Tanam Jeruk Sejahterakan Petani di Desa Bandar Tongging

Tosiani
04/4/2017 08:00
Tanam Jeruk Sejahterakan Petani di Desa Bandar Tongging
(Wisata petik jeruk di Desa Bandar Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Tanah Karo. -- MI/Tosiani)

HENRI Munte,49, tersenyum ramah menyambut serombongan wisatawan di kebun jeruknya di Desa Bandar Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Tanah Karo, Senin (3/4). Ia langsung memperkenalkan diri dan memberikan penjelasan singkat, bagaimana cara memetik jeruk yang sudah masak, lalu memberikan tarif harga.

Wisatawan kemudian dipersilakan untuk langsung berkeliling untuk melihat-lihat ataupun memetik jeruk di kebunnya yang rindang itu. Sejumlah pemandu mengiringi rombongan wisatawan tersebut, sembari bertutur tentang jeruk, yang merupakan sumber ekonomi bagi masyarakat desa itu.

Menanam jeruk, diakui Henri, mulai dilakukannyan sejak 2009. Semula ia pernah menjajal pekerjaan sebagai driver di sebuah angkutan bus umum. Ia juga pernah merantau ke Magelang, Jawa Tengah.

Lantaran merasa tidak sukses dengan profesi yang digelutinya, ia memutuskan pulang ke kampungnya di Tanah Karo. Di daerahnya, ia berupaya menggarap lahan seluas 1.700 meter persegi yang dimilikinya.

Mula Henri menanam palawija dan sayur-sayuran. Kendati tumbuh bagus karena kebunnya berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut (mdpl), di lereng Gunung Sibayan, namun hasil kebunnya itu tidak memberinya kesempatan untuk merombak kondisi perekonomian keluarganya.

Mengikuti anjuran rekan-rekannya, Henri pun mulai melirik pertanian jeruk. Hingga saat ini, ia telah menanam 840 batang tanaman jeruk di lahan seluas 1.700 meter persegi tersebut. Tiap satu batang tanaman jeruk umur 4th, mampu menghasilkan rata-rata 20-35 kg buah jeruk. Hasil panen akan berbeda, tergantung umur masing-masing tanaman. Namun rata-rata tanaman jeruk bisa dipanen hingga 30 kali masa panen dalam setahun.

Bersama petani lainnya di daerah itu, Henri memasarkan jeruknya melalui sistem lelang. Para pedagang besar lah yang mengambil jeruk ke kebun, untuk kemudian dipasarkan ke daerah Sumatra dan Jawa. Sekitar 15 persen lainnya tetap dibiarkan masak di kebun untuk wisata petik buah langsung bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat itu.

"Hasil pertnian jeruk memang sangat menjanjikan. Hingga saat ini, saya telah menyekolahkan anak saya hingga perguruan tinggi dari hasil bertani jeruk. Sesuatu yang dirasa mustahil mengingat kehidupan kami dulu lebih sulit dari ini," ungkap Henri.

Jeruk produksi petani Tanah Karo, kata Henri, juga dipasarkan ke sejumlah hipermarket dengan harga lebih tinggi. Namun, petani memang tidak menjual jeruk yang biasa dikenal dengan sebutan jeruk Brastagi itu ke mall karena harganya akan menjadi lebih murah saat diambil distributor.

Dari tingkat petani, jeruk dijual dengan rentang harga antara Rp 5.000 s.d 15.000 per kilogram (kg). Jika cuaca panas, maka harga jeruk ikut terangkat. Sebaliknya, jika hujan turun terus menerus, harga jeruk pun bisa jatuh.

Pebi Sinaga,40, petani lainnya, juga mengaku telah merasakan kesejahteraan hidupnya meningkat setelah bertani jeruk sejak 2006. Dari luasan lahan 1,8 hektare, ia memiliki tanaman jeruk sebanyak 700 batang.

Untuk mengurus pertanian itu, ia mengeluarkan modal tanam sebanyak Rp 30 ribu s.d 40 ribu per batang dalam satu musim. Pengeluaran tersebut untuk pengadaan pupuk dan semprot tanaman agar tidak terkena virus dan dihinggapi lalat buah yang merusak tanaman.

"Sekarang, disamping untuk membiayai kehidupan keluarga, dari hasil tanam jeruk, saya sudah membeli satu hektare tanah lagi untuk perluasan ladang. Hasil pertanian jeruk memang membuat petani di daerah ini lebih sejahtera," tutur Pebi yang juga Kepala Dusun II, Desa Bandar Tongging.

Camat Merek, Tommy Sidabutar, menyebutkan, daerahnya dihuni 23 ribu jiwa dalam 8.000 kepala keluarga (kk) yang tersebar di 15 desa. Dari jumlah itu, sekitar 45 persennya menanam jeruk. Sisanya bertani sayuran dan palawija.

"Pertanian jeruk memang sangat membantu menyejahterakan petani di daerah ini. Sebab, jeruk bisa berkali-kali panen, dan hasilnya lumayan," kata Tommy.

Dijelaskan Tommy, keistimewaan dari jeruk Tanah Karo ini, adalah rasanya lebih manis, aromanya lebih kuat, lebih banyak airnya dan lebih segar, serta kulitnya lebih tebal dan lebih mudah dikupas. "Varietasnya memang jeruk siam madu, tapi lebih dikenal dengan jeruk Brastagi karena lokasi Kecamatan Merek dekat dengan Brastagi. Padahal sentra jeruknya memang di Merek," kata Tommy.

Kepala Dinas Pertanian, Kabupaten Tanah Karo, Sarjana Purba, mengatakan, dari total 19 kecamatan yang ada di Tanah Karo, tiga diantaranya merupakan sentra penghasil jeruk. Ketiganya adalah Kecamatan Merek, Kecamatan Tiga Panah, dan Kecamatan Barus Jahe.

Disebutkan, total areal pertanian jeruk saat ini mencapai sekitar 10.000 hektare di Kabupaten Tanah Karo. Jumlah ini menurun drastis dibanding sekitar lima tahun lalu yang masih mencapai 16.000 hektare.

Penurunan areal tanam jeruk ini, diakuinya lantaran ada penyebaran lalat buah yang banyak merusak tanaman jeruk. Iklim yang cenderung lebih dingin dan lembab di pegunungan, membuat lalat lebih cepat berkembang. Selain itu, dampak abu vulkanik hasil erupsi Gunung Sinabung, juga memengaruhi tanaman jeruk.

"Pasar terbesar bagi jeruk keling, atau jeruk siam madu, atau jeruk B rastagi ini ada di seluruh Jawa, terutama Jakarta dan Bandung, juga lokal Sumatra. Petani kami juga sudah mengeksportnya ke luar negeri melalui eksportir di Malaysia," ujar Sarjana.

Tanaman jeruk ini, menurut Sarjana, juga bisa dikembangkan di daerah Temanggung yang kondisi geografisnya sama dengan Tanah Karo. Yakni daerah dingin yang diapit dua gunung. Hanya saja, potensi terserang lalat buah jika di Temanggung, katanya akan lebih rendah karena daerah itu lebih banyak terpapar matahari.

Hal itu dikatakan Sarjana saat menerima kunjungan sejumlah wartawan dari Temanggung yang melakukan Press Tour ke Kecamatan Merek pada Senin (3/4). (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya