Kekerasan terhadap Anak

Seto Mulyadi
13/6/2015 00:00
Kekerasan terhadap Anak
(MI/Pata Areadi)
KASUS Angeline yang dibunuh pembantu rumah tangga orangtua angkatnya dan diduga juga ditelantarkan keluarga angkatnya saat ini ramai menjadi pembicaraan masyarakat. Komentar dari berbagai kalangan pun muncul. Intinya memberikan empati yang begitu mendalam terhadap nasib tragis gadis cilik mungil itu. Tak kurang para aktivis perlindungan anak menggelar aksi Gerakan 1.000 Lilin untuk Anak Indonesia di Bundaran HI untuk mengingatkan keluarga, masyarakat, dan pemerintah agar lebih serius memberikan perlindungan kepada anak-anak.

Kekerasan pada anak hingga kini masih saja terus terjadi di tanah air kita. Bahkan jumlahnya cenderung kian meningkat dari waktu ke waktu. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan (secara fisik, emosional, verbal, dan seksual), penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, baik yang berlangsung secara disadari maupun yang tanpa disadari. Dalam arti, kekerasan yang memang dilakukan karena kehilangan kendali atas emosi pelaku maupun yang dilakukan dengan tujuan serta dalih 'pendidikan' terhadap si kecil.

Yang menyedihkan sekaligus mencengangkan ialah kenyataan bahwa kekerasan terhadap anak justru paling banyak terjadi di wilayah domestik alias pelakunya tak lain anggota keluarga sendiri, terutama orangtua. Itu pun masih banyak kasus yang belum terungkap karena rendahnya pemahaman masyarakat akan hak-hak anak. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tindak kekerasan pada anak di tanah air kita sesungguhnya merupakan fenomena gunung es. Angka kejadian sebenarnya bisa jauh lebih banyak daripada yang terungkap secara nyata di kalangan masyarakat luas.

Data yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak menunjukkan realitas jumlah kasus sebagai berikut: 2011 (2.426 kasus), 2012 (2.637 kasus), 2013 (3.339 kasus), 2014 (2.750 kasus), dan 2015 sampai Mei sudah tercatat 339 kasus. Kekerasan seksual menempati jumlah yang terbanyak, yaitu 50%-62%.

Berbagai faktor dikemukakan sebagai penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak tersebut, mulai faktor sosial-ekonomi (kemiskinan, kesenjangan sosial, dan lain-lain), faktor psikologis (rendahnya kematangan emosional orangtua), hingga faktor pendidikan (terbatasnya wawasan orangtua), faktor budaya (paradigma lama tentang hakikat anak sebagai subordinat orangtua), faktor politik (kekerasan oleh negara terhadap anak jalanan), dan lain sebagainya. Semuanya teraktualisasikan secara masif dalam bentuk tindakan-tindakan traumatik terhadap anak, baik secara fisik maupun mental. Hal demikian jelas akan menimbulkan dampak negatif begitu besar bagi proses tumbuh kembang anak, dalam meniti perjalanan hidup mereka menuju hari esok.

Beragam akibat yang bisa terjadi karena tindak kekerasan terhadap anak banyak diungkap para ahli. Secara garis besar, di satu sisi kekerasan itu akan membuat mereka merasakannya sebagai trauma dan di sisi lain, mereka cenderung memersepsikan sebagai contoh untuk ditiru. Trauma yang dialami anak membuat mereka banyak kehilangan potensi bagi proses pengembangan karakter dan kepribadian mereka. Manifestasinya, anak bakal kehilangan rasa percaya diri, gampang cemas, mudah putus asa, tumpul semangatnya, dan lain sebagainya. Atau bahkan sebaliknya, yakni menyimpan dendam terhadap pelaku kekerasan.

Sementara itu, kecenderungan memandang kekerasan sebagai contoh akan membuat anak-anak melakukan identifikasi tindak kekerasan yang dialaminya sebagai 'model' untuk ditiru sehingga tak mengherankan bila anak sering mendapatkan perlakuan keras di masa kecil akan menunjukkan kecenderungan berperilaku keras pula di usia remaja dan dewasa mereka kelak. Dari paparan tersebut di atas, adalah keniscayaan bahwa sudah tiba saatnya kita selekasnya mengambil sikap secara positif dan tegas. Yakni, langkah nyata untuk menanggalkan dan meninggalkan tindak kekerasan terhadap anak dalam kehidupan sehari-hari. Itu bukan saja karena pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Hal yang tak kalah penting ialah kenyataan bahwa segala bentuk tindak kekerasan jelas bertentangan dengan budaya adiluhung bangsa kita, yang dikenal cinta damai, bertutur kata santun, dan penuh empati terhadap sesama.

Konsep psikoanalisis Sigmund Freud menekankan besarnya pengaruh masa lalu (masa balita) terhadap perjalanan hidup manusia. Konsep itu sesuai dengan paradigma bahwa mendidik anak sejak usia dini memiliki arti teramat penting bagi proses pembentukan moral seorang individu. Artinya, memberikan keteladanan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas--dan bukannya keteladanan tindak kekerasan--pada usia dini sangat berpengaruh dalam perkembangan kejiwaan anak yang positif di masa mendatang. Betapa pun, memanglah kekerasan sebagai bentuk luapan emosi paling primitif dalam hidup manusia merupakan cermin gagalnya individu memegang kendali rasio dalam mengelola perilakunya.

Satgas perlindungan anak

Saat ini bila ada suatu tindak kekerasan terhadap anak, umumnya masyarakat akan segera melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau bisa pula ke Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak). Atau kadang-kadang ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) bila di kotanya sudah ada LPA. Hal itu sering membuat masyarakat enggan untuk melapor apabila ada kekerasan terhadap anak karena umumnya menganggap lembaga-lembaga tersebut terlalu jauh. Ataupun bila melapor sering beberapa warga masyarakat merasa kecewa karena masalahnya tidak dapat ditangani secara cepat karena banyaknya kasus yang ditangani lembaga-lembaga tersebut.

Di sinilah perlunya pemberdayaan masyarakat lebih ditingkatkan untuk terlibat dalam gerakan perlindungan anak. Kalau Hillary Clinton pernah mengatakan untuk mendidik seorang anak perlu orang sekampung, di sini juga dapat ditambahkan bahwa untuk perlindungan anak pun memerlukan orang sekampung. Artinya warga sekitar perlu ikut dilibatkan untuk mengawasi bila di lingkungannya ada keluarga yang melakukan penelantaran ataupun tindak kekerasan terhadap anak.

Maka lembaga RT dan RW pun sudah saatnya untuk melengkapi kepengurusannya dengan adanya seksi khusus yang dapat diberi nama satuan tugas perlindungan anak. Dengan demikian, apabila ada warga yang mendengar atau melihat ada Orangtua yang menyiksa atau memukuli anaknya, warga dapat segera menegur atau memperingatkan orangtua tersebut. Apabila tidak peduli, warga dapat segera melapor kepada satgas perlindungan anak dari RT di wilayahnya. Satgas perlindungan anak tersebut dapat turun tangan untuk mencegahnya atau langsung melapor ke kantor polisi terdekat apabila pelaku tidak dapat diperingatkan.

Dengan melibatkan lembaga RT/RW setempat untuk mengoordinasi warganya dalam gerakan perlindungan anak, upaya untuk menekan berbagai tindak kekerasan terhadap anak yang justru sering dilakukan orang-orang terdekat ini kiranya juga akan semakin optimal.

Akhirnya, sebagai wujud diakhirinya segala tindak kekerasan terhadap anak, mesti dikembangkan pola keteladanan secara konkret dalam setiap sudut paradigma dunia pendidikan kita. Dengan demikian, pola otoritarian yang selama ini masih saja tersisa di sana-sini mesti segera diakhiri serta diwujudnyatakan dalam praktik sehari-hari. Sebagaimana pesan Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hadjar Dewantara, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semoga.


Seto Mulyadi Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya