Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
POTENSI sumber daya ikan di perairan Indonesia tergolong sangat besar. Ironisnya, nelayan Indonesia yang berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa dengan mayoritas (95,6%) nelayan kecil merupakan nelayan tradisional dan miskin. Pembudi daya ikan dan penambak garam Indonesia juga tergolong miskin.
Potensi garam yang melimpah di Indonesia dan lokasi tambak garam yang terletak di daerah tropis (panas) seyogianya membuat penambak garam Indonesia sejahtera dan produknya dapat melebihi kebutuhan di Indonesia.
Namun, ironisnya Indonesia banyak mengimpor garam dari luar negeri.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan mewujudkan kedaulatan pangan dari sektor perikanan dan kelautan, DPR menginisiasi sebuah RUU perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam, yang seyogianya disahkan pada 2015.
Namun, itu mundur menjadi prolegnas DPR urutan ketiga 2016.
RUU itu dianggap sangat penting agar dapat secara langsung mengena pada sasaran sekalipun sudah banyak undang-undang yang terbit terkait perikanan dan kelautan.
Setelah menyimak isi draf RUU itu, secara umum pemerintah terkesan diwajibkan untuk menyediakan semua kebutuhan dan keperluan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam.
Dengan demikian, RUU itu tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik.
Bila pemerintah mampu menyediakan dana untuk semua kebutuhan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam seperti disebutkan dalam RUU itu, lebih baik pemerintah membuat badan usaha milik negara dan menjadikan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam sebagai karyawannya.
Bila pemerintah menyediakan semua keperluan dan kebutuhan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam, pemerintah bukannya bertujuan melindungi dan memberdayakan mereka, itu justru memanjakan dan membuat mereka menjadi pemalas karena semua sudah disediakan pemerintah.
Pada Bab IV disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan prasarana dan sarana perikanan dan pergaraman, kapal bagi nelayan, lahan bagi pembudi daya ikan dan penambak garam, serta prasarana lainnya.
Dalam hal sarana produksi, RUU itu juga mewajibkan pemerintah untuk menyediakan (Bab IV, pasal 17, ayat 1,2,3,4, dan 5) bahan bakar minyak, air bersih, es, dan bibit/benih ikan, termasuk menyediakan pakan ikan, obat-obatan, pompa air, kincir angin, geoisolator, mesin pemurnian garam, alat iodisasi, alat pengemas, dan alat perata tanah.
Pasal-pasal itu dapat menjadi jerat bagi pemerintah karena dapat diartikan bahwa pemerintah wajib menyediakan sarana produksi di atas secara gratis bagi nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam.
Pasal-pasal itu juga dapat menjadi ancaman bagi perusahaan sejenis karena semua sudah disediakan pemerintah.
Tanggung jawab bersama
Keselamatan nelayan dalam melakukan penangkapan ikan semestinya merupakan tanggung jawab bersama, yaitu antarpemerintah, nelayan, dan semua stakeholder yang terlibat, bukan hanya kewajiban pemerintah seperti terlihat pada pasal 37, ayat 1 dan 2.
Pemerintah dapat bertindak sebagai koordinator atau regulator untuk keselamatan nelayan.
Pasal-pasal terkait pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, dan penambak garam (Bab V) kelihatannya terlalu umum dan cenderung tumpang tindih dengan tupoksi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kemenristek dan Dikti.
Dalam pasal itu, banyak disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan pendidikan bagi masyarakat pesisir.
Salah satu unsur penting dalam sebuah undang-undang ialah pengawasan (law enforcement) terhadap pelaksanaan undang-undang itu.
Dalam sebuah organisasi yang baik, semestinya pengawas dan pelaksana sebuah undang-undang berasal dari dua instansi yang berbeda.
Akan tetapi, dalam RUU itu, disebutkan bahwa pengawasan terhadap undang-undang tersebut dilakukan pemerintah (Bab VII, pasal 68, ayat 3).
Pasal itu akan membuat RUU tersebut menjadi tidak efisien dan lemah karena yang membuat, melaksanakan, dan mengawasi ialah orang (instansi) yang sama, yaitu pemerintah.
Hal lain yang menjadi kelemahan RUU itu ialah tidak adanya sanksi bagi pemerintah bilamana undang-undang tidak dilaksanakan sebagai mana mestinya. Seyogianya harus ada pasal yang jelas terkait dengan sanksi akan pelanggaran dari RUU itu.
Pengawas pun harus berasal dari instansi yang berbeda dari pemerintah, dalam hal ini bisa dari DPR/DPRD atau lembaga independen lainnya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan kedaulatan pangan dari sektor perikanan dan kelautan, seyogianya tidak harus membuat atau menerbitkan undang-undang yang baru karena sudah banyak undang-undang terkait perikanan dan kelautan serta hal itu juga merupakan salah satu tupoksi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dengan demikian, tanpa RUU itu juga, Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan kedaulatan pangan dari sektor kelautan dan perikanan.
Bilamana RUU itu akan dibahas dan disahkan, sebaiknya dilakukan penyempurnaan dan pembahasan yang menyeluruh dengan menghadirkan seluruh stakeholder terkait, seperti DPR, Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, nelayan, pembudi daya ikan, pembudi daya rumput laut/lamun, termasuk penambak garam, peneliti, LSM, pengacara terkait, dan pengusaha terkait.
Pada akhirnya, RUU itu dapat menjadi payung hukum yang ideal untuk mencapai tujuan.
Diskusi dan pencarian informasi seyogianya juga dilakukan langsung di seluruh daerah pesisir di Indonesia untuk dapat melihat secara langsung kondisi dan masalah yang ada di lapangan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved