Prajurit Wanita TNI Kartini dengan Multiperan

Brigjen TNI Susi Arlian
21/4/2016 08:24
Prajurit Wanita TNI Kartini dengan Multiperan
(Grafis/MI)

"BUKAN mawar peng­hias taman, melain­kan melati pagar bang­sa....”

Peran seorang prajurit wanita di dalam organisasi TNI berhasil menyentuh aspek-aspek historis, kultur-budaya, sosial, dan politik yang berlaku di dalam negara Indonesia. Keberadaan wanita di dalam institusi militer di Indonesia menunjukkan wujud apresiasi sosial dan pengakuan publik atas peran wanita, khususnya korps wanita TNI dalam setiap strata dan jenis pekerjaan yang ada di Republik ini.

Wanita Indonesia berhasil meraih kesetaraan gender atas upaya dan jerih payah generasi perempuan yang ada saat ini ataupun para pen­dahulunya yang mendirikan organisasi-organisasi kewanitaan di dalam kemajemukan lingkungan masyarakat Indonesia. Pengakuan atas kesetaraan gender wanita Indonesia diraih melalui perjuangan dan harus senantiasa ditunjukkan dalam bentuk peran aktif setiap perempuan mulai lingkungan terkecil ke­luarga sampai lingkup nasional-internasional dalam bentuk peran sosial politik.

Landasan historis peran wanita Indonesia diawali oleh Raden Adjeng Kartini. Inisiatif dan pemikirannya pada era itu menunjukkan bahwa wanita di Indonesia mampu setara dengan kaum laki-laki. Keinginan untuk lepas dari belenggu adat istiadat Jawa serta kebebasan untuk bersekolah merupakan sebagian kecil dari gambaran penderitaan seluruh wanita pribumi yang RA Kar­tini perjuangkan. Kondisi yang dialaminya hanyalah sekelumit contoh dari permasalahan sosial yang berlaku di pelosok Nusantara pada zaman itu, yang disebabkan sistem sosial patriarki.

Kegemaran membaca dan korespondensi Kartini memberikan wawasan dan pengetahuan yang luas tentang kemajuan berpikir pe­rempuan Eropa. Melalui tukar pi­kiran dan pendapat dengan para sahabat penanya di Belanda, Kartini menyadari rendahnya status sosial dan martabat perempuan bu­miputra. Usaha Kartini untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia baru membuahkan hasil ketika usaha mendirikan sekolah wanita mendapat izin dari sang suami, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang pada 1903.

Namun, kodrat Kartini sebagai wa­nita jugalah yang menghambat cita-cita mulianya. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, rutinitas korespondensi Kartini berkurang karena kondisi hamil. Terbatasnya sarana kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan membuatnya jatuh sakit dan berujung dengan meninggalnya Kartini pada usia 25 tahun, setelah empat hari kelahiran sang putra, Soesalit Djojoadhiningrat. Akan tetapi, sepeninggal Kartini, semangat dan tulisan-tulisan Kartini justru semakin berkembang seiring meluasnya sekolah-sekolah wanita yang didirikan oleh Yayasan Kartini melalui Politik Etis (balas budi) ke­luarga Van Deventer.

Inspirasi Kartini dan kumpul­an bukunya mendapatkan atensi ma­syarakat Indonesia dan dunia sehingga mampu mengangkat martabat wanita untuk sejajar dengan kaum pria di Indonesia. Semangat inilah yang diembuskan kepada prajurit-prajurit wanita di militer Indonesia untuk dapat berperan dalam organisasi yang didominasi oleh laki-laki dengan segenap aspek maskulinitasnya.

Dengan gema emansipasi wanita dan kesetaraan gender yang berkembang saat ini, keberadaan kaum perempuan di dunia militer mampu memengaruhi kultur budaya umum masyarakat Indonesia. Pandangan bahwa wanita harus mengikuti ko­dratnya untuk melakukan pekerjaan domestik mulai memudar.

Mengandung, melahirkan, menyusui, sampai dengan membesarkan anak merupakan pekerjaan domestik yang secara budaya lama dilakukan se­bagai ‘satu-satunya’ pekerjaan se­orang wanita dewasa. Hal itu semakin tertutup dengan arus globalisasi yang menuntut setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, untuk memiliki pekerjaan dan kehidupan yang layak demi kesejahteraan ke­luarganya. Wanita Indonesia dengan kemampuan intelektualnya mampu untuk bekerja dan berpenghasilan dalam segala bentuk lingkungan sosial maupun pekerjaan, termasuk lingkungan kerja seekstrem militer sekalipun.

Sama seperti Kartini, prajurit-pra­jurit wanita tentunya tidak lepas dari kodratnya sebagai ibu dan is­tri. Tekanan sosial cenderung menyudutkan wanita, terutama yang memiliki karier dan pekerjaan yang layak, ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangganya. Kegagalan membina keharmonisan suami-istri ataupun kesalahan dalam mendidik anak tidak pernah dibebankan secara sosial kepada sang suami yang memang berpredikat sebagai pencari nafkah bagi keluarga.

Kentalnya kultur patrilineal ini diperkuat dengan dogma agama serta warisan adat istiadat yang ber­laku di sebagian besar wilayah Nusantara. Hal ini menuntut para wanita TNI untuk senantiasa dapat menyeimbangkan perannya sebagai prajurit, pendamping suami maupun ibu bagi generasi penerus bangsa. Tidak hanya mampu bersaing dengan kaum pria di dalam TNI sendiri, tetapi juga berperan sebagai istri dan ibu yang melaksanakan manajemen keluarga sehingga mampu menepis tekanan sosial dari lingkungan di sekitarnya.

Dari kondisi sosial budaya ini, tentunya kesetaraan gender yang ingin diraih oleh wanita TNI tidak serta-merta diperoleh dari reputasi senior, rekomendasi atasan, maupun latar belakang pendahulunya, tetapi berdasarkan kerja keras dan karya nyata yang dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun lingkungan profesinya.

Untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi publik secara luas, peran wanita TNI tidak terhenti pada lingkup institusi militer. Terdapat 13 kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian (K/LPNK) yang dapat menjadi kelanjutan karier bagi Korps Wanita TNI di level pemerintahan pusat. Jabatan strategis pada tataran instansi pemerintah tersebut tidak lepas dari arus percaturan politik yang senantiasa dapat berdampak pada copotnya jabatan ketika tidak memenuhi kompetensi yang digariskan.

Demikian pula dengan pengisian jabatan tinggi pada level tersebut, yang menuntut kualifikasi, pendidikan, rekam jejak, dan integritas individu yang dapat dipertanggungjawabkan. Penempatan sembilan wanita TNI sebagai perwira tinggi pada level K/LPNK membuktikan bahwa peran Korps Wanita TNI te­lah mendapatkan pengakuan secara politis pada tingkat nasional. Ekspektasi terhadap aspek in­te­lek­tualitas, profesionalitas, dan karakter prajurit wanita pada tataran politik seperti ini tidak akan membedakan latar belakang pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya, termasuk jenis kelamin. Semuanya diperlakukan sama.

Di sinilah wanita Indonesia harus memahami pengertian kesetaraan gender. Kondisi perlakuan yang sama antara pria dan wanita di ma­ta hukum serta kualitas hidup hanyalah lapisan luar dari arti besar kesetaraan gender. Itu karena di dalamnya juga terdapat sejarah perjuangan yang panjang kaum wanita Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan yang pada era tersebut bertentangan dengan kultur budaya patriarki yang terbungkus erat dengan norma agama.

Oleh karena itu, pengakuan kesetaraan gender merupakan kerja keras multiperan wanita di Indonesia mulai lingkungan keluarga sampai level pemerintahan. Itu me­rupakan suatu predikat yang se­nantiasa dijawab dengan karya nyata dan usaha yang tidak pernah berhenti. Bukan sekadar untuk men­cari nafkah dan profesi semata, melainkan juga untuk membangun bangsa secara merata.

Peran wanita Indonesia dibutuhkan untuk meningkatkan perputaran roda ekonomi negara. Dengan manajemen SDM yang tepat, keterlibatan aktif wanita Indonesia akan meningkatkan angkatan kerja. Bukan hanya lapangan pekerjaan domestik, melainkan juga pekerjaan publik yang benar-benar meningkatkan martabat wanita untuk sama rata dengan pria. Dengan begitu, pa­da akhirnya semangat Kartini akan terwujud dan bergulir sepanjang masa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya