Pejalan Kaki Jadi Terhormat di Jalan Malioboro

Ardi Teristi
23/12/2016 09:20
Pejalan Kaki Jadi Terhormat di Jalan Malioboro
(Pekerja memoles tempat sampah di jalur pedestrian Jalan Malioboro, Yogyakarta---ANTARA/Andreas Fitri Atmoko)

JALAN Malioboro telah menjadi salah satu ikon Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Wikipedia memaknai Malioboro sebagai kawasan perbelanjaan utama atau 'a major shopping street in Yogyakarta'.

Di sepanjang ruas jalan itu memang dipadati dengan beragam pertokoan, pedagang kaki lima (PKL), serta beragam kegiatan komersial. Pada malam hari, beragam penerangan lampu dari pertokoan dan penerangan jalan umum menyemarakkan suasana kota.

Tahun berjalan membuat Jalan Malioboro kian padat. Raja Yogyakarta yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 2014 mengadakan sayembara untuk menata Malioboro. Ratusan peserta mengikuti sayembara. "Banyak yang punya kepentingan dan kecintaan kepada Malioboro," kata Sultan, kemarin, saat peresmian penataan Malioboro tahap pertama.

Rencananya, penataan Malioboro berlangsung hingga 2019 yang terbagi dalam empat tahap. Kini, di sisi timur, tidak ada lagi sepeda motor yang berjejer terparkir di pedestarian. Lantai juga sudah diganti dari konblok menjadi teraso.

Sepanjang jalan juga telah menjadi lebih teduh karena ditanami pohon asam jawa, pohon gayam, dan perdu soka. Selain itu, di sepanjang jalan juga disusun kursi bagi siapa pun yang hendak beristirahat. Di jalan itu juga telah tersedia keran air bersih siap minum.

Jalanan itu juga dilengkapi fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas, seperti lantai teraso yang memiliki tanda jalan bagi tunanetra. Penataan tahap pertama itu menghabiskan Rp23,7 miliar.

Sultan memastikan penataan tidak akan menggusur PKL. "Saya tidak ada rencana menggusur, tetapi menata karena kekuatan Malioboro ada di PKL untuk transaksi ekonomi masyarakat menengah," kata dia.

Sultan menambahkan, ruas jalan dari keraton hingga ke Tugu Pal Putih atau Tugu Yogyakarta memiliki filosofi hubungan vertikal ketuhanan.

Untuk itu, orang yang berada di sekitar jalan tersebut hendaknya lebih manusiawi dan mengedepankan manusia, khususnya pejalan kaki. "Yang membawa kendaraan menghormati pejalan kaki, bukan pejalan kaki yang menghormati yang membawa kendaraan."

Jalan Malioboro identik dengan wujud penghormatan kepada pihak lain. Seperti ditulis oleh dosen emeritus di Trinity College, Oxford, dan profesor luar biasa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) Peter Carey dalam buku Asal Usul Nama Yogyakarta-Malioboro yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2015.

Bagi Peter, kata malioboro mengacu saduran bahasa Jawa dari kata 'mlyabhara' yang bermakna berhiaskan untaian bunga. Di mana, ruas jalan itu ialah sebuah jalan raya seremonial.

Seperti, lanjut Peter, seremoni saat menerima kunjungan resmi gubernur jenderal Eropa. Pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII, jalan raya ini menjadi saksi prosesi para penari dan musisi dalam upacara pernikahan kerajaan di keraton.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, Jalan Malioboro kadang menjadi lokasi defile dalam perayaan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.

Oleh karena itu, menurut Peter, Jalan Malioboro memang memiliki histori seremoni untuk memberikan penghormatan kepada tamu terhormat.(N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya