Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PRESIDEN Joko Widodo mengungkapkan keprihatinannya mengenai peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) Indonesia pada 2016 yang berada pada posisi ke-109 dari 189 ekonomi dunia. Keprihatinan ini disampaikan presiden saat Peresmian Konsolidasi Perencanaan dan Pelaksanaan Penanaman Modal Nasional (KP3MN) Tahun 2016 dan Peluncuran Kemudahan Investasi Langsung Konstruksi di Kawasan Industri, serta Peningkatan Layanan Izin Investasi 3 Jam untuk Bidang Infrastruktur di Istana Negara, Jakarta pada 22 Februari Lalu ("Presiden Malu Rangking Jeblok", Media Indonesia 23 Februari 2016). Peringkat tersebut dilansir dalam laporan berjudul Doing Business 2016: Measuring Regulatory Quality and Efficiency (Bisnis 2016: Mengukir Kualitas Peraturan dan Efisiensi) yang dirilis World Bank Group pada Oktober 2015. Peringkat Indonesia ini sebenarnya naik dari 120 pada tahun sebelumnya. Namun demikian, posisi ini masih jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat ke-1), Malaysia (18), Thailand (49), Brunei Darussalam (84), Vietnam (90), dan Filipina (103). Presiden memasang target agar pada tahun berikutnya peringkat Indonesia dapat naik pada posisi ke-40.
Menanggapi laporan ini, Presiden menyoroti adanya 42 ribu regulasi yang dianggap menghambat pembangunan. Dalam konteks peraturan daerah (perda), Kementerian Dalam Negeri telah mendata adanya 3.000 perda yang dianggap menghambat pembangunan. Presiden sebelumnya telah menginstruksikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mencabut 3.000 perda bermasalah tersebut. Wajar bila Presiden ingin segera memangkas peraturan-peraturan, termasuk perda yang menghambat pembangunan; apalagi bila dikaitkan dengan kemudahan berbisnis di Tanah Air. Pada kata pengantar laporan yang ditanggapi Presiden tersebut, Senior Vice President dan Chief Economist World Bank Kaushik Basu mengatakan lingkungan peraturan yang memungkinkan perusahaan swasta, terutama perusahaan kecil untuk berjalan akan membawa dampak positif bagi penciptaan lapangan kerja; dan pada gilirannya berdampak positif bagi perekonomian. Pada 16 Februari 2016, saat melantik gubernur-wakil gubernur hasil pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015 lalu, Presiden telah menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam hal memperbaiki iklim kemudahan berusaha inilah, instruksi Presiden ke pada Menteri Dalam Negeri untuk segera mencabut 3.000 perda bermasalah menemukan konteksnya. Apalagi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (yang dua kali perubahannya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015) menggariskan bahwa pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri dapat mencabut perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Akan tetapi, agar upaya mencapai target yang dicanangkan Presiden dapat berjalan efisien dan efektif, pemangkasan peraturan-peraturan, terutama perda yang dianggap menghambat pembangunan hendaknya dilakukan dengan skala prioritas. Dengan demikian, upaya memperbaiki iklim kemudahan berusaha di dalam negeri akan lebih terukur. Dalam konteks laporan kemudahan berusaha, ada 10 area yang dijadikan indikator, yakni kemudahan memulai bisnis, perizinan konstruksi, akses listrik, pendaftaran properti, akses perkreditan, perlindungan pada investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, penegakan kontrak, dan penyelesaian kepailitan. Untuk itu, upaya pemerintah pusat untuk memangkas peraturan-peraturan yang menghambat pembangunan dapat diarahkan terlebih dulu kepada peraturan-peraturan yang berhubungan erat dengan 10 indikator tersebut.
Tentu saja, mereformasi regulasi-regulasi yang berkaitan dengan 10 indikator kemudahan usaha tersebut hanyalah langkah awal bagi usaha perbaikan ekonomi nasional secara keseluruhan. Seperti yang dijelaskan oleh Kaushik Basu, para pembuat kebijakan dapat menggunakan laporan tersebut sebagai titik awal bagi reformasi regulasi.
Namun, langkah reformasi tersebut tidak dapat dilakukan hanya sebatas pada indikator-indikator yang diukur dalam laporan tersebut. Pada tataran inilah pembangunan ekonomi nasional juga tidak dapat berhenti pada sebatas tindakan reaktif berupa reformasi regulasi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada sinergi antara pusat dan daerah tidak dapat berjalan efektif jika hanya mengandalkan pencabutan perda-perda yang dianggap menghambat pembangunan.
Sinergi pemerintah pusat dan daerah sudah seyogianya dilakukan dengan pendekatan antisipatif, yakni diperlukan antisipasi agar di masa datang tidak ditemukan kembali perda-perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau yang dapat menghambat kebijakan pembangunan nasional.
Langkah antisipatif tersebut dapat diupayakan melalui penegasan prinsip otonomi daerah yang berlaku di NKRI kepada pemerintah pusat maupun para kepala daerah yang baru dilantik hasil pemilihan serentak Desember 2015 lalu. Pada prinsip otonomi daerah ini, pemerintah pusat sebenarnya telah memberikan pemerintah daerah kewenangan untuk menjalankan kewenangan tugas pemerintahan. Secara detail, Undang-Undang Pemerintahan Daerah No 23 Tahun 2014 (yang dua kali perubahannya ditetapkan dalam UU No 9 Tahun 2015) menjelaskan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi dalam tiga pasal yang saling berkaitan, antara lain pasal 6: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI; pasal 7: asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah, dan pasal 8: desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan pusat ke daerah otonom berdasarkan asas otonomi.
Prinsip-prinsip inilah yang secara tegas telah membedakan antara otonomi daerah di Indonesia dan prinsip federalisme, yakni negara-negara bagian menyerahkan sebagian urusan pemerintahannya kepada pemerintah pusat. Pemahaman ini yang sepertinya acap terabaikan sehingga pada praktiknya pemerintah daerah membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Akibatnya, prioritas pembangunan nasional, seperti halnya kebijakan untuk mendukung kemudahan berusaha dapat terdistorsi pada tingkat daerah. Masih segar di ingatan kita bagaimana Presiden Joko Widodo pada 12 Februari lalu melantik sembilan pasang gubernur-wakil gubernur hasil pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 lalu. Selanjutnya, pada 17 Februari lalu, para gubernur tersebut melantik 101 bupati dan wali kota di provinsinya masing-masing secara serentak. Dengan kata lain, inilah saatnya para kepala daerah yang baru dilantik itu didukung untuk mendapat pemahaman mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah maupun nilai-nilai kebangsaan serta kesamaan persepsi tentang arah dan tujuan pembangunan nasional. Ini pula saatnya pemerintah pusat secara dini mengawasi proses pembuatan kebijakan pembangunan daerah maupun peraturan daerah agar tidak tercipta perda-perda maupun kebijakan yang menghambat pembangunan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved