Mayoritas Generasi Muda Tolak Kekerasan Berbasis Agama

Furqon Ulya Himawan
14/12/2016 20:25
Mayoritas Generasi Muda Tolak Kekerasan Berbasis Agama
(ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)

MAYORITAS generasi muda di sejumlah wilayah tidak setuju jika agama dijadikan dasar tindakan radikal. Bahkan mayoritas generasi muda menyebut orang yang melakukan tindakan radikalisme atas nama agama menunjukkan pemahaman terhadap agama yang belum tuntas.

Pernyataan ini terungkap dalam Diskusi Publik Sosialisasi Hasil Survei Persepsi Orang Muda Dan Pemetaan Internet-Sosial Media tentang Radikalisme dan Ekstremisme di Indonesia, di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (14/12), yang diseleneggarakan Jaringan Gusdurian bekerja sama dengan Infid, NU-Online, dan LKiS.

"Sebanyak 88,2% generasi muda tidak setuju dengan kelompok Islam yang menggunakan kekerasan," kata Beka Ulung Hapsoro, Manajer Advokasi Infid, saat membacakan hasil survei.

Survei kerja sama antara Infid dengan Jaringan Gusdurian itu dilakukan di 6 wilayah, yakni Yogyakarta, Solo, Bandung, Pontianak, Surabaya, dan Makassar, dengan jumlah responden 1.200 orang berusia 15-30 tahun.

"Sampling error 2,98% dan tingkat kepercayaan 95%," kata Beka.

Menurut Beka, dari hasil survei ditemukan, mayoritas generasi muda yang tidak setuju agama dijadikan dasar tindakan radikal beralasan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai agama sebanyak 44,3%, tidak berperikemanusiaan sebanyak 18,1%, menodai agama sebanyak 16,7%, dan melanggar hukum sebanyak 9,7%.

Dalam aspek nasionalisme, hasil survei menyatakan 94,5 responden menyatakan merasa bangga sebagai warga negara Indonesia. Alasannya, lanjut Beka, mereka bangga karena keragaman suku dan agama yang saling menghormati (29,7%), bangga karena masyaraktnya saling membantu (26,8%), bangga karena keindahan alamnya (15,3%), bangga karena negara yang damai dan melindungi warganya (8,4%).

"Sementara lainnya menjawab tidak tahu/tidak menjawab," kata Beka.

Melihat kenyataan hasil survei, Beka mengaku masih optimistis banyak anak muda yang tidak setuju dengan tindakan radikal dan ekstrem berbasis agama. Selain itu, masih banyak generasi muda yang bangga terhadap kebinekaan Indonesia.

Dari hasil survei tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Gusdruian Indonesia, Alissa Wahid, menyatakan, keluarga perlu meningkatkan perannya dalam mengantisipasi radikalisme dan ekstremisme di kalangan generasi muda.

Sebab, dalam hasil survei menyebut, 70,3% responden mengaku mengikuti nasihat orangtua terkait keyakinan agama, sehingga peran keluarga khususnya orangtua sangatlah penting.

"Perlu penguatan peran keluarga, bagaimana ketahanan keluarga itu memasukkan persoalan ini," kata Alissa.

Dalam menyikapi hasil survei ini, lanjut putri pertama mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini, yang harus dilakukan ialah semua aktor dan pemangku kepentingan bisa membaca situasi lebih bijak, jangan selalu terjebak dalam persoalan terorisme dan tindakan kriminal. Sehingga tidak merespons kecenderungan intoleransi yang menguat.

"Negara jangan hanya merespons terorisme dan tindakan kriminal, tapi negara juga harus merespons kecenderugan intoleransi yang menguat," jelasnya.

Negara, lanjut Alissa, harus bisa mengambil kebijakan lebih tepat, misalnya dengan mengutak-atik sistem pendidikan yang ada. Selain itu, media massa juga bisa mengambil perannya untuk mengampanyekan toleransi dan keberagaman di Indonesia. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya