
James Nachtwey saat konferensi pers di Madrid, Spanyol, Jumat, 27 Maret 2015. AFP/Pierre-Philippe Marcou
Dalam
sebuah diskusi sekaligus pemberian
reward bulanan untuk tim artistik,
seorang
layouter senior mengungkapkan kegalauannya. Usia pengabdiannya
di
Media Indonesia yang tersisa satu tahun lagi membuatnya merasa di
ujung kreativitas. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, termasuk
pendidikan, ia memvonis diri sulit bersaing dengan para juniornya.
Sebentuk
ungkapan yang menyentak. Hingga kini saya meyakini usia bukanlah
pembendung kreativitas. Selama keinginan kuat masih menyala, kreativitas
akan menemukan jalan terang. Usia tua hanyalah kerikil yang hanya
melambatkan langkah, tetapi tidak menghentikannya.
Menjawab
kegalauan sang senior itu, tak banyak yang saya berikan, kecuali
beberapa deret kata motivasi dan tantangan. Tantangan yang tidak boleh
diperlakukan sebagai beban. Walhasil, dua bulan kemudian ia mampu
mencatatkan diri sebagai staf artistik terbaik mengalahkan puluhan
lainnya. Munculnya kegairahan dalam berkarya mengantarnya masuk ke
jajaran orang-orang yang bisa diandalkan.
Gairah adalah kata
kuncinya. Gairah akan menghidupkan kreativitas. Dan, kreativitas adalah
nyawa para pekerja visual, termasuk jurnalis foto. Tua muda tak ada
bedanya.
Deretan fotografer kenamaan telah memberikan contoh
kepada kita, antara lain James Nachtwey, Eugene Richards, dan Sebastiao
Salgado. Opa-opa itu masih berkelana di belantara foto jurnalistik
dunia. Usia senja tidak membuat mereka menjadi renta. Mereka adalah
legenda.
James Nachtwey, kelahiran Massachusetts, Amerika
Serikat, 14 Maret 1948, adalah contoh nyata. Pria yang kisahnya
diabadikan dalam film dokumenter
War Photographer itu masih terus
menunjukkan eksistensinya. Konflik, perang, dan dampaknya pada
kemanusiaan menjadi ladang kesaksiannya. Ia acap ada di tengah gejolak
dunia. Indonesia adalah negeri yang sering didatanginya. Bahkan,
karyanya tentang pembantaian seorang warga saat Reformasi 1998 diganjar
sebagai pemenang World Press Photo kategori
spot news stories. Segudang
penghargaan bergengsi lain pernah diraihnya, di antaranya Robert Capa
Gold Medal (5 kali), World Press Photo of the Year (2 kali), Magazine
Photographer of the Year (7 kali), dan Martin Luther King Award.
Foto-foto
bidikannya hingga kini masih mengisi halaman-halaman majalah Time.
Media kenamaan itu telah menjadikannya fotografer kontrak selama lebih
dari 30 tahun. Karyanya yang menggambarkan modernisasi Kota Ho Chi Minh,
Vietnam, pascaperang 40 tahun lampau, menyertai laporan utama
Time
edisi minggu lalu.
Tak berbeda dengan Nachtwey, Eugene Richards
ialah sosok yang patut ditiru. Dalam usia menjelang 71 tahun, kakek
kelahiran 25 April 1944, di Dorchester, Massachusetts, itu belum
berhenti berkiprah. Richards bukan hanya fotografer, melainkan juga
writer dan filmmaker jempolan. Majalah terkemuka seperti
LIFE,
National
Georgraphic,
New York Times Magazine, dan
The Nation merupakan media
yang setia memajang karya-karyanya.
Pada 1973 ia kali pertama
menerbitkan buku foto tentang kemiskinan di negerinya bertajuk
Few
Comforts or Surprises: The Arkansas Delta. Sejak itu belasan buku foto
yang mengisahkan sisi-sisi kemanusiaan dan dampak perang, termasuk
War
is Personal (2010), diterbitkannya. Cuplikan buku esai foto tentang
kehidupan tentara veteran AS korban perang di Irak tersebut diganjar
penghargaan tertinggi World Press Photo 2010 kategori
contemporary
issues stories. Sepanjang kariernya, Richards juga mendapatkan berbagai
penghargaan. Mulai Guggenheim Fellowship, W Eugene Smith Grant in
Humanistic Photography, hingga Robert F Kennedy Lifetime Achievement
Award dalam genggamannya.
Legenda hidup lainnya ialah Sebastiao
Salgado. Fotografer kelahiran Aimores, Provinsi Minas Gerais, Brasil, 8
Februari 1944, itu mengawali karier di agensi foto Sygma pada 1973.
Setahun kemudian ia pindah ke Gamma dan pada 1979 hingga 1994 menjadi
andalan Magnum, hingga akhirnya ia mendirikan agensi foto Amazona Images
bersama sang istri, Leila. Ia telah melanglang buana ke lebih dari 100
negara, termasuk Indonesia. Potret penambang di Kawah Ijen menjadi salah
satu dari kumpulan foto pekerja di 23 negara yang masuk bukunya yang
berjudul
Workers: Archeology of the Industrial Age (1993). Salgado juga
mencuplik kehidupan suku Mentawai dan suku-suku di pedalaman Papua
menjadi bagian dalam bukunya yang lain, bertitel
Genesis (2013).
Kini,
dalam usianya yang melewati 71 tahun, Salgado masih menjejakkan kaki di
berbagai belahan bumi. Ia menjelajah hingga pedalaman belantara demi
merekam peradaban. Jajaran penghargaan termasuk Oscar Barnack Award,
Hasselblad Award, dan King Spain Journalism Award menjadi salah satu
bukti kehebatannya. Sebagai penghormatan atas pengembaraannya, sutradara
kondang asal Jerman Wim Wenders berkolaborasi dengan anak Salgado,
Juliano Salgado, menggarap film dokumenter bertitel
The Salt of the
Earth. Sebuah ode visual yang indah untuk sang legenda. Film itu
akhirnya terpilih sebagai nomine film dokumenter terbaik Piala Oscar, 22
Februari 2015 lalu.
Natchwey, Richards, dan Salgado telah
memberi bukti bahwa usia yang menua bukanlah kendala dalam berkarya.
Mereka sejatinya mengirimkan tanda-tanda tentang cara merawat gairah
bertarung melawan usia. Selanjutnya terserah kita....

Sebastiao Salgado berpose dengan latar belakang foto karyanya yang dipamerkan di Berlin, Jerman, Jumat, 17 April 2015. AFP/John Macdougall

Eugene Richards memberi materi di depan para pemenang World Press Photo di Amsterdam, Belanda, I Mei 2010. Dok MI