Pemkab Sleman Telusuri Penjualan Tanah Kas Desa

PEMERINTAH Kabupaten Sleman, akan segera melakukan penelusuran adanya dugaan penjualan tanah kas desa di beberapa desa di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekda Kabupaten Sleman, Iswoyo Hadiwarno, penelusuran itu nantinya akan melibatkan jajaran kecamatan dan desa.

“Kami akan melakukan penelusuran terkait dugaan penjualan tanah kas desa. Penelusuran melibatkan dari kecamatan maupun desa sebelum menentukan langkah selanjutnya,” jelasnya.

Iswoyo mengemukakan penjualan tanah kas desa sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada memang tidak diperbolehkan. Dalam penelusuran itu, imbuhnya, akan diawali dengan klarifikasi ke tiap-tiap desa dan kecamatan.

Langkah penelusuran ini menurut Iswoyo akan dilakukan setelah sebelumnya Pemprov DIY berencana membentuk tim adHoc guna melakukan penelitian dugaan adanya jual beli tanah kasa desa yang saat ini digunakan untuk lokasi pemukiman warga korban erupsi Gunung Merapi baik korban erupsi tahun 2010 maupun tahun-tahun sebelumnya.

Penjualan tanah kas desa itu, dilakukan oleh ahli waris penerima reberada di Dusun Bokesan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Dusun Pelem Desa Girikerto, Kecamatan Turi dan Dusun Sudimoro Desa Purwobinangun Kecamatan Pakem.

“Apakah nantinya perlu membentuk Tim Ad Hoc atau tidak. Kami akan telusuri dulu, termasuk meminta klarifikasi dari kecamatan dan desa,” katanya.

Sementara itu Pemerintah Desa (Pemdes) Sindumartani, Ngemplak, Girikerto Turi dan Purwobinangun, Pakem membantah adanya jual beli lahan relokasi bekas erupsi Merapi. Pemdes menegaskan, sampai saat ini status tanah di tiga desa tersebut masih berstatus tanah kas desa.

Kepala Desa Sindumartani Ngemplak Midiono mengatakan sampai saat ini keluarga korban erupsi Merapi 1965 di Dusun Bokesan masih mendiami tanah kas desa. Luas lahan yang digunakan sekitar satu hektare. Dia membantah informasi yang menyebut ada praktik jual beli TKD (tanah kas desa) di sana.

“Mereka hidup di wilayah tersebut turun-temurun, di atas tanah kas desa. Jumlahnya sekitar 20 sampai 23 kepala keluarga. Itu sampai sekarang masih tanah kas desa,” kata Midiono.

Menurut dia, sejak dulu desa tersebut dialiri dua sungai. Di antara dua sungai tersebut, terdapat Dusun Pulerejo yang dihuni sejumlah warga. Dusun tersebut hanyut terbawa banjir lahar dingin saat erupsi Merapi tahun 1965.

“Karena mereka sudah mendiami puluhan tahun, banyak orang pertama yang menempati lahan itu yang meninggal dunia. Kemudian, rumah-rumah yang ditinggali saat ini ditempati oleh para ahli waris,” katanya.

Kepala Desa Purwobinangun Pakem Heri Suasana menegaskan tidak ada praktik jual beli tanah kas desa yang ditempati korban erupsi Merapi. Saat erupsi Merapi 1994 banyak warga yang kehilangan tempat tinggal.

“Mereka kemudian direlokasi di TKD Dusun Sudimoro. Warga pertama yang menempati bangunan tersebut banyak yang meninggal dunia. Saat ini yang menempati rumah-rumah tersebut ya anak cucunya,” katanya.

Ia mengatakan sampai saat ini status tanah tersebut milik desa (TKD). Warga yang menempati TKD tersebut, katanya, juga masih membayar uang sewa ke desa.

“Tidak mudah menjualbelikan TKD. Kalau dijualbelikan, otomatis
harus lewat desa. Dan sampai saat ini tidak ada hal itu. Status tanah masih TKD. Informasi (Pemda DIY) itu tidak benar,” ujarnya.

Bantahan yang sama juga diutarakan Kepala Desa Girikerto Turi Sumaryanto. Dia bahkan terkejut dengan isu tersebut.

Sampai saat ini status tanah yang dihuni korban erupsi Merapi 1992 masih berstatus TKD. “Kalau ada yang menjualbelikan, pasti kami tolak. Karena lahan itu statusnya TKD. TKD itu kan statusnya sama dengan tanah negara,” katanya. (OL-4)