Demokratisasi Lingkungan Hidup

Dida Gardera Alumnus London School of Economics and Political Science Penulis Global Environment Outlook ke-6 dan Pekerja Lingkungan
01/3/2016 04:23
Demokratisasi Lingkungan Hidup
(ANTARA FOTO/Fadlansyah)

FENOMENA menarik pada awal 2016, yaitu mewabahnya isu lingkungan hidup melalui kasus putusan pengadilan negeri yang menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT BMH. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Palembang di penghujung 2015 yang diucapkan hakim, ramai dibicarakan baik di media mainstream maupun media sosial, baik pro maupun kontra. Hal yang menjadi perhatian utama adalah terlibatnya semua kalangan dari berbagai pihak, dari para pegiat lingkungan, penegak hukum, pakar, hingga masyarakat awam. Walaupun perlu kajian lebih lanjut apakah sebagai dampak dari fenomena putusan PT BMH, pada Januari 2016 terdapat putusan pidana dari PN Meulaboh yang memutuskan denda pidana dan penjara bagi pembakar lahan. Untuk isu lingkungan hidup, hal ini relatif baru terjadi. Terlepas substansi persidangan dan topik yang mewabah di dunia maya, tulisan ini akan mengulas telah terjadi demokratisasi yang nyata dalam isu lingkungan hidup. Partisipasi semua pihak dengan intensi yang mungkin berbeda, tapi semuanya mengarah pada satu upaya untuk memberikan respons terhadap suatu peristiwa ranah lingkungan hidup. Dalam hal ini adanya putusan hakim tentang ditolaknya gugatan KLHK atas PT BMH. Bentuk respons tersebut ada yang berupa dukungan, kontra, protes, kritik, hingga canda. Fenomena ini dapat dilihat sebagai proses demokratisasi lingkungan hidup. Hal ini merupakan pengejawantahan dari Prinsip Rio 10 (Principle 10) yang dikumandangkan pada 1992, yaitu suatu prinsip pembangunan berkelanjutan yang terdiri dari akses terhadap informasi, pembuatan keputusan, dan keadilan dalam ranah lingkungan hidup.

Untuk Prinsip 10 ini Indonesia memiliki sejarah yang cukup kuat karena pada Februari 2010 di Bali, diadopsi apa yang dinamakan Bali Guidelines, yaitu suatu pedoman bagi pengembangan legislasi nasional untuk akses informasi, partisipasi publik dalam pembuatan keputusan, dan akses terhadap keadilan lingkungan hidup. Sebagai tindak lanjut Bali Guidelines, pada Oktober 2015 diluncurkan Pedoman Implementasi untuk UNEP Bali Guidelines dan dipublikasinnya The Environmental Democracy Index (EDI) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Posisi Indonesia
Indeks Demokrasi Lingkungan Hidup ini dikembangkan World Resources Institute (WRI) dan The Access Initiative (TAI), untuk menggambarkan tingkat kemajuan suatu negara dalam mengembangkan kebijakan dan regulasi serta penerapan untuk transparansi, akses terhadap keadilan (justice) dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan lingkungan hidup, atau dengan kata lain ialah proses demokratisasi dalam bidang lingkungan hidup. Dalam inisiatif ini terdapat temuan yang dapat dijadikan pembelajaran, yaitu kemakmuran suatu negara adalah penting, tapi banyak negara berpendapatan rendah berada pada posisi atas dalam konteks demokrasi lingkungan hidup. Kemudian, negara yang memiliki hukum yang baik berkecenderungan baik pada sisi praktisnya juga. Banyak negara belum dapat menjamin akses secara terjangkau dan cepat.

Catatan yang cukup membanggakan ialah Indonesia berada pada peringkat ke-15 dari 70 negara yang disurvei. Peringkat ini cukup membanggakan jika dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2015 yang berada pada peringkat ke-111 dari 188 negara, atau jika dibandingkan dengan kemudahan investasi yang berada pada peringkat ke-109. Indonesia berada di atas India yang sudah terlebih dahulu menerapkan demokrasi dan di atas seluruh negara ASEAN lainnya. Terdapat 75 indikator legal yang didasari Bali Guidelines. Selain itu, terdapat 24 indikator untuk menggambarkan tingkat implementasinya. Indonesia dalam bidang lingkungan hidup ini sudah memiliki tingkat transparansi yang sangat baik (akses informasi). Sementara, akses terhadap keadilan sudah cukup baik. Sebagaimana negara lain yang dievaluasi, Indonesia dalam hal partisipasi masyarakat masih perlu ditingkatkan. Walaupun aspek transparansi sudah sangat baik, tapi masih terdapat yang kurang, yaitu pembuatan laporan status lingkungan hidup. Hal ini patut disayangkan karena sebelumnya, Indonesia selalu menerbitkan laporan tersebut, tapi pada periode evaluasi, yaitu pada 2015, Indonesia tidak menerbitkan laporannya. Untuk akses terhadap keadilan, aspek yang masih sangat kurang ialah akses terhadap penyelesaian sengketa dan penegakan hukum yang efektif. Indikator yang masih relatif sangat kurang dari aspek partisipasi masyarakat ialah tersampaikannya informasi untuk berpartisipasi, sarana pengaduan, dan telaahan partisipasi publik.

Keterlibatan masyarakat
Dengan mengetahui kekurangan tersebut, Indonesia tidak hanya dapat memperbaiki peringkat, tetapi juga dapat menjadi contoh bagi negara lain untuk penerapan demokratisasi, khususnya di bidang lingkungan hidup dan isu terkait dengan lainnya, seperti kehutanan dan perubahan iklim. Fenomena terakhir yang sangat menarik ialah keterlibatan banyak pihak dalam hal kampanye pengurangan sampah plastik seiring dengan peringatan Hari Peduli Sampah Nasional yang melibatkan lebih dari 1.200 komunitas dan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Tentu, ini akan mengangkat dari sisi indikator partisipasi masyarakat karena terjadi secara masif dan berkelanjutan serta mewabah di media sosial dan mainstream. Demokratisasi ini sangat penting mengingat masyarakat merupakan sumber dan sekaligus solusi bagi permasalahan lingkungan hidup sehingga kuncinya ialah keterlibatan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konstitusi negara kita, UUD 1945 dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keduanya sudah memiliki muruah demokratisasi yang memberikan banyak akses bagi informasi, partisipasi, dan keadilan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya