernah saya terbang ke Medan pada bulan Ramadan. Di samping saya, duduk seorang Muslim berjubah. Saya mengatakan kepada beliau, kalau nanti ditawari snack oleh pramugari Garuda, saya mau mengambil dan memakannya. Beliau menjelaskan secara panjang lebar kepada saya bahwa menurut Islam ada-–kalau tak salah ingat-–sembilan macam manusia yang tidak wajib berpuasa, termasuk yang nonmuslim. Beliau mau membuat saya tidak merasa risi kalau saya makan.

Saya juga diundang suatu acara HMI pukul 14.00 WIB pada bulan Ramadan. Namun, di depan saya, di meja pembicara, mereka menaruh air mineral dan snack. Mereka mengatakan berkali-kali, "Silakan Romo makan" (saya tidak makan, tetapi saya terharu). Itu hanya dua contoh. Pada umumnya, di bulan Ramadan di Jawa Barat, rumah makan terlihat ditutup dari depan, tetapi tamu bisa masuk dari belakang. Mereka dilayani dengan baik dan masyarakat yang menyaksikan menerima. Yang mereka harapkan ialah tenggang rasa.

Kami yang nonmuslim sering diundang buka puasa bersama dan selalu diajak untuk segera minum dan makan, bahkan mendahului mereka yang betul-betul puasa. Bahkan, semakin biasa juga nonmuslim mengadakan buka puasa dengan saudara dan saudari muslim yang ikut. Seperti yang saya alami dua minggu lalu di Gereja Katedral Banjarmasin. Buka puasa itu sungguh mempersatukan dan membangun perasaan persahabatan.

Yang kiranya diperlukan ialah sikap terbuka, jangan cepat-cepat menggeneralisasi, jangan apriori. Di Nigeria, gerombolan Boko Haram bulan lalu menyerang bukan Gereja, seperti hal biasa, melainkan Masjid dan membunuh puluhan orang. ISIS malah menyatakan perang terhadap HAMAS di Gaza. Hal itu memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok ekstrem, ganas, dan tidak manusiawi itu tidak bisa dikaitkan dengan hakikat suatu agama meski mereka sendiri melakukannya.

Lebaran atau Idul Fitri bisa membantu meleburkan perspektif mayoritas dan minoritas. Kita bersatu. Umat Islam menyambut kita dengan hati terbuka. Faktor waktu ialah penting. Kita harus membiasakan diri satu sama lain. Itu hanya mungkin terjadi jika kita mau berkomunikasi satu sama lain dan itu mudah dilakukan di Indonesia begitu. Kita selalu bisa bersilaturahim.

Agama ialah rahmat bagi seluruh alam. Itu memang seha­rusnya demikian. Pada Lebaran hal itu dapat dirasakan. Namun, yang menentukan bukan bahwa kita mengatakan, kami ini rahmat bagi kalian (padahal mereka takut), melainkan mereka sendiri mengalami agama kami sebagai rahmat. Barangkali kenyataan belum selalu demikian. Namun, justru pada Lebaran, rahmat dari agama, agama Islam, sudah kami rasakan.
Selamat merayakan Idul Fitri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya