Sepuluh Bahaya Mudik Lebaran

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI
04/7/2015 00:00
Sepuluh Bahaya Mudik Lebaran
(MI/PATA AREADI)
DALAM beberapa hari ke depan, untuk merayakan Idul Fitri, sebagian warga kota-kota besar di Indonesia akan menyemut menuju kampung halaman mereka (mudik). Menurut prediksi Kementerian Perhubungan, tidak kurang dari 20 jutaan pemudik akan menggunakan angkutan umum, yakni bus, kereta api, kapal laut, dan kapal udara serta 3,6 juta warga akan mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi, baik roda empat maupun roda dua. Pengguna roda dua diprediksi tidak kurang dari 2 juta pemudik dan pengguna mobil 1,6 juta.

Di balik peristiwa kultural yang sangat positif itu, ironisnya justru ada beberapa bahaya (laten) yang mengintai para pemudik karena moda transportasi yang digunakan belum optimal, khususnya transportasi darat. Apa pasalnya? Pertama, aspek keselamatan yang rendah. Di saat mudik, semua orang nyaris mengedepankan paradigma 'yang penting terangkut', sedangkan aspek keselamatan diletakkan di rangking yang paling belakang. Padahal, dalam bertransportasi, paradigma keselamatan tak boleh ditawar dengan alasan apa pun dan kondisi apa pun.

Kedua, aspek pengawasan yang turun dan rendah, terutama dari regulator dan juga penegak hukum (polisi). Ada semacam fenomena menoleransi pelanggaran demi alasan kemanusiaan, yakni kasihan. Petugas yang minim pun menjadi alasan untuk menurunkan gradasi pengawasan di semua lini, bahkan termasuk di sektor penerbangan, penyeberangan, dan kelautan. Ketiga, aspek kenyamanan yang menurun. Jangan mimpi mendapatkan kenyamanan saat bertransportasi pada musim mudik Lebaran sekali pun menggunakan pesawat. Bandara Soekarno Hatta yang sudah over capacity akan semakin penuh karena jadwal penerbangan yang padat, apalagi jika disertai delay.

Keempat, berkaitan dengan sisi kenyamanan, mayoritas moda transportasi melanggar standar pelayanan minimal (SPM) yang telah ditetapkan pemerintah. Padahal, semua moda transportasi, termasuk infrastruktur pendukung (bandara, pelabuhan, stasiun), wajib mengimplementasikan SPM. Ironisnya, regulator seolah membiarkan pelanggaran SPM dimaksud tanpa kompensasi apa pun bagi penggunanya.

Kelima, pelanggaran tarif batas. Potensi pelanggaran tarif batas atas (ceiling price) sangat besar, khususnya oleh bus umum, bahkan pesawat. Dari sisi ekonomi, saat peak sesson, sangat rasional jika semua operator transportasi umum menerapkan tarif batas atas. Namun, di sisi lain, potensi terjadinya pelanggaran tarif batas atas tersebut juga sangat besar. Apalagi, pengawasan regulator tidak maksimal (lemah).

Keenam, infrastruktur jalan yang buruk. Kualitas ruas jalan utama memang sudah cukup prima, tetapi kualitas jalan alternatif masih belum meyakinkan. Apalagi, itu tidak didukung infrastruktur yang lain, seperti SPBU dan lampu penerangan jalan. Akibatnya, banyak pemudik yang malas menggunakan jalur alternatif. Ketujuh, kapasitas penumpang yang berlebihan, khususnya untuk angkutan penyeberangan (ASDP) dan angkutan perintis.

Kedelapan, pengguna sepeda motor yang dominan. Demi pertimbangan ekonomis, pemudik masih mengandalkan sepeda motor untuk moda transportasi mudik. Sejatinya, itu hal yang sangat membahayakan karena sepeda motor bukan untuk perjalanan jarak jauh, apalagi dengan jumlah muatan yang tidak rasional. Terbukti, jumlah korban laka lantas dengan korban jiwa sepeda motor masih sangat signifikan, lebih dari 500-an orang (mudik 2014). Kendati angka korban mengalami penurunan, korban jiwa akibat laka lantas selama mudik masih merupakan jumlah yang nggegirisi, mengerikan. Tak ada jalan lain selain harus menekan sekeras mungkin pemudik sepeda motor agar mau bermigrasi ke angkutan umum massal. Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan angkutan massal secara gratis bagi pemudik sepeda motor demi keselamatan.

Kesembilan, hantu kemacetan. Benar, pemerintah telah merampungkan ruas jalan Tol Cipali sepanjang 116,7 km. Jalan tol itu digadang-gadang akan mampu mengurangi volume lalu lintas di jalur pantura hingga 50%. Namun, jangan lupa, praktik yang terjadi hanya akan memindahkan kemacetan belaka, apalagi jika tidak dibarengi dengan manajemen rekayasa lalu lintas yang cerdas. Para pemudik akan disandera kemacetan di Tol Pejagan-Brebes, Jawa Tengah, khususnya Brebes sampai Tegal, bahkan Brebes-Prupug ke arah Purwokerto.

Kesepuluh, angkutan mudik gratis. Angkutan mudik gratis seolah merupakan oase bagi sebagian warga pemudik. Mereka bisa menggunakan angkutan secara nyaman, aman, dan dimanjakan pula oleh penyelenggara. Selain gratis, pemudik biasanya diberikan bonus berupa topi, kaus, snack, bahkan uang saku oleh penyelenggara. Namun, harap diingat, mudik gratis bukan tanpa persoalan. Tahun lalu (2014), ratusan pemudik telantar karena armada bus tidak datang. Bagi operator angkutan umum reguler, mudik gratis merupakan praktik ampuh untuk menggerus penumpang umum bus reguler. Karena itu, pemerintah harus mengatur keberadaan penyelenggaraan mudik gratis.

Rekomendasi
Mudik ke kampung halaman merupakan hak warga yang secara sosio-kultural terbilang sangat positif, bahkan secara ekonomis juga demikian. Namun, faktanya, prosesi mudik juga mengantongi beberapa persoalan krusial yang jika tidak dikelola secara serius justru akan melahirkan multidistorsi, bahkan bencana bagi pemudik. Tingginya laka lantas dengan jumlah ratusan korban meninggal dunia merupakan fenomena yang seharusnya tidak boleh terjadi lagi. Pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk mendorong dan menciptakan rasa aman, nyaman, dan selamat bagi pemudik dengan cara menyediakan angkutan umum yang manusiawi. Para pemudik pun juga harus bertindak rasional dan cerdas dengan tetap mengutamakan keselamatan. Bagaimanapun keselamatan bertransportasi ialah di atas segalanya. Tak boleh sedikit pun dikompromikan, apalagi digadaikan. Selamat mudik, safety first!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya