Jadikan Pancasila sebagai Inspirasi Keberagaman di Dunia

Furqon Ulya Himawan
29/10/2016 18:15
Jadikan Pancasila sebagai Inspirasi Keberagaman di Dunia
(ANTARA FOTO/Andika Betha)

KEBEBASAN berkeyakinan, beragama, dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing harusnya berjalan sangat baik di Indonesia, karena Indonesia memiliki Pancasila yang oleh negara lain dianggap sebagai inspirasi keberagaman dan toleransi yang sangat baik.

Hal itu disampaikan Maulana Ainul Yaqeen, Ketua Mubalig (missionary in charge) Ahmadiyah Malaysia, dalam International Peace Symposium 2016, dengan tema Implementation of Pancasila in Freedom of Religions as Inspiration for The World, di Convention Hall Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu (29/10).

Menurut Ainul Yaqeen, Indonesia ialah negara yang sangat beruntung karena memiliki Pancasila sebagai prinsip-prinsip konstitusi sehingga masyarakatnya yang majemuk bisa saling hidup dan menghormati walaupun berbeda-beda.

Dia mencontohkan, sebuah hal yang luar biasa yakni seorang arsitek nonmuslim bisa membangun Masjid Istiqlal, yang mana hal itu menurutnya tidak mungkin terjadi di Malaysia. Dan itu semua lantaran Indonesia memiliki Pancasila yang berprinsip keadilan dan toleransi.

"Pancasila bisa menjadi inspirasi dunia dalam hal keberagaman dan toleransi," kata Ainul Yaqeen.

Perwakilan muslim Ahmadiyah di Amerika Serikat, Maulana Azhar Haneef, juga mengungkapkan kekagumannya terhadap prinsip-prinsip Pancasila. Namun, Azhar Haneef menyebut, prinsip-prinsip Pancasila sama dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lampau.

"(Pancasila) mengingatkan pada khutbah terakhir Rasulullah ketika Haji Wada. Dalam khutbah itu, Rasulullah menyerukan prinsip-prinsip keberagaman dan kebebasan kepada seluruh manusia," kata Azhar Haneef.

Rasulullah, lanjut Azhar Haneef, mengajarkan harmoni kehidupan di seluruh dunia yang itu akhirnya menginspirasi piagam kemanusiaan dalam deklarasi HAM.

"Prinsip universal adalah pertama yang selalu ditekankan Rasulullah dan pada khutbah terakhirnya," imbuh Azhar Haneef.

Dalam konstitusi Amerika, menurut Azhar Haneef, juga mengadopsi prinsip-prinsip universal, yakni adanya legalitas kesamaan bahwa manusia diciptakan sama dan memiliki hak yang sama antara satu dengan yang lainnya.

"Pemerintah tidak boleh membatasai atau melarang kebebasan bergama dan beribadah bagi setiap warga Amerika," imbuhnya.

Dengan jaminan konstitusi kemanusian itu, di Amerika ada 1.200 masjid yang berdiri, pemerintah Amerika wajib melindungi kebebasan muslim beribadah.

"Inilah prinsip yang dijalankan Amerika Serikat yang sesungguhnya ada di Alquran dan Hadis," lanjut Azhar Haneef.

Pengakuan negara lain nampaknya menjadi pengingat bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya, kebebasan beribadah sesusai keyakinannya yang sudah diatur dalam konstitusi belum sepenuhnya terlaksana dengan baik, lantaran masih banyak pelanggaran terjadi.

Mirajuddin Sahid, dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), mengaku masih banyak mendapatkan intimidasi dari kelompok-kelompok intoleran di Indonesia. Menurutnya, banyak masjid JAI yang dirusak dan ditutup oleh kelompok-kelompok intoleran.

"Kasus intoleransi yang paling banyak terjadi adalah penutupan masjid dan pengrusakan," katanya.

Di Lombok, lanjut Mirajuddin Sahid, ada 119 jiwa orang JAI yang sudah 10 tahun lebih tidak bisa kembali ke rumahnya. Mereka tertahan di pengungsian karena sebagai orang Ahmadiyah. Selain itu, di Manislor, Kuningan, Jawa Barat, sekitar 4.000 jamaah Ahmadiyah Indonesia tidak bisa membuat kartu tanda penduduk (KTP). Dan Kantor Urusan Agama (KUA) juga tidak mau mengurusi pernikahan mereka.

"Alasannya karena mereka orang Ahmadiyah," katanya.

Mirajuddin Sahid berharap, pemerintah tegas melindungi JAI dalam menjalankan ibadahnya, dan hak untuk mendirikan rumah ibadah yang saat ini sangat sulit mereka dapatkan.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Siti Ruhaini Dzuhayatin, mengakui bahwa Indonesia dijadikan model bagi negara Asia Tenggara dan negara anggota OKI dalam multikulturalisme dan pluralisme. Oleh sebab itu, negara harus melindungi kelompok-kelompok minoritas agar Indonesia selalu menjadi rujukan dalam hal keberagaman.

Jadi, lanjut Ruhaini, negara harus berani menentang intoleransi, diskriminasi dan kekerasan untuk melindungi kelompok moniritas.

"Inilah hakikat dari demokrasi multikultural, majority consensus, minority right," kata Ruhaini yang juga menjadi Kominisoner Komisi HAM OKI. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya