18 Tahun Tanda Tanya

Radhar Panca Dahana Budayawan
21/5/2016 06:25
18 Tahun Tanda Tanya
(ANTARA/PRASETYO UTOMO)

PADA 15 Mei 1998, seperti kita tahu lewat pemberitaan media massa dulu, dan beberapa hari lalu diingatkan kembali oleh wartawan senior, Presiden Soeharto (alm) menyatakan, dalam perbincangan dengan pers di pesawat yang membawanya pulang ke Jakarta dari perjalanan dinas ke Mesir, "Saya tidak akan menggunakan senjata (tentara)."

Itulah pernyataan tegas dari seorang yang pernah kita anggap totaliter, tiran, diktator, dan sebagainya, menanggapi kisruh dalam negeri yang mengancam kekuasaan bahkan jiwanya sendiri.

Mungkin sebagian orang menganggap remeh pernyataan itu karena hampir tidak ada analisis atau sejarawan yang memosisikan pernyataan itu sebagai hal vital bahkan sangat signifikan dalam perjalanan sejarah, khususnya 'sejarah' reformasi yang konon ada hari jadinya dan kita 'rayakan'.

Namun, siapa pun yang sedikit matang politik tentu dapat menilai, memperhitungkan dengan baik, bahkan mungkin memberi respek pada pernyataan Presiden ke-3 itu, karena tanpa pernyataan itu, bahkan bila yang terjadi sebaliknya, siapa yang tahu riwayat berikutnya Republik ini?

Sekadar chaos?

Mungkin jauh lebih runyam dari itu.

Banyak fakta yang secara historis valid dan verified, tidak kita gunakan atau kita tempatkan secara baik dan benar (proposional) dalam menyusun sebuah sejarah bangsa, yang memang selalu dalam kepingan berserak.

Sebagian kepingan itu dipegang sejarawan atau peneliti independen, sebagian dipeluk habis para pelaku yang posisinya tak selalu berdampingan, sebagian disimpan kepentingan lain dan 'luar', sebagian lain 'entah di mana dan ke mana'.

Bukan hanya peristiwa yang baru 18 tahun lalu itu yang data-datanya, jika tidak sumir, obskur, dipelintir, ya dimanipulasi, tapi juga banyak sejarah atau momen-momen penting bangsa ini sebelumnya.

Bukan hanya pergerakan mahasiswa 1989, 1978, 1974, bahkan 1966 yang multidimensional itu.

Lebih jauh lagi, sejarah hampir sekujur negeri ini juga seperti itu.

Sejarah kemerdekaan, penyusunan ideologi dan konstitusi, pergerakan dan perjuangan daerah, hinggga sejarah klasik di masa Sriwijaya atau zaman kuno sebelumnya.

Reformasi terjadi dan kita coba mengenangnya saat ini, sesungguhnya menyimpan data dan fakta luar biasa yang entah hingga kapan tersembunyi dan disembunyikan.

Masa itu, kebetulan saya harus menjalani studi di Eropa, dan mendengar kisah bagaimana Wakil Presiden RI kala itu, BJ Habibie, ditolak uluran tangannya saat menggantikan Soeharto sebagai pimpinan delegasi RI di KTT ASEM di London.

"Saya tidak akan menyalami Anda, sebelum bos Anda turun," begitu ketengikan diksi Presiden Prancis saat itu, Jacques Chirac, seperti mewakili pemimpin-pemimpin Eropa lainnya.

Apa yang Anda bayangkan dari cerita itu?

Apa kaitan semua itu dengan apa yang kita sebut reformasi?

Apakah ada kekuatan global dan multinasional yang memainkan peran kunci dalam kisruh nasional bangsa seperti sinyalemen beberapa kalangan?

Sejauh mana?

Di mana Anda mendapat penjelasan jernih dan akurat?

Pertanyaan yang sulit.

Jadi, apa yang sebenarnya hendak kita rayakan dari perjalanan belum dua dekade sebuah peristiwa?

Mungkin hal pertama yang penting ialah bagaimana Anda memosisikan peristiwa itu dalam diri Anda, kehidupan Anda, hingga akhirnya dalam sejarah perjalan bangsa Anda.

Adakah reformasi ialah episode yang begitu penting dan desesif dalam perjalanan bangsa ini?

Bila ya, apakah episode itu dilatarbelakangi kehendak, dilakukan oleh semesta, dan ditujukan bagi cita-cita rakyat semesta?

Adakah bukti kuat yang valid dan bisa diverifikasi?

Tidakkah boleh jadi reformasi ialah sebuah gerakan yang agak cantik didesain demi memainkan kepentingan-kepentingan dari elite-elite bangsa ini, plus para kompradornya yang menjadi kaki tangan kepentingan asing?

Bisakah sejarawan meninjau momen tersebut hingga ke pelosok negeri, tidak hanya secara geografis, tapi juga demografis?

Seberapa jauh tuntutan-tuntutan yang dibunyikan kaum reformis juga bergema di nurani bangsa kita?

Kita harus bertanya, jujur, harus berani menerima kenyataan sepahit apa pun.

Bahkan jika hati kecil kita ternyata bicara: 'Sesungguhnya memang sebagian dari diriku dulu lebih dikendalikan faktor/variabel luar ketimbang diriku sendiri'.

Artinya secara sadar, bisa jadi kita, yang merasa mewakili rakyat semesta, pada bagian tertentu, bisa jadi bagian besarnya telah direkayasa.

Apa yang hendak dicapai?

Mengapa kita harus bertanya sedalam itu? Jawaban sembunyi dalam pertanyaan: apa sebenarnya yang hendak dicapai oleh reformasi?

Mungkin yang pertama: tumbangnya Soeharto dan Orde Baru.

Ok, sukses. Hanya itu? Tidak.

Kebebasan! Kebebasan apa, seperti apa, untuk apa, bagi siapa?

Agak kompleks jawabannya, tapi secara umum, Ok sukses.

Sukses kebebasan kita dapatkan, sebodo amat dengan bagaimana pengertiannya, tujuannya, implementasinya, siapa yang diuntungkan siapa yang dibuntungkan, dan segalanya.

Untuk itu, merenunglah.

Dapatkan data yang tidak obskur agar renungan kita tidak ngawur dan kesimpulannya hancur.

Ini imperasi bagi kita, dengan satu argumen sederhana: sejarah benar telah terjadi, tapi bukan selalu kebenaran pasti.

Seperti frasa 'karena reformasi kita menikmati ini semua'? Penting kita tinjau ulang.

Bahwa Jokowi ialah anak kandung reformasi, juga ditinjau ulang.

Misalnya, dengan logika: terlalu naif menyatakan Jokowi dilahirkan reformasi karena sejarah tujuh presiden kita memang melalui mekanisme yang tidak jelas.

Banyak mistik ketimbang logis atau akademik.

Bukan begitu?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya