SDGs di Indonesia dan Inspirasi Kartini

21/4/2016 08:28
SDGs di Indonesia dan Inspirasi Kartini
(Ilustrasi -- ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

PERTENGAHAN Maret 2016 lalu, sebuah proses penyempurnaan komitmen global memerangi kemiskinan SDGs (Sustainable Development Goals) telah melangkah ke tahapan yang lebih maju. Tahapan itu adalah kesepakatan tentang indikator SDGs yang akan menjadi benchmark tercapai tidaknya 17 goal dan target yang ada dalam SDGs sebagaimana yang disepakati oleh seluruh pemimpin dunia pada September 2015.

Pada saat yang sama, di Indone­sia sedang berlangsung proses pelembagaan dan pembumian SDGs untuk memastikan bahwa komitmen global ini bisa bekerja dan menjadi panduan bersama meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan tidak boleh meninggalkan siapa pun dalam setiap proses yang berlangsung.

Oleh karena itu, idealnya dalam proses perumusan pelembagaan, kebijakan, hingga indikator, prinsip-prinsip inklusif dan partisipatif adalah hal yang mutlak. Demikian juga pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya.

Proses tersebut harus belajar dari keterlambatan pemerintah Indonesia yang baru merumuskan rencana aksi nasional pencapaian MDGs pa­da 2010, 10 tahun setelah MDGs di­deklarasikan pada 2000. Berbagai evaluasi mengenai MDGs di Indonesia bersepakat bahwa kegagalan MDGs, terutama untuk goal-goal yang krusial (antara lain penurunan angka kematian ibu melahirkan, de­forestasi, penyediaan air minum, dan tingginya angka penderita HIV/AIDS), selain karena ketaktersediaan dan ketakmampuan kebijakan juga karena tak ada rasa kepemilikan (ow­nership) terhadap MDGs. Komitmen global ini hanya dianggap pro­duk PBB dan direduksi menjadi pro­yek pemerintah.

Sekarang ini juga muncul perta­nyaan, apakah SDGs ini produk asing? Pertanyaan ini yang dulu ju­ga selalu dilekatkan pada MDGs. Jauhkah SDGs dari realitas sosiologis yang berlangsung di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa membandingkan goal dan target, terutama terkait dengan masalah yang dihadapi perempuan dengan cita-cita pembebasan perempuan yang diperjuangkan oleh Kartini lebih seabad yang lalu.

Dalam surat-surat yang dikirim ke sahabat-sahabatnya di negeri Be­landa dan juga kumpulan tulisannya yang ada di buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini banyak me­nuliskan kegelisahannya menge­­nai diskriminasi yang dihadapi pe­rempuan, juga tentang masalah-ma­salah yang mengungkung kaum perempuan.

Persoalan-persoalan itu, antara lain, ketiadaan akses bagi perempu­an untuk mengenyam pendidikan, praktik pengekangan perempuan atas nama budaya, praktik pernikah­an paksa dan pernikahan di bawah umur.

Kisah akhir perjalanan sejarah Kar­tini hingga menjelang kematian­nya (112 tahun yang lalu) adalah ki­sah yang masih berlangsung dan dialami jutaan perempuan Indonesia hingga saat ini. Dipaksa kawin (mu­da) dengan pasangannya yang su­dah menikah, dan meninggal du­nia setelah melahirkan. Indonesia adalah salah satu negara yang ga­gal mengerem laju kematian ibu me­lahirkan sesuai dengan target MDGs yaitu 108 kematian/100.000 ke­lahiran hidup. Bahkan angka ke­matian ibu melahirkan di Indone­sia pernah melonjak hingga 359 ke­ma­tian/100.000 kelahiran hidup.

Kegelisahan Kartini tentang diskri­minasi yang dialami perempuan, ke­tiadaan akses perempuan untuk me­ngenyam pendidikan, praktik pengekangan perempuan atas nama budaya, pernikahan paksa terhadap anak perempuan, dan perbudakan pe­rempuan adalah pertanyaan-per­tanyaan perempuan (meminjam is­ti­lah kaum feminis) yang harus di­jawab pada segala zaman. Kege­li­sahan Kartini juga menginspirasi pa­ra pelanjutnya, semisal para peng­gagas Kongres Perempuan In­donesia yang menambahkan per­soalan perdagangan perempuan dan anak sebagai masalah yang juga dihadapi oleh perempuan Indonesia. Yang terakhir, organisasi-organisasi perempuan yang bekerja untuk hak kesehatan menemukan masih banyak praktik sunat terhadap anak-anak perempuan di Indonesia.

Uraian historis tersebut memper­lihatkan bahwa goal dan target SDGs (terutama terkait dengan pe­rempuan) bukan hal yang baru dan asing untuk Indonesia. Ia bahkan me­miliki relevansi kesejarahan un­tuk menjawab persoalan yang di­hadapi perempuan Indonesia dari zaman ke zaman. Watak ideologi pem­bangunan di Indonesia yang pa­triarkis selama ini juga abai pada kebutuhan-kebutuhan khusus yang dihadapi perempuan, pun semakin mendorong proses marginalisasi perempuan dan feminisasi perempuan.

Oleh karena itu, jika pemerintah Indonesia konsisten dengan prinsip no one left behind yang menjadi sa­lah satu maklumat SDGs, proses pe­lembagaan SDGs hendaknya tidak melupakan sejarah panjang ma­salah perempuan Indonesia, juga tidak mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan khusus perempuan, ser­ta senantiasa mengedepankan ke­pentingan kelompok-kelompok marginal yang selama ini diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk target-target spesifik dalam goal SDGs terkait perempuan seperti pernikahan anak, perdagangan pe­rempuan, dan sunat perempuan yang hingga kini belum tersedia da­tanya di Indonesia, itu tidak bo­leh menjadi alat legitimasi untuk me­ngesampingkan target tersebut. Kondisi itu harus menjadi landasan awal bagi semua pemangku kepen­tingan membangun data base, merumuskan indikator, dan menyusun kebijakan untuk pencapaian target-target tersebut.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya