DALAM pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia ke-5 pada hari senin, 8/6/2015, yang dilaksanakan di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta fatwa MUI untuk mengkaji pengajian yang menggunakan suara rekaman dan diperdengarkan melalui pengeras suara.
Permintaan Wakil Presiden yang juga memimpin Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini tentu saja menarik untuk ditelaah dengan saksama karena tak hanya menyangkut area fikih yang berdimensi sosial. Permintaan Wakil Presiden sangat penting dan relevan karena disampaikan langsung pada para ulama yang kompeten dan otoritatif. Di samping itu, permintaan tersebut juga seiring dengan momentum umat Islam yang akan segera memulai puasa di bulan yang penuh kasih dan ampunan, Ramadan.
Sebagaimana biasanya, selama bulan Ramadan, aktivitas masjid semakin semarak yang juga sering dibarengi dengan penggunaan pengeras suara yang bersahutan dengan kurang mempertimbangkan lingkungan sekitar, sehingga tak hanya berpotensi mengurangi kenyamanan juga mendegradasi kekhusyukan.
Fenomena tersebut mengingatkan penulis pada perbincangan santai, tetapi bernas jemaah milik Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Network (Kahmipro Network) yang terangkum dalam buku bertajuk 'Islam tanpa Toa' yang diterbitkan tujuh tahun lalu. Buku tersebut mengulas bagaimana eksesifnya penggunaan toa (pengeras suara) sehingga nyaris seperti tanpa pengaturan, padahal sudah masuk domain publik. Sejatinya sejak 1978, pemerintah melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam No KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Dalam lampirannya, Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut telah merinci dari mulai syarat-syarat penggunaan pengeras suara, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
Pengaturan tersebut bukan hanya khas Indonesia, melainkan juga dilakukan di berbagai belahan negara muslim lainnya, seperti di Mesir yang secara singkatnya menyatakan bahwa suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah azan sebagai tanda telah tiba waktu salat. Pengaturan yang ada selaras, misalnya dengan firman Allah SWT "Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan hati dan rasa takut (pada siksaan-Nya) serta tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan sore hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS Al-A'raf: 205).
Sayangnya, dalam praktik keseharian, budaya penggunaan alat bantu pengeras suara cenderung berlebihan serta seperti menjadi sebuah perlombaan, baik dalam intensitas maupun kapasitas suara yang dikeluarkannya. Alih-alih menjadi syiar yang mengundang kesan dan simpati justru menjadi pemicu antipati, terutama pada waktu istirahat yang membutuhkan ketenangan. Di sinilah permintaan Wakil Presiden tersebut menjadi relevan dan penting untuk dipecahkan bersama, tak hanya oleh para alim ulama yang sedang berupaya untuk merumuskan istinbat hukum dalam merespons fenomena kekinian, tetapi juga dukungan umat Islam secara keseluruhan sebagai ujung tombak pelaksana fatwa tersebut. Pada akhirnya efektivitas sebuah fatwa bahkan hukum positif sekalipun apalagi yang terkait dengan ekspresi keberagamaan yang cenderung sensitif dan perlu kehati-hatian ekstra, sangat tergantung pada kerelaan para pemeluknya.
Selanjutnya, permintaan Wakil Presiden yang tetap waktunya juga bisa menjadi bahan renungan dan refleksi bersama dalam menyambut bulan Ramadan. Bulan Ramadan merupakan salah satu kawah candradimuka bagi umat Islam untuk terus mengasah mata hatinya agar mampu menjadi pribadi yang bertakwa yang mampu menjalin hubungan baik dengan Sang Khalik dan juga terampil dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Dengan demikian, Ramadan merupakan momen penting untuk melakukan pembiasaan yang sekaligus menjadi pijakan melakukan perubahan mental spiritual. Perubahan tersebut, dalam jangka panjang diharapkan secara bertahap mampu mengubah budaya bangsa.
Banyak sekali hikmah yang bisa direguk lewat puasa di bulan Ramadan, salah satunya ialah melatih keteraturan, kesabaran, keikhlasan, kekuatan, kepekaan sosial, dan kemampuan berempati. Kemampuan berempati, misalnya banyak bergantung pada kemampuan untuk melakukan penghayatan dengan membayangkan bagaimana bila posisi kita berada dalam posisi orang lain sehingga apa pun yang dilakukan senantiasa mempertimbangkan perasaan dan kenyamanan pihak lain, tepa salira. Aspirasi menjadi inspirasi Fenomena pengeras suara mengingatkan penulis pada percakapan yang indah dan reflektif 10 tahun silam antara dua pemuka umat berlainan agama, Prof Komarudin Hidayat dan Prof Mudji Sutrisno yang saat itu sama-sama menjadi pakar yang terlibat dalam penyusunan studi pendahuluan dalam mempersiapkan RUU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Bidang Sosial Budaya.
Prof Komarudin bercerita bagaimana perasaannya ketika berakhir tahun di negeri Paman Sam yang sangat kental selama sebulan penuh dengan kesemarakan Natal dan Tahun Baru. Perasaan yang sama juga dirasakan Prof Mudji Sutrisno dengan semaraknya Ramadan di Tanah Air. Pada titik inilah, semua umat beragama perlu merenungi kembali bagaimana mengekspresikan keberagamaan dengan tetap mengedepankan pesan keberagamaan untuk senantiasa berempati dan rela berkorban untuk orang lain (altruistik, al-ietsar).
Tentu, setiap umat beragama mendambakan mampu menyemarakkan setiap momen penting dalam keberagamaan dengan penuh kekhusyukan. Aspirasi tersebut merupakan keniscayaan sebagai pengejawantahan ketaatan akan keberagamaannya. Selanjutnya, bagaimana aspirasi tersebut disandingkan secara tepat dan elegan dengan kerelaan untuk mengedepankan kebaikan dan kenyamanan bersama.
Jika merunut pada aturan yang ada dan juga pesan sejati agama, aspirasi ekspresi keberagamaan akan mampu berjalan seiring dengan sikap empati untuk kebersamaan. Di sinilah, permintaan Wakil Presiden pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia tersebut menjadi relevan dan layak dipikirkan untuk dipertimbangkan solusi terbaiknya. Jika segenap bangsa, pemimpin yang diwakili Bapak Jusuf Kalla, para ulama di MUI dan juga umat Islam berkerelaan untuk melakukan permufakatan bersama, akan mampu menggeser aspirasi menjadi inspirasi.
Kerelaan pemimpin, pemuka agama, dan umat beragama dalam menjamin kenyamanan dan kekhusyukan beribadah, terutama selama bulan Ramadan, akan menjadi inspirasi tak hanya bagi umat Islam di belahan negeri lain, tetapi juga umat agama lain di penjuru dunia lainnya. Jika hal tersebut terlaksana dengan penuh kerelaan, identitas dan pesan Islam yang rahmatan lil'alamin akan tersebar dengan sendirinya dan itu merupakan bagian syiar yang empati dan elok. Insya Allah.
Tatang Muttaqin Peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS),University of Groningen dan alumnus Mu'allimien Pesantren Rancabogo Garut