Pers dan Optimisme Bangsa

Ignatius Haryanto, Pengajar jurnalistik di perguruan tinggi, Deputi Direktur JARING
10/2/2016 10:53
Pers dan Optimisme Bangsa
(MI/Susanto)

PADA peringatan Hari Pers di Pantai Mandalika, Lombok Tengah, kemarin, Presiden Joko Widodo mengatakan pers Indonesia harus bisa mem­bangun optimisme, etos kerja dan, produktivitas masyarakat. Bukan sebaliknya, pers membuat kita menjadi pesimistis, terjebak pada berita-berita yang sensasional.

Pernyataan Presiden Joko Widodo memiliki kebenaran, tetapi baru setengah dari kebenaran yang ada. Adalah betul bahwa pers Indonesia perlu untuk bisa membangun optimisme sebagai bangsa, mengajak masyarakat untuk memiliki etos kerja, dan meningkatkan produktivitas masyarakat. Pers memang perlu memelihara kepercayaan masyarakat, mengajak masyarakat untuk sama-sama bekerja keras seperti yang telah ditunjukkan Presiden dan para pembantunya.

Namun, sesungguhnya hakikat dasar dari adanya pers ialah sebagai suatu sistem peringatan perta­ma (early warning system). Fungsi dasar pers adalah memberikan informasi, kemudian memberikan pendidikan, terkadang pers ju­ga menjadi pemberi hiburan, dan tak jarang pers pun menjadi alat kontrol sosial. Paduan dari fungsi-fungsi inilah wajah pers kita hari ini.

Tidak dapat dimungkiri ada pers yang sangat mengandalkan sensasionalisme, ada juga pers yang hobinya mengumbar berita sensasional, tak akurat, berpihak, membela pemiliknya, dan lain-lain. Namun, pada dasarnya pers harus menampilkan apa yang ada di sekitarnya dengan apa adanya.

Jika yang ada di sekitar pers, katakanlah masyarakat secara umum ataupun pilar-pilar demokrasi yang lain sedang mengalami masalah, pers tak bisa menutup mata atas hal tersebut. Dengan pemberitaan yang faktual (bukan yang penuh dengan opini berbalut kepentingan sempit) pers harus mengabarkan berita tersebut, suka atau tidak su­ka. Sebaliknya, jika pemerintah kita atau aparat birokrasi ataupun aparat keamanan melakukan hal yang positif, pers pun harus pro­porsional memberikan pujian terhadap tindakan tersebut.

Presiden Joko Widodo tidak sa­lah ketika mengatakan ada banyak pers yang mengedepankan sensasionalisme, ditambah dengan ungkapan para pengamat yang hanya menunjukkan hal yang negatif dari pemerintah.

Namun, Presiden dan para stafnya harusnya bisa memilah ‘mana loyang, mana emas', mana ‘berita isap jempol, mana berita sesungguhnya'. Pun telah ada mekanisme yang tersedia jika ada kebe­ratan dengan soal pemberitaan.

Bukan penjilat pemerintah
Dalam pers Indonesia, kita menemukan ada banyak pemberita­an yang terkait dengan soal korup­si, penyalahgunaan kekuasaan, ke­lakuan pejabat yang memuakkan, perusahaan yang mengedepankan kepentingan pribadi, dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Pers yang kita miliki saat ini adalah pers yang bebas –lebih bebas dari masa Orde Baru – dan lebih baik pers selamanya demikian.

Mengapa begitu? Dengan pers yang bebas, kita akan membuat mekanisme peringatan awal berjalan dalam masyarakat. Tugas pers yang bebas ialah justru mengekspos ca­bang-cabang pemerintahan yang bobrok, tak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika hal-hal ini diekspos, diangkat ke permukaan, harap­annya ialah agar terjadi perbaikan sistem, kepercayaan masyarakat dikembalikan, dan optimisme sesungguhnya barulah bisa dibangun.

Beberapa bulan lalu, majalah Tem­po misalnya, membongkar soal permainan yang dilakukan se­jumlah kalangan dokter dengan sebuah perusahaan obat. Orang banyak sudah tahu soal ini secara umum, tetapi justru dengan dituliskan lewat liputan yang investigatif, maka orang banyak disadarkan akan skala keborokan yang telah di­hasilkannya. Apakah kita tak membutuhkan berita seperti ini? Kita justru membutuhkan lebih ba­nyak media mengekspos hal seperti ini sejauh dilakukan seca­ra faktual dan pembuktian yang pro­fesional serta menjunjung etika jurnalistik.

Sumbangan pers yang bebas pa­da pemerintahan justru dengan memberikan kritik sosial, demikian pernah diungkapkan Mochtar Lubis (1922-2004), wartawan tiga jaman yang memiliki nama harum di dalam dan di luar negeri. Buat seorang Mochtar Lubis, pers bisa berkontribusi pada kekuasaan pemerintahan justru dengan menunjukkan bagian-bagian dari pemerintahan yang belum berjalan dengan baik, aparat yang mengabaikan kewajibannya sebagai pengabdi masyarakat, dan lain-lain.
Ungkapan Mochtar Lubis tersebut masih tetap relevan hingga hari ini, karena kita justru tak membutuhkan pers yang menjilat di depan kekuasaan, tetapi tetap menjaga jarak, meliput secara berimbang, independen, dan menghargai etika jurnalistik. Sudah sepatutnya tiap-tiap pihak memahami cara kerja masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, dan pemerintah pun tak perlu takut dengan pers yang mengedepankan sensasionalisme.

Lembaga Dewan Pers yang independen sebagai hasil dari UU Nomor 40/1999 adalah lembaga yang telah ditunjuk untuk mengurus jika ada sengketa menyangkut pemberitaan, pun jika sensasionalisme pers terjadi, dan produk pers cenderung tidak menaati kode etik jurnalistik.

Silakan pemerintah terus menjalankan tugasnya, dan pers pun menjalankan tugas masing-masing. Inilah dinamika kehidupan demo­krasi dengan empat pilar yang saling berinteraksi di dalamnya. Kondisi ini penting untuk memelihara keseimbangan kekuasaan yang ada di Indonesia, dan kondisi demokrasi akan terus dipertahankan jika ada dinamika yang sehat antarempat pilar yang ada.

Buat pers Indonesia, sebenarnya momentum Hari Pers Nasional ini ialah momen bagus untuk meng­akui kesalahan-kesalahannya kepada publik secara luas. Pers Indonesia harus meminta maaf ke­pada publik atas pemberitaan yang menyesatkan, kepentingan pemilik media di atas kepentingan publik, dan praktik-praktik tidak profesional dari sejumlah kalangan. Mengakui kesalahan seperti ini juga ialah tindakan yang sehat agar publik memiliki kepercayaan kembali kepada pers. Tentu saja, pers Indonesia bisa melakukan hal ini. Masalahnya apakah mau melakukannya atau tidak?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya