Revisi UU Terorisme dan Keleluasaan Kewenangan

Muradi, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Unpad, Dosen Pascasarjana Politik dan Pemerintahan FISIP Unpad, Bandung
23/1/2016 09:59
Revisi UU Terorisme dan Keleluasaan Kewenangan
(MI/Rudi Pata)

SETELAH berulang kali gagal diajukan untuk merevisi UU N 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, rencana tersebut bergulir keras pascateror bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Pilihan atas pengajuan revisi sebagaimana alur dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ataupun melalui Perppu menjadi tidak penting karena momentum tersebut mengikat semua pihak untuk segera merevisi undang-undang (UU) itu agar mampu membangun kesatuan gerak dalam merespons ancaman terorisme di Indonesia.

Meski ada keinginan dari Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendapatkan porsi yang lebih dalam pemberantasan terorisme, hal tersebut menjadi kajian yang cukup kompleks. BIN mengutarakan tak ingin hanya sekadar menjadi komponen pendukung. Lembaga ini menginginkan pemberian kewenangan menangkap dan menginterogasi terduga terorisme sebagaimana ditegaskan Kepala BIN Sutiyoso. Meski usulan tersebut masuk akal, hal itu justru melawan esensi dari lembaga intelijen sendiri yang tidak memiliki kewenangan aktif kecuali memberikan deteksi dan peringatan dini atas potensi ancaman terhadap kedaulatan negara. Karena sifatnya tersebut, BIN seharusnya memang bekerja dalam sunyi sebagai lini terdepan dalam keamanan negara.

Oleh karena itu, hakikat dalam revisi UU No 15/2003 tersebut harus menitikberatkan pada esensi penegakan hukum, perluasan kewenangan berbatas dan terintegrasi yang tetap berpijak pada kewenangan yang melekat di tiap-tiap institusi terkait.

Perlu perluasan
Berkaca pada penekanan tersebut, perlu dipertimbangkan lima hal yang dapat dimasukkan revisi UU No 15/2003, yakni pertama, kewenangan yang lebih besar untuk Polri guna menangkap personal maupun kelompok yang teridentifikasi berhubungan dengan organisasi teror. Penangkapan tersebut diperuntukkan bagi penyidikan dan mengidentifikasi keterlibatan dan atau kemungkinan potensi melakukan aksi teror dan penyebaran paham radikal.

Perluasan kewenangan dalam menangkap dan menyelidiki sejumlah potensi dalam penyebaran paham radikal dan aksi teror tersebut berbatas waktu. Hal itu dimaksudkan jika Polri tidak dapat menemukan keterlibatan yang bersangkutan dengan jejaring teror atau berpotensi menyebarkan paham radikal, maksimal dalam waktu enam bulan harus dibebaskan. Hal ini penting ditegaskan agar praktik dan implementasi dari undang-undang ini tidak membuka ruang dan potensi terjadinya pelanggaran HAM atas nama negara.

Kedua, revisi UU pemberantasan terorisme juga harus mempertimbangkan pembatasan kewenangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dari tiga kewenangan menjadi hanya dua kewenangan saja, yakni menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme dan mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme.

Kebijakan mandiri
Pada kewenangan ketiga, yakni melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan ma_sing-masing otomatis hilang. Penekanan hal ini dimasukkan agar mengembalikan esensi keberadaan BNPT sebagai badan nasional yang menyusun kebijakan, strategi, dan program, serta lembaga yang mengoordinasikan instansi terkait lainnya.

Ketiga, revisi UU pemberantasan terorisme juga harus menegaskan pendanaan pemberantasan terorisme. Meski sudah diatur dalam UU yang ada saat ini, perlu juga ditegaskan dalam revisi nanti pemanfaatan dukungan dan bantuan asing dalam pemberantasan terorisme. Hal ini untuk menegaskan setiap kebijakan dan langkah yang dilakukan pemerintah harus dilihat sebagai kebijakan yang mandiri tanpa ada intervensi asing karena adanya bantuan pemberantasan terorisme. Selain itu, hal ini juga menutup celah kecemburuan instansi lain terkait dengan tata kelola pendanaan pemberantasan terorisme di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Keempat, perlu juga dipertimbangkan untuk melakukan spesialisasi fungsi pada sejumlah unit antiteror yang ada, selain Densus 88 dan unit antiteror di militer. Hal ini agar permasalahan leading sector tidak lagi menjadi isu utama dalam pemberantasan terorisme yang menekankan pada penegakan hukum. Spesialisasi fungsi salah satunya penekanan pada kemampuan yang melekat di tiap-tiap unit antiteror, dengan tetap menitiktekankan pada penegakan hukum.

Khusus untuk BIN, penting untuk ditegaskan pada koordinasi intelijen dalam pemberantasan terorisme dalam bentuk fungsi intelijen. Ilustrasi dari spesialisasi fungsi ialah pada hakikat ancaman teror yang lebih spesifik dapat dilakukan oleh matra terkait dengan tetap berkoordinasi dengan Polri, Densus 88, dan BNPT sebagai leading sector dalam pemberantasan terorisme.

Poin kelima, penekanan bahwa terorisme ialah kejahatan luar biasa yang mana penanganannya membutuhkan kekhususan. Salah satu kekhususan itu ada pada lembaga pemasyarakatan khusus yang mampu mengoptimalkan program deradikalisasi. Kebijakan mencampurkan tahanan teroris dengan tahanan kriminal biasa selama ini justru memperkuat paham radikal. Dengan menegaskan di UU, ada amanat yang harus dilakukan pemerintah untuk membangun penjara khusus tahanan teroris agar mampu mencegah meluasnya paham radikal.

Oleh: Muradi, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Unpad, Dosen Pascasarjana Politik dan Pemerintahan FISIP Unpad, Bandung



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya