Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PENGGELEDAHAN yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ruang kerja Damayanti Wisnu Putranti (anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/FPDIP), Budi Supriyanto (Fraksi Partai Golkar), dan Yudi Widiana Adia (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/FPKS) menuai geram Ketua DPR Fahri Hamzah yang meminta personel Brimob keluar dari lokasi penggeledahan. Semua pimpinan DPR juga kompak menolak penggeledahan tersebut dan akan memanggil pimpinan KPK untuk membahas terkait dengan penggunaan senjata lengkap pada saat penggeledahan. Mereka menilai hal itu bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Wajar
Tampaknya sejauh ini, DPR masih tergiur mengurus hal-hal yang tidak substansial dan signifikan bagi penguatan kepuasan publik atas kinerjanya. Kesukaan melakukan manuver-manuver yang serbasensasional menjadi potret telanjang bahwa DPR tak peka dengan kritik publik selama ini terkait dengan rendahnya kinerja mereka. Laku sensasi serupa bisa juga kita saksikan pada jalannya rapat dengar pendapat Komisi III dengan Jaksa Agung HM Prasetyo (19/1).
Dengan dongkol kita menyaksikan bagaimana sebagian besar anggota menghujani pertanyaan dan kritik terhadap Prasetyo soal upaya kejaksaan melakukan penyelidikan adanya dugaan pemufakatan jahat yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto. Padahal, apa yang dilakukan Prasetyo sudah tepat karena cerminan dari aspirasi publik yang selama ini menghendaki keras agar kasus Novanto diungkap seterang-terangnya. Kritik DPR kepada Jaksa Agung tersebut, sebenarnya mewakili siapa?
Protes terhadap penggeledahan oleh KPK mencerminkan pula disonansi DPR terhadap KPK. Tanpa sedikit pun bermaksud membela KPK, upaya memanggil pimpinan komisi antirasywah tersebut, sangat dikhawatirkan hanya akan mengentalkan kabut keresahan di internal KPK. Apalagi, di saat pimpinan KPK baru dituntut keras oleh rakyat untuk memiliki keberanian ekstra agar semua kasus korupsi, terutama terkait dengan kekuasaan, diselesaikan tuntas dan seadil-adilnya.
Padahal, penggeledahan menggunakan pengamanan Brimob sesuatu yang wajar dan prosedural semata-mata dalam rangka memperlancar tugas KPK, terutama untuk mendapatkan alat bukti penyidikan kasus korupsi. Soal bantuan polisi dalam penggeledahan sudah diatur dalam Pasal 12 UU No 20 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang mengatakan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain untuk penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Penggeledahan terhadap DPR pun dilakukan saat tidak sedang berlangsung sidang atau upacara keagamaan sebagaimana sudah diatur dalam Tata Cara Penggeledahan KPK.
Selain itu, sesuatu yang wajar jika KPK khawatir, penggeledahan yang dilakukan mereka berpotensi digagalkan oleh oknum/kelompok yang mungkin merasa terusik dengan kehadirannya sehingga diperlukan sebuah pengamanan khusus. Kalau kemudian penggeledahan tersebut dinilai akan makin memberi stempel buruk terhadap institusi DPR, sebenarnya suatu paranoid yang boleh dibilang sudah terlambat. Bayangkan saja, selama ini resistensi terhadap KPK yang mendatangkan gemuruh dan menyita perhatian publik, salah satunya dimainkan oleh DPR. Berbagai pembelaan diri, baik secara personal maupun institusional selalu dikedepankan oleh DPR sekadar untuk terlihat imun dari korupsi di mata rakyat.
Kita tentu masih ingat, berhembusnya angin wacana revisi UU KPK terkait dengan usia KPK, penghilangan kewenangan penyadapan, batas nominal pengusutan korupsi, dan wewenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK, mengindikasikan strategi untuk melemahkan upaya eliminasi korupsi terus disimpan di bawah karpet sebagai bom waktu. Bahkan, bukan kejutan lagi nantinya jika KPK akan digiring perlahan-lahan menjadi lembaga pencegah, bukan lembaga penindak koruptor hanya karena jumlah koruptor yang ditangkap tidak berkurang alias makin bertambah dari tahun ke tahun.
Politik pemakan segala
Survei di atas memberi pesan bahwa KPK memang awalnya ada untuk menangkap koruptor agar memberikan preseden buruk bagi calon-calon koruptor lain, bukan 'malaikat' yang memaksakan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran dijalankan layaknya institusi agama. Hal ini relevan dengan wajah lembaga pengadilan kita yang sejak dulu memang dianggap paling buruk di Asia (The Jakarta Post 15/9/2008). Putusan lembaga pengadilan masih mudah dibeli oleh kekuatan politik dan pemodal yang berusaha merenggut kemerdekaan yudikatif lewat munculnya beleid-beleid. Padahal, hanya aturan hukum yang kukuh yang bisa membuat sebuah negara memiliki sistem demokrasi yang stabil dan kuat karena aparat dan politisinya selalu 'dipaksa' untuk mematuhi aturan yang ada (Susan Albert, 2009: 127).
Dalam kultur 'politik pemakan segala' tersebut, selalu terbuka peluang bagi kaum politisi untuk merekayasa aturan, memobilisasi massa untuk menyampaikan tuntutan terhadap pemerintah guna mendapatkan akses korupsi anggaran, termasuk memengaruhi proses pembuatan regulasi hukum di parlemen (Khoirul Umam, 2014). Jadi, upaya untuk mengulur-ulur waktu dan dukungan terhadap KPK lewat berbagai sikap intimidatif sejauh ini jelas-jelas sebuah ikhtiar yang bermuara pada satu tujuan, yakni membuat pemberantasan korupsi kita menjadi frigid dan makin melemahkan Republik ini dari cengkeraman revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo.
Andai saja DPR kooperatif dengan membiarkan KPK menuntaskan tugasnya dengan lancar kemarin, paling tidak hal tersebut bisa menolong DPR menyelamatkan persepsi publik terhadapnya sebagai lembaga yang memang memiliki keinginan untuk berubah, dengan tidak melakukan blunder dan manuver politik yang mengundang cibiran secara etika dan akal sehat.
Hasil survei Indo Barometer menyatakan mayoritas rakyat sangat memercayai KPK dengan torehan tingkat kepercayaan publik tertinggi sebesar 82% dan diikuti TNI (81%). Karenanya ini bisa diartikan, jika seseorang/kelompok/lembaga mencoba 'melawan' KPK dengan segala macam alasan, ia tentu akan berhadapan langsung dengan arus besar kekuatan rakyat. Rakyatlah yang nantinya akan bergerak dan pasang badan melawan koruptor dengan segenap kompradornya. Herannya, kenapa DPR tidak kunjung jeli membaca kecenderungan massa ini? Kita khawatir DPR akan selalu ketinggalan kereta untuk menjadi lembaga yang dipercayai dan dicintai publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved