Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
Menjadi “tertuduh” utama dalam kasus kebakaran lahan tahun lalu, menjadi pelajaran berharga bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Tak mau kecolongan, sejumlah perusahaan sawit kompak melakukan antisipasi. Seluruh pemangku kepentingan perlu mencari solusi bersama mengatasi kebakaran yang hampir setiap tahun selalu berulang.
Kebakaran lahan bisa teradi di mana saja, terutama di musim panas atau kemarau.
Penyebab kebakaran juga tidak mungkin tunggal, bisa karena ulah manusia, bisa juga karena murni faktor alam. Selain di Indonesia yang kaya dengan hutan tropis, kebakaran juga kerap terjadi di kawasan Eropa dan Amerika dengan hutan sub tropisnya.
Padahal, di negara-negara maju teknologi sudah canggih dan anggaran penanggulangan kebakaran juga besar, namun kebakaran masih kerap terjadi.
Bahkan, data dari sebuah lembaga kajian independen PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute) menunjukkan,luas lahan yang terbakar di Amerika atau Eropa, jauh lebih besar dibandingkan yang terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan kebakaran yang terjadi di Eropa atau Amerika yang sepi berita, kebakaran di Indonesia menjadi perhatian luas dunia.
Negeri jiran Singapura protes keras karena mendapat “hadiah” asap, sedangkan negara-negara maju dan LSM lingkungan menuduh pelaku usaha sengaja membakar lahan untuk membuka areal baru perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI).
Larangan membakar lahan untuk membuka lahan Perkebunan maupun HTI sudah sangat jelas sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan itu semua perusahaan Perkebunan kelapa sawit maupun HTI telah menerapan pembukaan lahan tanpa bakar atau zero burning policy. Namun di sisi lain, UU tersebut masih membolehkan petani individu melakukan pembukaan lahan pertanian dengan membakar sebagai bentuk kearifan local.
Dan sebagaimana kita tahu bahwa praktik membakar untuk membuka ladang pertanian sudah menjadi tradisi puluhan bahkan ratusan tahun di Indonesia. Di daerah Kalimantan Selatan, petani padi di areal rawa-rawa hanya memanfaatkan waktu kemarau selama 4 bulan untuk bercocok tanam, sehingga cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan membakar. Para pencari ikan di daerah tersebut saat tiba musim kemarau membakar parit-parit yang semak untuk memudahkan mencari ikan.
Kegiatan seperti ini yang dilakukan secara meluas tanpa control bisa berdampak menjadi kebakaran yang meluas. Inilah yang harus dicarikan solusinya. Melarang saja tentu tidak bijaksana, apalagi kelompok petani individu kurang memiliki modal yang kuat untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar.
Aspek politik dan konflik sosial juga menjadi salah satu penyebab kebakaran. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Jurnal Riset, hasil penelitian Gaveau et al (2015) terkait kebakaran lahan di Riau tahun 2013, terungkap bahwa 52% dari total area yang terbakar (sekitar 84.717 hektar) berada di dalam konsesi perusahaan (kelapa sawit dan hutan tanaman industri/ akasia). Sisanya seluas 79.012 hektar(48%) merupakan areal konservasi (taman nasional).
Dari luas 84.717 yang berada di dalam konsesi perusahaan, tulis laporan Gaveau, 60 persen dari total area yang terbakar di dalam konsesi (50.248 hektar atau 31% dari total area yang terbakar), adalah lahan-lahan yang diokupasi oleh masyarakat. ”Hal ini yang membuat persoalan kebakaran menjadi semakin kompleks,” tulis Gaveau.
Hasil penelitian Gaveau ini sejalan dengan data dari Global Forest Watch, menunjukkan bawah pada kebakaran di Indonesia 2015 banyak terjadi di luar konsesi perusahaan.
Menurut data tersebut pada kebakaran tahun lalu, hanya 10 persen titik api berasal dari dalam konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Sedangkan 25 persen berasal dari dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI), dan sisanya berasal dari lahan masyarakat dan areal konservasi (taman-taman nasional) yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan pemerintah.
Menghadapi situasi yang demikian kompleks ini sangat menyulitkan perusahaan. Di satu sisi, perusahaan kesulitan menguasai dan membudi dayakan areal konsesinya karena masalah okupasi. Di sisi lain, kebakaran yang terjadi di areal okupasi (yang sedang tidak dikuasai perusahaan) tetap menjadi tanggung jawab perusahaan, dan perusahaan lah yang harus dihukum.
Ini sungguh merupakan dilemma bagi perusahaan.
Dalam kasus yang lain, areal konsesi perusahaan yang karena alasan sertifi kasi ISPO maupun RSPO dialokasikan sebagai area yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCV : High Conservation Value) pun kadang-kadang menjadi objek perambahan oknum dan sering dibakar. Oleh karena itulah dalam konteks penegakan hukum, hal ini perlu dicermati dan dipelajari secara khusus agar tidak terjadi salah sasaran dalam penegakan hukum.
Menanggapi hal ini, Guru Besar IPB Prof Dr Yanto Santoso mengakui bahwa kebakaran di Indonesia adalah persoalan yang kompleks. Namun yang pasti, tidak mungkin perusahaan sengaja membakar lahan atau kebunnya sendiri.“Kebun itu adalah aset bagi perusahaan. Tidak mungkin mereka membuka lahan dengan membakar jika nanti menghadapi risiko pidana dan denda ratusan miliar rupiah,“ kata Yanto yang juga menjadi saksi ahli dalam sidang kasus kebakaran lahan di Riau.
Yanto juga menyoroti UU UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang masih membuka ruang bagi masyarakat untuk membakar lahan dengan pertimbangan kearifan lokal. “Nah kearifan lokal inilah yang menjadi pasal pemakluman bagi masyarakat yang membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan dengan luasan maksimal dua hektar per kepala keluarga,“ katanya.
Senada dengan Yanto, peneliti ilmu tanah IPB Dr Basuki Sumawinata, mengatakan kebakaran hutan dan lahan merupakan persoalan kompleks yang pembuktiannya tidak mudah, apalagi lokasinya berada di lahan sengketa. `'Sangat naïf pihak-pihak tertentu langsung menunjuk korporasi sebagai pelaku pembakaran lantaran jelas-jelas lokasinya adalah lahan sengketa perusahaan dengan masyarakat,'' tutur Basuki.
Menurut Basuki Sumawinata, perusahaan pekebunan kelapa sawit telah melakukan banyak hal untuk mengatasi meluasnya api karena terpaan angin dan masuk ke dalam konsesi perusahaan. Namun, sejatinya, itu tidak cukup dilakukan oleh perusahaan sendiri tanpa melibatkan masyarakat, pemda, dan aparat terkait.`'Perusahaan kelapa sawit saat ini dengan segala macam terus berupaya mencegah kebakaran hutan dan lahan, agar kejadian seperti tahun lalu tak terulang kembali,'' terang dia.
Karena itu Basuki menyayangkan rencana pemerintah yang ingin mengambil alih konsesi perusahan terbakar dengan alasan perusahaan tak lagi bisa menjaganya.`'Wacana ini tentunya agak membingungkan. Untuk apa korporasi membakar konsesinya,'' tutur Basuki.(*)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved