Keuangan Inklusif Bantu Fiskal

Angiola Harry
18/5/2016 01:37
Keuangan Inklusif Bantu Fiskal
(AP/Arnulfo Franco)

KEUANGAN inklusif (finan­cial inclusion) atau upaya memperluas akses keu­ang­an kepada masyarakat menjadi alternatif pendu­kung pe­­­ningkatan penerimaan ne­gara se­lain pajak. Saat ini di In­do­ne­sia, pemerintah sedang gencar meng­gen­jot penerimaan pajak demi men­dongkrak kekurangan anggar­an be­lanja negara.

Target besar pemerintah saat ini ialah ‘memanggil’ uang para pengusaha pribumi yang parkir di negara lain. Uang itu dikelola di sebuah lembaga bernama Mossack Fonseca, sebuah firma hukum dan penyedia jasa pengelolaan aset perusahaan di Panama. Beredarnya nama-nama besar di berbagai belahan dunia karena punya kaitan dengan lembaga itu, sebagai dampak kemunculan Panama Papers, membuat kehebohan. Mengapa para pengusaha memilih agar keuntungan mereka ditangani Mossack Fonseca yang jauh dari Tanah Air?

Singkatnya, di tangan Mossack Fon­seca, para pengusaha terhindar dari jeratan pajak penghasilan yang mahal. Mereka memilih uang itu dikelola di negara tax haven (pajak sangat kecil) ketimbang di Indonesia, yang dibebani pajak penghasilan cukup besar. Para pengusaha, yang tergolong bukan pegawai, akan di­ke­nai pajak penghasilan berdasarkan PPh 21 bukan pegawai, yakni se­besar 50% dari jumlah penghasil­an bruto, dikurangi penghasilan ti­dak kena pajak (PTKP) sebulan. Tingginya beban pajak penghasilan membuat mereka memilih memutar uang di negara tax haven.

Indonesia kemudian ingin menga­tasi masalah tersebut lewat RUU Peng­ampunan Pajak atau RUU Tax Am­­nesty. Harapannya, duit putra-put­ri bangsa yang bersemayam di luar negeri yang berjumlah sekitar Rp3.000 triliun-Rp4.000 triliun kembali pulang dan akan menghasilkan setoran pajak ke negara hingga Rp60 triliun.

Kementerian Keuangan ingin RUU Tax Amnesty yang terdiri dari 14 bab dan 27 pasal tersebut dapat disahkan paling lambat pada Juni 2016, tetapi sempitnya waktu pembahasan membuat penetapan RUU itu harus ditunda. Di sisi lain, di saat negara berupa­ya merebut kembali dana hasil usa­ha para pengusaha (yang umumnya kelas kakap), sebaiknya upaya menggencarkan keuangan inklusif juga jangan kalah berpacu.


Unbankable

Keuangan inklusif ialah prosedur menjamin akses produk dan jasa keuangan, yang dibutuhkan berbagai kelompok, terutama mereka yang ekonominya lemah dan kelompok berpenghasilan rendah. Mereka mungkin seterusnya tidak bisa me­nabung atau meminjam modal untuk bertahan hidup (unbankable). Namun, melalui akses ke keuangan dengan biaya terjangkau, cara yang wajar, transparan, dan disediakan institusi keuangan yang tepercaya, masalah bisa teratasi.

Di sinilah potensi kaum unbankable menjadi senjata cukup ampuh. Dalam proses pembangunan ekonomi, kemudahan akses keuang­an bagi kelompok marginal, selain dapat mereduksi konflik fisik antarsesama manusia, mampu menge­luar­kan orang miskin dari perangkap kemiskinan bahkan membuat mereka jadi produktif.

Mantan Wapres RI Mohammad Hatta mengungkapkan, idealnya, 2% dari total penduduk suatu ne­ga­­ra ialah pengusaha. Tentunya pengusaha yang menengah ke atas. Namun, untuk bisa mencapai ideal itu, harus dimulai dari hal kecil. Pintunya ialah pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ke­tua Dewan Pertimbangan Kamar Da­gang dan Industri (Kadin) DKI Dha­niswara K Harjono mengungkap­kan ada 57,9 juta pelaku UMKM di Indonesia. Jumlah itu terbanyak di antara negara lainnya di dunia.

Kontribusi UMKM Indonesia ter­hadap pendapatan kotor (PDB) ialah 58,92%, serta berkontribusi me­nyerap tenaga kerja 97,30%. Dari 57,9 juta tersebut, bisa dibayangkan berapa PPh 21 bukan pegawai dan pegawai yang didapat pemerintah? Apalagi dengan semakin berkualitasnya UMKM. Juga, berkaca pada krisis 1998, saat itu usaha besar satu per satu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat lantaran nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menukik tajam.

Ada beberapa alasan mengapa UMKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1997 lalu, yaitu tidak memiliki utang luar negeri, ti­dak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable, menggunakan input lokal, dan berorientasi ekspor.


Zakat dan infak

Ada pula yang menarik dari sisi upaya memperluas inklusi keuang­an. Tahun lalu, Islamic Financial Services Board (IFSB) memiliki program tersendiri bagi Indonesia, yakni mengoptimalkan peranan zakat dan infak. Keduanya, pada da­sarnya ialah penyedia akses keuangan karena sumbernya relatif kontinu. Infak dan zakat akan disiapkan sebagai pendukung akses permodalan bagi pengusaha kecil sehingga ke depannya akan dikelola untuk lebih diarahkan kepada perluasan investasi.

Bank Indonesia pada 2012 telah mengharuskan bank memberikan kredit bagi UMKM, yakni mengharuskan perbankan menyalurkan kredit ke UMKM minimal sebesar 5% dari total portofolio kredit pada 2015. Pada 2016 itu dinaikkan menjadi 10%, kemudian 15% di 2017, dan 2018, 2019, 2020, dan seterusnya minimal 20%.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ju­ga mendukung upaya financial inclusion melalui kesepakatan dengan Islamic Development Bank (IDB), yang di dalamnya terdapat upaya perluasan akses keuangan secara syariah. Pada akhirnya tujuan finan­cial inclusion ialah memudahkan layanan keuangan bagi mereka yang sebelumnya terisolasi dalam sistem keuangan diharapkan menghadirkan penguatan basis produksi. Pada gilirannya, itu akan meningkatkan sisi suplai dalam perekonomian Indonesia sehingga dapat mendukung perbaikan fiskal, penerimaan nega­ra, hingga pengendalian inflasi.

* Pendapat pribadi
* Peserta pelatihan menulis opini MI Komunitas

Angiola Harry
Staf Bank Indonesia Call and Interaction Departemen Komunikasi BI



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya