Integrasi Teknologi untuk Mengurangi Dampak Bencana

Firdaus Dosen Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia
26/3/2016 04:30
Integrasi Teknologi untuk Mengurangi Dampak Bencana
(FOTO ANTARA/Irwansyah Putra)

RABU, 2 Maret 2016 lalu, ketika sebagian dari kita mulai beristirahat melepas penat di rumah, tiba-tiba beredar berita melalui media sosial mengabarkan peringatan dini kemungkinan terjadinya tsunami di Mentawai. Semua yang menerima kabar tersebut segera meneruskannya kepada orang lain. Esok harinya (3/3) media memberitakan sempat terjadi kepanikan warga, dan mereka berbondong-bondong menjauh dari pantai. Menariknya, berita peringatan tsunami beredar hanya dalam waktu 3 menit setelah waktu terjadinya gempa 8,3 SR yang bisa menjadi pemicu tsunami. Kalau saja saat itu benar terjadi tsunami, masyarakat masih punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri karena jeda antara gempa dan tsunami umumnya 20 menit sampai 2 jam. Bandingkan dengan bencana tsunami Aceh pada 2004 yang banyak menelan korban jiwa. Saat itu, warga tidak mengerti ancaman bahaya yang akan terjadi. Alih-alih menyelamatkan diri, beberapa orang malah mendekat ke pantai karena mereka melihat fenomena yang sangat unik, yaitu air laut yang surut dengan cepat. Terlepas bahwa itu ialah ketetapan Tuhan Yang Mahakuasa, kita bisa berusaha untuk memperkecil dampak negatif dan mengurangi jumlah korban akibat bencana.

Dari gambaran dua kejadian tersebut, kita bisa melihat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat bisa dimanfaatkan untuk mendamaikan manusia dengan bencana, baik bencana tsunami maupun bencana alam yang lainnya, seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, dan lain-lain. Indonesia termasuk negara yang paling rawan dengan bencana alam. Salah satu faktor penyebabnya karena posisi Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Filipina. Jumlah gunung berapi mencapai 129 buah dengan 79 di antaranya bertipe A (sangat aktif), sehingga meningkatkan peluang terjadinya bencana alam. Bahkan, data UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction) menyebutkan risiko bencana yang dihadapi Indonesia sangatlah tinggi. Potensi bencana tsunami di Indonesia menempati peringkat pertama dari 265 negara di dunia, dan risiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jepang. Dalam hitungan UNISDR, ada 5.402.239 orang yang berpotensi terkena dampaknya. Integrasi berbagai teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu kita berdamai dengan bencana, dalam arti mengurangi dampak dan korban sebanyak mungkin.

Prof Sarwidi dari BNPB mengatakan teknologi pendeteksian dini bisa meningkatkan efektivitas proses mitigasi bencana dengan tujuan dapat mereduksi kerugian material dan nonmaterial. Pada 2007, Kemenristek juga sudah menyatakan salah satu asas penanggulangan bencana di Indonesia ialah ilmu pengetahuan, artinya penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal. Dengan demikian, proses penanggulangan bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana dapat dipermudah dan dipercepat. Saat ini di banyak daerah sudah dipasang teknologi deteksi dini, dengan teknologi ini kita bisa sejak awal mengetahui potensi terjadinya bencana, bisa tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan lain-lain. Terlepas bahwa teknologi tersebut masih butuh banyak perbaikan dan pengembangan, pertanyaan selanjutnya ialah jika sudah ada peringatan dini, apa yang sebaiknya harus dilakukan? Masalah ini terjadi pada banyak peristiwa bencana, misalnya kejadian di Mentawai itu, setelah mendapat peringatan dini kemungkinan bencana tsunami, masyarakat banyak yang bingung harus bagaimana? Akibatnya, terjadi arus mobilisasi masyarakat yang tidak teratur sehingga justru menimbulkan potensi korban kecelakaan dalam arus penyelamatan diri tersebut.

Memperbaiki sisem informasi-komunikasi
Kebutuhan selanjutnya setelah peringatan dini ialah petunjuk kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan. Di sinilah peran teknologi kembali dibutuhkan, sistem informasi yang akurat, real time, dan stabil sangat dibutuhkan. Sistem informasi ini harus dibangun menyesuaikan dengan tiap-tiap kondisi lapangan yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Sistem ini membutuhkan data lapangan yang spesifik dan lengkap, terintegrasi dengan teknologi-teknologi kebencanaan yang ada (misalnya teknologi peringatan dini), dan melibatkan rencana atau prosedur penyelamatan yang baik serta efektif. Setiap daerah perlu membuat sistem ini dengan teliti karena setiap daerah punya kondisi dan karakter yang berbeda sehingga setelah peringatan dini bencana, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dan mengurangi risiko atau korban.

Data yang terkumpul sangat menentukan bagaimana langkah penyelamatan selanjutnya. Untuk mendapatkan data lapangan yang akurat dan real time bisa menggunakan wireless sensor network (WSN). Teknologi ini bisa menggabungkan ratusan, bahkan ribuan jumlah sensor untuk mengumpulkan data, dan antarsensor saling terhubung secara nirkabel. Teknologi ini sangat tepat untuk membangun sistem monitoring, melengkapi sistem monitoring menggunakan satelit (pengindraan jarak jauh) yang banyak digunakan. Sistem satelit akan cukup terganggu saat cuaca buruk, dan tidak bisa mengukur parameter fisik (seperti suhu, kadar gas tertentu, dan getaran) secara akurat. Namun, sistem satelit bisa diandalkan untuk melakukan monitoring pada skala luas. Gabungan antara WSN dan satelit menjadikan kita bisa memperoleh data lapangan dengan lengkap dan akurat. Setelah sistem informasi, pekerjaan berikutnya ialah menyiapkan sistem komunikasi karena informasi atau petunjuk yang penting tersebut harus disampaikan kepada masyarakat luas.

Kendala yang muncul biasanya ialah sistem komunikasi yang ada ikut rusak, utamanya ialah sistem komunikasi seluler. Maka, perlu disiapkan sarana komunikasi darurat bencana. Sistem ini harus siap dioperasikan segera setelah terjadi bencana dan mudah diakses masyarakat, misalkan menggunakan sistem komunikasi satelit yang digabungkan dengan radio atau wi-fi. Perangkat komunikasi satelit digunakan untuk koneksi ke jaringan komunikasi utama dan masyarakat mengakses menggunakan radio atau wi-fi. Karena perangkat ponsel yang ada umumnya mendukung wi-fi dan tidak mendukung akses langsung ke komunikasi satelit. Alternatif lain ialah menggunakan Manet (Mobile Ad-Hoc Network) yang bisa mengirimkan data secara estafet dari satu perangkat ke perangkat lainnya sehingga data bisa sampai pada tujuan. Penelitian dalam social-network membuktikan pergerakan manusia bisa dimanfaatkan untuk aplikasi Manet.

Teknologi yang humanis
Teknologi yang dikembangkan juga harus melibatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek, melainkan juga masyarakat menjadi subjek dan terlibat secara aktif. Sistem yang dibangun memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memberikan data atau informasi secara bertanggung jawab. Ketika masyarakat terlibat aktif, akan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sistem dan teknologi tersebut sehingga masyarakat akan ikut menjaga dan memanfaatkan dengan optimal. Sistem juga harus mempertimbangkan beragamnya tingkat kemampuan akses masyarakat terhadap berbagai jenis teknologi yang ada. Akhirnya, sistem harus bisa dengan mudah dimengerti dan dijalankan masyarakat. Masih banyak lagi teknologi informasi dan komunikasi yang bisa dikembangkan dan diintegrasikan untuk mendukung upaya mitigasi bencana. Saatnya pemerintah memiliki satu tim yang lengkap dan kuat untuk mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi ini sampai pada tahap aplikasi teknologi di lapangan. Ada banyak ahli di perguruan tinggi, badan, atau lembaga pemerintahan yang bisa dikerahkan untuk menyukseskan kerja ini sehingga Indonesia akan berdamai dengan bencana. "Kita tidak bisa menghilangkan bencana, tapi kita bisa mengurangi risiko. Kita bisa mengurangi kerusakan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa." (Ban Ki-moon, Sekjen PBB).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya