Fotografi jurnalistik masa kini kian menghadirkan tantangan bagi para
pelakunya. Revolusi teknologi digital membuat pesona fotografi bertambah
menggoda banyak orang. Memotret menjadi begitu mudah. Kemudahan itu
berkat melesatnya teknologi fotografi dan perangkat pendukungnya.
Produsen kamera, mulai DSLR, digital pocket, prosumer, hingga kamera
ponsel pintar, berlomba menciptakan kamera yang dilengkapi beragam
fasilitas dan mudah dioperasikan. Peranti
editing foto pun kian berjibun. Tinggal memilih mana yang layak kita gunakan untuk menyebarluaskan kesaksian.
Kondisi
itulah yang menggairahkan banyak orang untuk mengakrabi fotografi.
Tanpa disadari, perlahan tapi pasti keberadaan mereka menggerus sedikit
demi sedikit peluang milik para fotografer, termasuk jurnalis foto.
Pemotretan yang mestinya 'jatah' fotografer kini banyak dikerjakan
sendiri oleh pemilik pekerjaan itu. Liputan yang eloknya tugas seorang
pewarta foto saat ini banyak dilakukan pewarta tulis. Itulah paradoks
yang tak terelakkan.
Gejala seperti itu sepantasnya dimaknai
barisan jurnalis foto sebagai pemicu untuk terus 'memperkaya' diri.
Meningkatkan kepiawaian dalam bidang fotografi, melengkapi diri dengan
kemampuan menulis layaknya jurnalis tulis, dan siap dengan platform
videografi. Jangan sampai terjebak pada zona nyaman, menjalankan
pekerjaan hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Business as usual.
Jika seorang jurnalis foto gagal membaca perubahan zaman, kariernya akan
berujung mengenaskan, terlindas oleh perubahan itu sendiri. Ia tidak
akan menjadi orang pilihan, bahkan bukan tidak mungkin akan
disingkirkan.
Kian kuatnya tanda-tanda terpinggirkannya peran fotografer dapat dilihat dari apa yang dilakukan manajemen
Sports Illustrated.
Majalah berita terkemuka terbitan Amerika Serikat itu pada Maret 2015
efektif memensiundinikan enam fotografer staf mereka, termasuk Simon
Bruty, satu dari 50 fotografer olahraga terhebat sejagat, yang telah
mengabdi selama puluhan tahun. Nama kondang para fotografer itu di
belantara dunia fotografi olahraga tidak mampu menyelamatkan karier
mereka dari pemutusan hubungan kerja berdalih restrukturisasi.
Hal serupa, bahkan lebih ekstrem, pernah dilakukan harian ternama dari 'Negeri Paman Sam',
Chicago Sun Times.
Koran bertiras sekitar 400 ribu eksemplar per hari itu pada 30 Mei 2013
memberhentikan 28 fotografer tetapnya, termasuk pemenang Pulitzer, John
White. Pengelola koran itu berpaling pada
mobile photography,
membekali para reporter dengan Iphone 5 untuk menggantikan peran
fotografer. Sebuah keputusan yang terkesan nekat, tetapi pasti telah
melewati pertimbangan yang matang.
Lantas, apa hikmah yang bisa
kita petik dari dua contoh itu? Kabar pahit dari dua media besar
tersebut layak menjadi perangsang bagi jurnalis foto untuk segera
memperbaiki dan meningkatkan potensi diri. Selalu mengasah kreativitas,
sensitivitas, dan selalu mengedepankan militansi demi menuai hasil
terbaik. Kehebatan seorang fotografer dapat ditandai dari kemampuannya
menghadirkan potongan dunia dalam selembar foto lalu meninggalkan
ingatan yang mendalam bagi siapa saja yang melihatnya. Imaji semacam itu
jelas bukan buah karya fotografer yang biasa saja.
Jurnalis foto
hari-hari ini tidak boleh bertumpu pada penglihatan dan kecanggihan
kamera semata. Ia juga harus kaya dengan memori visual dan memiliki
sensitivitas terhadap situasi sekeliling. Selain itu, tak pernah alpa
melakukan pravisualisasi sebelum memotret dan mampu menaklukkan setiap
hambatan di lapangan. Bekal itulah yang akan memberi nyawa segenap organ
jurnalis foto jika ingin mewartakan fakta secara elegan dan
menggerakkan.
Jika profesi sebagai jurnalis foto telah menjadi
pilihan, jalankanlah dengan penuh kegairahan dan kecerdasan. Mengapa?
Lantaran tanpa keduanya, karya yang dihasilkan akan menjemukan, tidak
punya kekuatan. Bukankah napas fotografi jurnalistik ialah kegairahan
dan kecerdasan berkreativitas? Oleh sebab itu, gali terus potensi diri
dan jangan pernah anti terhadap kritik. Sejatinya kritik ialah obat
mujarab penjaga kehidupan.