Paradigma Krisis dalam Pendidikan Kita

Junaidi Abdul Munif Direktur el-Wahid Center,Semarang
22/2/2016 00:00
Paradigma Krisis dalam Pendidikan Kita
(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

MASYARAKAT Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi wacana yang santer hampir di semua bidang kehidupan, tidak terkecuali pendidikan. Bisa dikatakan pendidikan seperti kunci untuk membuka bidang-bidang lain karena dari rahim pendidikan akan muncul para ahli dan spesialis yang akan terdistribusi pada bidang-bidang lainnya. Ujungnya ialah penguatan ekonomi dari berbagai sektor. Salah satu yang menghentak ialah Indonesia sedang mengalami paceklik jumlah insinyur. Jumlah insinyur Indonesia lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN (Koran Tempo, 6/1).

Padahal, kita ialah negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Itu tentu mengkhawatirkan dan menerbitkan pesimisme dalam konstelasi MEA, yaitu Indonesia ditakutkan hanya menjadi objek dari negara-negara ASEAN yang lebih maju, seperti banyak terjadi selama ini. Kehidupan kita saat ini semakin mengarah ke hal-hal teknis sehingga (mau tidak mau) dibutuhkan banyak teknokrat.

Mereka yang ahli membuat sesuatu, teknologis, dan memudahkan manusia dalam menyelesaikan urusan-urusannya, ialah orang-orang yang dibutuhkan di zaman ini. Mengabaikan mereka sama saja membuat Indonesia berada di luar gelanggang kapitalisme global, hanya jadi penonton di tengah parade perkembangan teknologi. Industrialisasi global menjadi lahan subur bersemainya para teknokrat. Ignas Kleden (1987) menyebut teknokrat sebagai orang yang mengandalkan pengetahuan dan keahlian. Kekuatan teknokrat terletak pada efektivitas fungsi yang dijalankannya.

Persaingan kerja telah melintasi sekat-sekat negara dan negara-negara maju berlomba menyumbangkan teknokrat untuk berperan di negara-negara lain. Indonesia menghadirkan ironi, yaitu banyak anak bangsa yang memenuhi kualifikasi internasional justru tidak mendapat ruang dan perhatian di negeri sendiri. Kalau dilihat dari nasionalisme, kondisi itu dianggap sebagai kesalahan. Namun, itu merupakan pembenaran dalam konteks MEA dan internasionalisasi kerja.

Film sebagai indoktrinasi
Di film Indonesia pad 1970-1980-an, seperti Gita Cinta dari SMA dan Ali Topan Anak Jalanan, insinyur menjadi tipe menantu idaman orangtua, selain dokter, hakim, dan sarjana ekonomi. Berkelana 1 (Rhoma Irama) mengisahkan perlawanan Rhoma dalam melawan kehendak orangtuanya agar kuliah di ekonomi demi meneruskan bisnis keluarga. Film Indonesia menjadi alat indoktrinasi dan merepresentasikan narasi pembangunan khas Orde Baru yang menggenjot pembangunan dan melahirkan para teknokrat sebagai mesin pembangunan itu.

Namun, di film-film Indonesia, kita justru melihat terjadinya kejanggalan. Kita tidak pernah melihat bagaimana insinyur, dokter, dan hakim menjalani kuliah. Film justru melakonkan tokoh-tokoh yang kalah dalam percintaan dan melawan pandangan umum orangtua bahwa yang terbaik ialah insinyur, dokter, hakim, dan sarjana ekonomi. Indoktrinasi tidak dibarengi dengan kebijakan pendidikan yang benar-benar siap mencetak teknokrat. Pada 1990-an, sinetron Si Doel Anak Sekolahan pun masih mengambil narasi yang sama, tapi lebih bernada murung.

Sabeni (alm Benyamin S) berharap anaknya, Doel (Rano Karno), dapat menjadi tukang insinyur. Sabeni ialah sisa-sisa orangtua yang masih optimistis bahwa insinyur akan memberikan jaminan pekerjaan layak dengan gaji yang besar. Bisa jadi itu merepresentasikan kritik surplus insinyur (teknokrat)yang tidak diimbangi dengan kualitas lulusan yang mumpuni. Ketika Doel lulus, ia kemudian luntang-lantung mencari kerja dan di tengah 'kesibukan' cari kerja itu dia ngompreng dengan oplet tua milik keluarga. Itu menjadi satire tersendiri mengenai realitas sarjana kita bahwa gelar bukan garansi untuk mudah mendapat kerja, melainkan sebagai tipikal sarjana Indonesia. Pada hakikatnya, Doel tidak pernah menganggur. Dia terus bergerak dan bekerja karena itu merupakan hakikat manusia dewasa.

Paradigma krisis

Sayangnya, kebijakan pendidikan tinggi seperti mendelegitimasikan dirinya sendiri ketika gelar sarjana tidak cukup mengantarkan penyandangnya mencapai taraf excelent di bidangnya. Sarjana farmasi mesti melanjutkan jenjang apoteker untuk sekadar menjadi apoteker. Sarjana akuntansi mesti menempeli dirinya dengan gelar Akt agar berbeda dengan rekannya yang cuma bergelar SE. Wacana pun berkembang di jurusan lain, misalnya SPd. Orang dengan gelar Spd perlu melanjutkan ke pendidikan profesi demi lisensi mengajar.

Ada dua sebab yang diduga melegitimasi program profesi itu. Pertama, surplus sarjana kita sedemikian tinggi sehingga perlu dibuatkan semacam rekayasa struktural untuk menentukan kualifikasi dengan menyeleksi para sarjana untuk mencapai 'sarjana plus profesi'. Kedua, bekal ilmu selama kuliah S-1 ternyata belum mencukupi untuk memasuki rimba pekerjaan yang semakin selektif mencari sarjana pilihan. Dari sini, materi dalam kurikulum pembelajaran perlu ditinjau ulang.

Jika sejak dua tahun lalu muncul wacana batas maksimal S-1 ialah lima tahun dan S-2 diperpanjang menjadi empat tahun, benarkah itu solusi untuk meningkatkan kualitas lulusan? Kalau kebijakan yang diambil demikian, sangat mungkin 10 tahun kemudian kita mengalami surplus master dan program doktor akan menjadi senjata untuk menyeleksi para master itu. Kita akan surplus doktor dan akan mengalami surplus profesor. Paradigma kebijakan seperti ini akan selalu melahirkan krisis karena selalu mengingkari potensi surplus yang ada.

Pendidikan memang sering tertinggal dari kehidupan di luar instansi pendidikan. Ketika saat ini anak-anak SD sudah memegang gawai, bermain Semua tentu sepakat teknologi tidak hanya memiliki fungsi, tapi juga nilai. Fungsi teknologi akan mengarahkan paradigma teknis terkait hardware dan software. Sementara itu, nilai mengarah pada etika, norma, dan agama dalam melihat fungsi dan konten teknologi.
Mencetak insinyur tidak bisa instan, harus dari hulu. SMK menjadi kawah candradimuka dalam usaha mencetak insinyur sebanyak mungkin.

Karena itu, mesti ada link and match antara Kemendikbud dan Kemenristek Dikti. Kalau perlu, sejak SD sudah diupayakan blue print calon-calon insinyur dan calon teknokrat bidang lain. Harapannya ketika anak-anak itu memasuki pendidikan tinggi, mereka sudah memiliki penunjuk arah akan menuju ke mana. Kemendikbud telah dipecah menjadi dua sehingga agak merepotkan ketika pemerintah mengupayakan platform pendidikan dari dasar sampai tinggi. Terlebih saat ini Anies Baswedan sedang fokus membenahi Kurikulum 2013 agar menjadi moda pembelajaran yang sempurna. Apa pun yang terjadi, MEA telanjur digulirkan dan Indonesia sudah terlibat di dalamnya. Kita seperti pasukan yang sudah berada di medan perang, tapi masih sibuk menyiapkan senjata.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya