Saat Kondisi Psikis Polisi Terguncang

Reza Indragiri Amriel Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
27/2/2016 05:20
Saat Kondisi Psikis Polisi Terguncang
(MI/PATA AREADI)

SEORANG anggota Polres Melawi, Kalimantan Barat, menjagal kedua darah dagingnya yang masih balita.

Bagaimana perjalanan kasus ini nantinya, relatif bisa ditebak.

Polisi tersebut nantinya menjalani pemeriksaan kejiwaan. Jika waras, ia akan dipidana.

Jika tidak, masuk rumah sakit jiwa.

'Sesederhana' itu.

Jauh lebih kompleks ialah persoalan tentang bagaimana polisi dengan kondisi kejiwaan sedemikian rupa bisa terus bekerja sebagai personel Tribrata.

Diduga kuat, dengan aksi brutal sekeji itu, personel Polres Melawi tersebut menderita problem psikis yang tidak ringan.

Di situlah muncul pertanyaan; karena pemunculan gejala guncangan psikis itu tidak berlangsung dalam kurun singkat, sejauh apa atasan si personel dan institusi Polri sudah menaruh perhatian terhadap kesehatan jiwa personel tersebut?

Masyarakat acap tak peduli bahwa polisi, baik selaku manusia pribadi maupun individu profesi, juga memunyai kerentanan psikis sebagaimana orang-orang bukan polisi.

Pengabaian itu terjadi karena polisi dianggap serbaperkasa.

Berbenturan dengan realitas bahwa ada tanggung jawab dan risiko kerja yang luar biasa besar, serta penghargaan yang tak proporsional dari masyarakat selaku pihak yang polisi layani, polisi yang kadung membangun citra omnipotent terkondisi untuk menutup-nutupi berbagai beban psikis mereka.

Perpaduan faktor-faktor tersebut menjadikan polisi sebagai profesi yang sesungguhnya berpotensi tinggi mengalami macam-macam gangguan kesehatan mental serius.

Uniknya, kontras dengan persepsi khalayak luas, Van der Velden dkk (2012) tidak menemukan indikasi bahwa masalah kesehatan mental para personel kepolisian lebih parah ketimbang para pekerja di bidang yang tidak berisiko tinggi.

Namun, karena metode pengumpulan data dalam penelitian tersebut adalah swalapor (self-report), studi Van der Velden justru tampaknya berhasil menangkap kebiasaan personel kepolisian untuk mengingkari problem kesehatan psikis mereka.

Ketika masalah psikis personel kepolisian--baik yang berat (subklinis) maupun sangat berat (klinis)--bersumber dari lingkungan internal kepolisian, ragamnya dapat berupa stresor organisasional dan stresor operasional.

Melalui banyak riset disimpulkan bahwa ketimbang stresor operasional, stresor organisasional memiliki dampak jauh lebih buruk terhadap personel.

Itu berarti bahwa segala guncangan pascasituasi kritis, yang biasa dianggap sebagai pembentuk trauma personel, masih kalah serius daripada guncangan akibat faktor kebijakan lembaga kepolisian yang terlalu mengesampingkan status personel baik selaku insan profesional maupun insan pribadi.

Dari situ bisa dipahami bahwa disturbansi psikis personel polisi cenderung terbentuk secara kronis, bukan muncul secara akut.

Apa yang dikerjakan?

Sudah sejak lama saya sangsi bahwa unit-unit dalam institusi kepolisian yang berfungsi untuk mendukung kesehatan jiwa personel masih belum bekerja secara optimal.

Apabila dugaan saya itu benar, ini menegaskan kembali wacana bahwa masalah-masalah mental yang diderita personel kepolisian barangkali juga diakibatkan bentuk-bentuk perlakuan yang dapat terkategori sebagai pelanggaran terhadap HAM mereka.

Dan secara spesifik, pelaku pelanggaran HAM terhadap personel kepolisian ternyata tidak melulu datang dari kalangan luar institusi kepolisian, tetapi juga dilakukan oleh kalangan internal institusi.

Baik secara individual (ulah oknum atasan terhadap bawahan) maupun secara institusional, yakni ketika organisasi tidak membangun inisiatif-inisiatif guna merawat kesehatan psikis personel.

Khusus menyikapi kejadian di lingkungan Polda Kalimantan Barat, sudah saatnya bagi Mabes Polri untuk melakukan evaluasi terhadap setidaknya tiga unit kerjanya.

Pertama, unit sumber daya manusia (SDM).

SDM seyogianya dapat diandalkan sebagai penggodok rancangan program yang ditujukan untuk secara berkesinambungan memantau dan memelihara kesehatan psikis personel.

Di sekian banyak negara, mengharuskan personel untuk menjalani program penanganan masalah psikis terbukti tidak efektif.

Namun, karena sampai kini di Indonesia masih marak keyakinan keliru bahwa orang yang memanfaatkan layanan psikologi dan psikiatri adalah orang gila, hingga beberapa waktu ke depan tidak keliru untuk memberlakukan pemeriksaan mental sebagai kunjungan wajib bagi setiap personel.

Kedua, unit pendidikan dan pelatihan.

Inheren dengan kurikulum pendidikan kepolisian ialah sesi-sesi mengenai pengenalan kondisi psikis pribadi personel.

Dengan materi semacam itu, personel diharapkan akan mempunyai keterampilan-keterampilan praktis untuk mengatasi guncangan-guncangan psike mereka.

Hanya ketika guncangan tersebut tak kunjung teratasi, barulah personel mengunjungi unit layanan kesehatan guna memperoleh penanganan secara lebih intensif.

Ketiga, unit propam. Unit ini bekerja dengan fokus untuk menjawab pertanyaan pada bagian awal tulisan ini.

Propam perlu menakar seberapa jauh atasan di lingkungan kepolisian setempat telah berinisiatif memperhatikan kesehatan mental personel, baik melalui pendekatan personal maupun pembuatan program kelembagaan.

Atasan yang abai terhadap pentingnya kesehatan mental para bawahannya sudah sepatutnya mendapat pembinaan agar ke depannya lebih hirau lagi terhadap sisi manusiawi personel.

Kerja besar dan terpadu sedemikian rupa memang dilakukan untuk meningkatkan jaminan kesehatan seluruh anggota kepolisian.

Namun, tidak berhenti sampai di situ.

Segenap upaya menyehatkan insan-insan Tribrata pada akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan mutu layanan mereka bagi masyarakat luas.

Allahu a'lam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya