Petugas Pemilu menandatangani hasil penghitungan suara pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 037, Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (24/2).(MI/Bagus Suryo)
Pengamat politik Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, menyatakan oposisi diperlukan usai Pemilu 2024 guna mencegah terjadinya politik kartel. Adapun pembuktian parpol oposisi pada hak angket.
"Keputusan oposisi atau justru koalisi tergantung sikap kingmaker, yakni partai inti dan ketua partai," tegas pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, Selasa (27/2).
Bila pemerintah nanti tanpa oposisi, lanjutnya, yang terjadi politik kartel. Sebab, oposisi sangat dibutuhkan mengingat tidak semua masyarakat menyetujui kebijakan pemerintah.
Wawan Sobari menjelaskan risiko politik kartel terjadi ketika aktor partai dan kelompok politik berkoalisi untuk mengontrol dan memanipulasi proses politik demi kepentingan mereka. Mirip kartel ekonomi, dunia usaha mengendalikan pasar dan mempertahankan dominasi. Sedangkan risiko politik kartel bakal mengikis prinsip-prinsip demokrasi, transparansi dan persaingan sehat dalam sistem politik.
Karena itu, oposisi diperlukan agar keputusan legislatif berdasarkan konsensus. Secara politik terpenting di dalamnya ada negosiasi.
Wawan Sobari mengukur dari sisi kelembagaan, PDIP berpotensi paling kuat menjadi oposisi ketimbang parpol lainnya.
Sementara itu, pakar hukum Pemilu Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safaat mengatakan perlu adanya oposisi kuat untuk penyeimbang. Forum membentuk oposisi agar tidak terjebak kepentingan praktis itu pembuktiannya melalui hak angket.
"Pada pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo ada oposisi masyarakat sipil. Namun tidak ada yang menyambut di parlemen. Ini akan awet ketika (digarap) di parlemen sesuai mekanisme," tuturnya. (N-2)