Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
KETUA DPD I Partai Golkar Provinsi Bali I Ketut Sudikerta dan Ketua DPD PDIP Provinsi Bali I Wayan Koster telah mendapat dukungan dari internal partai masing-masing untuk menjadi calon gubernur pada pemilihan gubernur (Pilgub) Bali tahun 2018.
Belakangan ini, keduanya menampilkan persaingan dengan gencar melakukan konsolidasi internal partai masing-masing, dan rutin melakukan aksi "turun gunung" untuk menemui berbagai kelompok masyarakat.
Kendati demikian, sejumlah kalangan menilai masih terbuka peluang keduanya untuk berduet dengan membangun koalisi Merah-Kuning (PDIP). Apalagi hubungan Golkar dan PDIP di tingkat pusat mulai mesra belakangan ini.
Dikonfirmasi soal peluang koalisi tersebut, keduanya dengan tegas mengambil pilihan untuk saling bertarung merebut kursi Gubernur Bali yang akan ditinggalkan I Made Mangku Pastika tahun 2018 mendatang.
Sudikerta dengan tegas ingin menghapus atribut politik yang melekat pada dirinya sebagai spesialis wakil kepala daerah. Sebab, sebelum naik kelas menjadi wakil Gubenur Bali sekarang, Sudikerta sebelumnya menjabat wakil bupati Badung dua periode.
Karena itu, ia akan bertarung untuk merebut kursi Gubernur Bali, dengan siapapun lawan yang akan menantangnya, termasuk Koster.
Kebulatan tekad serupa juga dilontarkan Koster. Sebagai ketua DPD PDIP Bali, inilah peluang terbesarnya untuk bisa bertarung sebagai cagub.
Pilihannya mendapat dukungan internal partainya di Bali. Bahkan di internal PDIP Bali mencuat suara kadernya yang mendorong PDIP mengusung kader-kader sebagai pasangan calon kepala daerah pada Pilgub nanti. Siapun kader yang akan menjadi calon wakil gubenur, Koster tetap diposisikan sebagai Cagub.
Pengamat sosial dan politik dari LSM Bali Sruti, Dr. Luh Riniti Rahayu, menilai kecil kemingkinan Koster dan Sudikerta diduetkan pada Pilgub nanti.
"Kelihatannya seperti mustahil untuk dikawinkan, karena masing-masing ingin jadi cagub," ujar Riniti di Denpasar, Sabtu (6/8).
Kendati demikian, ia melanjutkan, karena pencalonan Sudikerta maupun Koster akan diputuskan oleh DPP partainya masing-masing, maka realitas politik di Bali yang tampak memustahilkan adanya duet Koster-Sudikerta, bisa saja berubah. Artinya, keduanya akan dikawinkan secara paksa oleh keputusan politik kedua partai di tingkat pusat.
"Meskipun Koster dan Sudikerta masing-masing sudah mendeklarasikan diri menjadi cagub, kedua pimpinan parpol ini masih berproses dan tergantung dengan pimpinan partai pusat. Namanya politik semua bisa mungkin berdasarkan pertimbangan-pertimbanhan yang paling menguntungkan bagi masing-masing parpol," katanya.
Jika duet itu terjadi, ia menilai jatah cagub untuk Koster. "Koster tidak mungkin mau jadi cawagub, karena PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak tidak mungkin mau kadernya jadi cawagub. Nah, kalau Golkar itu memungkinkan (Sudikerta jadi cawagub).
Meski Sudikerta sudah deklarasi cagub, bila DPP Golkar menentukan lain, kemungkinan itu bisa saja terjadi. "Nah, bila Golkar mau jadi Cawagub PDIP, Golkar pasti dapat kuenya. Bila jadi Cagub, belum tentu dapat kue kekuasaan di Bali," jelas Riniti.
Sulit terwujudnya duet Koster-Sudikerta juga dilontarkan pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Dr Nyoman Subanda. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, kebulatan tekad keduanya untuk saling bertarung pada Pilgub nanti.
"Sudikerta sudah menegaskan tidak mau lagi menjadi wakil. Makanya dia mau jadi Bali 1. Koster juga demikian. PDIP menginginkan mengusung kader-kader, karena sebagai partai terbesar di Bali," kata Subanda.
Kedua, Koster dan Sudikerta sama-sama memimpin partai besar di Bali, dan sudah mendapat dukungan penuh dari pengurus partai masing-masing di tingkat kabupeten/Kota, termasuk kader arus bawahnya. Kelompok masyarakat juga terbelah dengan mendukung Sudikerta maupun Koster jadi Cagub.
"Dukungan itu menjadi modal keduanya untuk bertarung. Keduanya tidak ingin mencederai dukungan yang ada," ujar Subanda.
Ketiga, Koster dan Sudikerta dikenal senagai politisi yang egaliter. "Artinya mereka dekat dengan masyarakat. Mereka cukup dikenal baik oleh masyarakat," ujarnya.
Keempat, Koster dan Sudikerta memiliki modal politik dan kemampuan finansial yang relatif seimbang untuk bertarung. "Keduanya memiliki investasi politik dan sosial yang seimbang Koster sudah tiga periode jadi anggota DPR RI, terpilih dengan jumlah suara yang tinggi. Elektabikitasnya sudah dikenal di Perguruan Tinggi, Sekolah dan Banjar, karena banyak membantu memfasilitasi bantuan dari pusat.
Sudikerta juga demikian. Sebagai Wakil Gubernur Bali, ia sering turun ke tengah masyarakat untuk membawa bantuan program pemerintah, seperi bedah rumah. Ia bahkan masih punya waktu hingga tahun 2018. Dari sisi kemampuan finansial juga seimbang. Sudikerta dengan latar belakang pengusaha memiliki modal finansial. Koster juga demikian. Selama ini dia banyak membantu. Dia akan mendapat dukungan finansial untuk maju," katanya.
Hanya saja, senada dengan Riniti, keputusan DPP partainya masing-masing bisa membuyarkan peluang tarung keduanya. "Di PDIP, keputusan itu ada di tangan Megawati sepenuhnya. Walaupun sudah ada dukungan dari arus bawah, tapi Megawati bisa mengambil keputusan berbeda. Novanto (Setya Novanto, Ketua DPP Golkar) bisa saja nanti melobi Megawati soal calon Gubernur Bali. Apalagi Golkar sudah mencalonkan Jokowi sebagai Presiden," katanya.
Kendati demikian, ia sangat mengharapkan agar Koster dan Sudikerta tidak diduetkan. Selain karena keduanya memiliki beberapa modal politik yang seimbang untuk bertarung, pertarungan keduanya akan memberikan pendidikan politik dan pembelajaran demokrasi kepada masyarakat.
"Pilgub itu proses demokrasi, harus ada pelajaran politik yang dibisa didapatkan masyarakat. Jika keduanya berduet, tidak ada lagi lawan yang seimbang untuk menantangnya. Sampai sekarang belum ada calon menyaingi keduanya. Proses demokrasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak ada pembelajaran demokrasi untuk masyarakat," katanya.
Selain itu, lanjut Subanda, sangat penting keduanya untuk bertarung, sebab hasilnya akan menjadi ukuran karir politiknya masing-masing. Jadi gubernur, kata dia, bagian dari penjenjangan karir politik. Pertarungan Koster dan Sudikerta akan menjadi pertarungan karir politik kader PDIP dan kader Golkar di Bali.(OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved