Mengukur Daya Gravitasi BI Rate

Haryo Kuncoro, Dosen Ekonomika Moneter FE UNJ Alumnus Program Doktor PPs-UGM
24/2/2016 05:45
Mengukur Daya Gravitasi BI Rate
(MI/ROMMY PUJIANTO)

DALAM waktu dua bulan berturut-turut pada awal 2016, Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (BI rate). Pemotongan masing-masing sebesar 25 basis poin menjadikan BI rate berada pada posisi 7%. Sejalan dengan itu, BI juga memangkas suku bunga deposit facility menjadi 5%, lending facility menjadi 7,5%, dan giro wajib minimum primer ke level 6,5%. Secara konsisten era pelonggaran moneter telah dimulai.

Kebijakan moneter BI ini disambut positif banyak pihak. Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan dunia usaha berharap perbankan segera memangkas tingkat bunganya masing-masing. Objektif harus diakui bahwa BI rate masih menempati lima teratas di dunia di bawah Brasil (14,25%), Rusia (11%), Mesir (8,75%), dan Turki (7,5%). Konsekuensinya, Indonesia masuk ke jajaran negara-negara dengan suku bunga perbankan yang tertinggi.

Dalam logika ekonomi, suku bunga yang tinggi memberikan banyak efek negatif. Di satu sisi, bunga deposito yang tinggi bisa membunuh jiwa entrepreneur. Orang lebih suka menyimpan uang daripada membuka usaha. Tingginya biaya dana niscaya juga memberatkan perusahaan sehingga harga produknya pun tidak kompetitif.

Di sisi lain, jika tingkat bunga tetap tinggi, investasi tidak maju. Investasi langsung maupun portofolio jalan di tempat. Pasar saham dan obligasi tidak lagi menarik. Alhasil, pasar finansial sangat rapuh. Dana 'nganggur' asing menguasai 65% pasar finansial yang semata-mata hanya mengejar tingkat bunga tinggi di Indonesia. Sebaliknya, tingkat bunga rendah merupakan prasyarat penting untuk merealisasikan target APBN 2016, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Harapan ini dibebankan pada investasi baik dalam maupun luar negeri serta belanja pemerintah, terutama proyek infrastruktur.

Dalam perspektif teori, penurunan BI rate sebagai suku bunga acuan tentu menjadi rujukan dalam penentuan suku bunga perbankan. Namun praktisnya, efektivitas penurunan BI rate dalam menekan suku bunga bank sangat tergantung pada derajat pass-through suku bunga.

Derajat pass-through mengukur responsivitas perbankan dalam memasang suku bunganya. Dalam kasus derajat pass-through sempurna, penurunan BI rate diimbangi dengan penurunan suku bunga perbankan dengan besaran penurunan yang proporsional. Menilik data perbankan nasional selama beberapa bulan terakhir, derajat pass-through tidaklah sempurna. Perubahan BI rate tidak direspons sebanding oleh perubahan suku bunga perbankan. Artinya, masih terjadi ketegaran (rigidity) suku bunga pada perbankan nasional.

Rigiditas suku bunga sekaligus mencerminkan kekakuan sikap antisipasi perbankan. Sikap yang adaptif mengungkung perbankan hanya melihat pengalaman masa lalu (backward looking) dalam pengambilan keputusan penetapan suku bunganya sedemikian rupa sehingga terjadi persistensi.

Perilaku asimetris

Persistensi suku bunga membawa akibat lanjut pada kecepatan penyesuaiannya. Jika derajad pass-through tidak sempurna, tenggat antara saat perubahan BI rate dengan penyesuaian suku bunga perbankan menjadi lebih lama sehingga dampaknya pun tidak segera dapat dirasakan. Aspek kecepatan penyesuaian ini selanjutnya memberi karakteristik perilaku perbankan apakah simetri atau asimetris. Perilaku perbankan dalam mematok suku bunganya sebagai respons atas kenaikan suku bunga acuan, sering kali berbeda ketika berhadapan dengan kasus penurunan tingkat bunga acuan.

Fakta menunjukkan derajat pass-through tipikal lambat saat terjadi penurunan BI rate. Perbankan sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada profit cenderung memilih 'bermain aman' untuk tidak buru-buru memangkas suku bunganya dalam menghadapi turunnya BI rate. Akan tetapi, saat BI rate naik, perbankan 'bermain ofensif' dengan seketika melejitkan suku bunganya (derajat pass-through menjadi sempurna). Ketika krisis ekonomi 1997/1998 saat tingkat bunga perbankan mencapai 60% ialah bukti nyata terhadap perilaku asimetris tersebut. Perilaku pass-through sempurna dan simetris inilah memberi garansi bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter kepada sektor riil. Jika perilaku tersebut belum tercapai, terjadi dikotomi antara sektor moneter dan sektor riil. Contoh konkretnya sebelum krisis finansial global 2008, suku bunga acuan telah turun tetapi sektor riil tetap saja tidak bergerak.

Fenomena di atas bukanlah hal yang mustahil karena pertumbuhan ekonomi masih didominasi sektor konsumsi. Jelasnya, derajat pass-through sempurna dan respons simetris hanya berlaku pada suku bunga kredit konsumsi alih-alih suku bunga kredit modal kerja atau kredit investasi yang berkaitan erat dengan sektor produksi.

Dalam perspektif mikro, BI rate memang bukan satu-satunya faktor penentu suku bunga perbankan. Keputusan perbankan dalam memasang suku bunga dipengaruhi pula oleh berbagai macam determinan, seperti biaya transaksi, risiko inflasi, depresiasi, dan terutama karakteristik debiturnya.

Risiko inflasi dikalkulasi untuk mempertahankan suku bunga riil yang dinikmati perbankan. Risiko depresiasi dipertimbangkan sebagai kesempatan yang hilang (oppotunity cost) seandainya dana yang disalurkan kepada debitur domestik dipinjamkan kepada pihak lain dalam denominasi mata uang asing. Risiko yang menyangkut profil debitur dikenal umum dengan prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy). Semua risiko di atas dibebankan kepada debitur sebagai premi yang membentuk tingginya suku bunga guna menghindari kredit macet.

Dengan konfigurasi problematika tersebut, perbankan sejatinya masih bisa menurunkan suku bunga seandainya terjadi peningkatan efisiensi, terutama pemotongan biaya transaksi. Intinya, perbankan tetap dapat menikmati spread (selisih antara suku bunga pinjaman dan simpanan) tanpa didorong terlebih dahulu oleh pemangkasan BI rate.

Meningkatkan efisiensi perbankan terkendala struktur industri perbankan yang masih oligopoli. Ini berarti upaya peningkatan efisiensi perbankan nasional harus dipelopori beberapa bank-bank besar sebagai bench mark bagi perbankan skala kecil dan menengah.

Alhasil, penurunan BI rate belum serta-merta memberi daya gravitasi terhadap suku bunga kredit perbankan. Dampaknya baru terasa beberapa minggu ke depan sejalan dengan peningkatan efisiensi, perubahan struktur industri, dan perbaikan fundamental ekonomi makro.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya