Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) mengungkapkan penerbitan sertifikat program Prona (Program Nasional Agraria) di daerah tersebut terindikasi sarat dengan pungutan liar yang dinilai sangat merugikan masyarakat.
"Praktek pungli yang terjadi hingga pada tingkatan menjadikan sertifikat tanah milik warga yang baru jadi disandera sejumlah oknum Kepala Desa karena alasan belum melunasi sejumlah biaya," kata Kepala Ombudsman Perwakilan NTB Adhar Hakim, Kamis (30/3), di Mataram.
Dikatakan Adhar, laporan terkait pungli datang dari berbagai desa di NTB antara lain, dari Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, hingga Kabupaten Sumbawa.
Dia mencontohkan, dari hasil pemeriksaan lapangan di salah satu desa di Kecamatan Bayan yang baru pertama kali memperoleh jatah Prona dan mendapat jatah 500 bidang tanah ditemukan ratusan warga peserta Prona mengaku dimintai uang oleh kepala desa mereka hingga Rp600 ribu. Sementara di desa lainnya di Kecamatan Sakra, Lombok Timur, warga dimintai uang antara Rp600 ribu hingga Rp700 ribu berdasarkan kesepakatan antara warga dengan BPD.
Padahal, lanjut Adhar, biaya terkait Prona yang harus dikeluarkan masyarakat tidak sebesar itu. "Kami telah melakukan pemeriksaan kepada oknum kepala desa dan sejumlah sertifikat yang ditahan kepala desa telah diserahkan kepada warga. Uang kelebihan berupa pungli akan segera dikembalikan kepada warga," kata Adhar didampingi Arya Wiguna, asisten
di Obdusman.
Pungutan liar dilakukan sejumlah oknum di kantor desa, termasuk kepala desa dengan berbagai modus dan alasan. Mulai dari alasan permintaan uang lelah, transport juru ukur, hingga kesepakatan warga dan BPD, bahkan berdasarkan ketentuan perdes.
Ombudsman RI Perwakilan NTB sangat menyayangkan praktek pungutan liar dan penahanan sertifikat tanah warga hasil Prona oleh oknum kepala desa. Sebab, pihak Kantor Pertanahan di setiap kabupaten yang menjalankan Prona telah menyerahkan sertifikat yang telah selesai diproses kepada masing-masing pemohon.
"Prakteknya setelah diserahkan Kantor Pertanahan, oknum kades memintanya kembali dengan alasan belum lunas," kata Adhar.
Sebenarnya biaya yang disiapkan masyarakat hanya untuk kewajiban mereka membeli materai, administrasi alas hak, pajak BPHTB, hingga patok atau pal batas tanah yang jika ditotal maksimal hanya mencapai antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu bagi masyarakat yang sama sekali belum memiliki berkas lengkap.
Sebaliknya, masyarakat telah memiliki berkas lengkap dari seluruh persyaratan maka tidak ada biaya yang dikeluarkan. Namun prakteknya di lapangan pihak kantor desa biasanya memukul rata antara Rp500 ribu hingga Rp700 ribu. (OL-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved