Berhenti Jadi Penebang Menjadi Penyelamat Lingkungan

Liliek Dharmawan
26/10/2016 17:48
Berhenti Jadi Penebang Menjadi Penyelamat Lingkungan
(Kawasan Gunung Api Purba di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, DIY---MI/Liliek Dharmawan)

UNTUK menjangkau wilayah itu, warga harus berjalan kaki naik ke perbukitan. Perbukitan tersebut sesungguhnya adalah sebuah gunung api purba. Di sekitar daerah dengan ketinggian 450-500 meter di atas permukaan laut (mdpl) itulah, warga mencari kayu bakar dan rumput untuk pakan ternak. Sebagian besar areal setempat merupakan lahan kritis.

Setiap pekannya, setidaknya ada dua truk rencek atau potongan-potongan kayu kering yang dibawa ke kota.

Begitulah sekilas kondisi alam di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar tiga dekade lalu.

"Setiap pekan, masyarakat membawa rencek dari penebangan kayu-kayu di kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran dan dijual ke Piyungan, Kabupaten Bantul. Jumlahnya sekitar dua truk," kata Ketua Kelompok Tani Kencana Mukti Nglanggeran Sudiyono, pekan lalu.

Sudiyono melanjutkan, kalau musim kemarau, dipastikan bakal mengalami kekeringan. Sehingga, umumnya masyarakat menanam tanaman yang bisa hidup dalam lingkungan yang kering.

"Kondisi alam yang ganas itu berdampak para perekonomian masyarakat. Umumnya, warga di sini kondisinya miskin. Jangankan untuk menyekolahkan anak sampai ke jenjang perguruan tinggi, untuk sampai ke SMP atau SMA saja sudah sulit. Bahkan, guna mencukupi kebutuhan sehari-hari saja berat. Makanan penduduk juga sangat sederhana, sebagian nasi tetapi seringnya tiwul. Tiwul adalah makanan pokok warga Gunung Kidul waktu dulu yang terbuat dari bahan singkong," ujarnya.

Para pemudanya, kata Sudiyono, juga lebih memilih merantau karena kebanyakan menganggap bahwa kondisi desanya tidak menghasilkan.

"Mau menghasilkan apa? Kondisi alam yang kering sulit untuk menumbuhkan berbagai macam tanaman pangan, paling maksimal hanya singkong. Karena itulah, anak-anak muda banyak yang merantau. Mereka mengadu nasib ke Jakarta, Batam, dan kota besar lainnya. Bahkan, saya juga ikut merantau ke Kalimantan waktu itu," jelasnya.

Namun, Sudiyono kemudian berfikir untuk kembali pulang untuk membangun desanya.

Dimulailah kiprahnya menggarap Desa Nglanggeran pada 1987 silam dengan mendirikan karang taruna desa. Dari kegiatan pemuda itulah, mulai muncul ide untuk memperkenalkan Nglanggeran sebagai daerah Gunung Api Purba di Gunung Kidul.

"Tahun berganti tahun, kegiatan pemuda yang tidak hanya mulai menggerakkan sektor wisata, tetapi juga menggerakkan warga khususnya pemuda untuk menanam pepohonan di perbukitan Nglanggeran," kata Sudiyono.

Setelah melalui perjuangan hingga 25 tahun melakukan pekerjaan sendiri, pada 2012 mulai ada intervensi dari luar.

"Ada ide pembentukan kebun buah dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH). Tanaman buahnya dipilih durian dan kelengkeng. Berbarengan dengan itu, maka areal tandus yang datar dibangun sebuah embung atau waduk kecil. Inilah embung pertama kali yang dibangun di DIY. Luasannya 7 ribu meter persegi dengan kedalaman 4 meter dengan volume air yang tertampung 12 ribu meter kubik," ujarnya.

Kini, embung tersebut mampu mengairi kebun buah seluas 20 hektare (ha) dengan ditanami 2.800 pohon durian dan 300 pohon kelengkeng.

"Apalagi, setelah ada pendampingan dari Yayasan Obor Tani yang dibawa Pertamina. Dengan dana Corporate Social Responbility (CSR), Pertamina bersama Obor Tani melakukan pendampingan terhadap masyarakat petani di Nglanggeran. Dampaknya sungguh luar biasa, karena mereka membawa teknologi. Dengan adanya pendekatan teknologi, tanaman durian bisa berbuah hanya dalam waktu 3 tahun. Meski saat ini belum memasuki panen raya, tetapi sudah menjadi destinasi wisata lain di Nglanggeran," jelasnya.

Saat ini, lanjutnya, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nglanggeran, tidak hanya memiliki destinasi wisata Gunung Api Purba saja, melainkan juga kebun buah.

"Bahkan, berkembangnya destinasi baru tersebut mendongkrak jumlah wisatawan. Pada 2014, jumlah pengunjung mencapai 85 ribu pengunjung dan pada 2015, totalnya mencapai 325 ribu. Kalau perhitungan Rp10 ribu saja dari wisatawan, sudah ada 3 miliar lebih yang masuk. Inilah yang menjadi dampak domino untuk masyarakat. Dari yang semula mereka mencari kayu bakar untuk dijual, kini tidak lagi. Mereka sekarang berjualan dan melayani para wisatawan yang ke sini. Praktis, dengan banyaknya wisatawan yang masuk, meningkatkan kesejahteraan warga," ungkap Sudiyono yang kini juga menjadi Manajer Taman Teknologi Pertanian (TTP) Nglanggeran tersebut.

Pendamping dari Yayasan Obor Tani, Setyo Cahyono, mengungkapkan dana CSR Pertamina yang dimulai untuk program pendampingan mulai 2013-2016 dipakai untuk mengembangkan teknologi pertanian sehingga tanaman akan lebih cepat berbuah.

Misalnya, hanya dalam 3 tahun, pohon durian bisa berbuah, karena adanya teknologi.

"Kami mendampingi 82 petani yang mengurus 3 ribu lebih tanaman durian dan kelengkeng," katanya.

Menurut Setyo, dalam mengairi tanaman digunakan teknologi ramah lingkungan.

"Jadi, untuk mengalirkan air, tidak perlu dengan mesin karena dengan teknologi sederhana. Hal ini juga sesuai dengan visi Pertamina sebagai pemberi dana yakni menghemat BBM dan tidak menggunakan listrik. Sehingga untuk mengalirkan air dari embung tersebut hanya membutuhkan tenaga gravitasi. Nyatanya bisa dilakukan dan benar-benar tidak menggunakan BBM dan listrik," ujarnya.

Area Manager Communication and Relations Pertamina Jawa bagian Tengah Suyanto mengatakan kalau Pertamina menggelontorkan dana CSR untuk mendukung upaya-upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Selain itu, juga untuk mendorong agar masyarakat dalam perbaikan lingkungan serta penghematan energi khususnya bahan bakar fosil. Dan ternyata apa yang dilakukan oleh Kelompok Tani Kencana Mukti, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul jadi bukti.

"Kelompok ini tidak hanya sekadar menghijaukan kawasan yang gersang, tetapi juga mampu menyejahterakan para petani karena mendapatkan hasil dari pohon yang mereka tanam," ungkapnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya