Gara-gara Tanah, Dokter Ini Diancam Dibunuh

24/7/2016 15:05
Gara-gara Tanah, Dokter Ini Diancam Dibunuh
(ANTARA/ARIF FIRMANSYAH)

SEORANG dokter di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Dwi Hartadi diancam akan dibunuh oleh orang tidak dikenal melalui pesan singkat ponsel, yang diduga berlatar belakang permasalahan tanah.

Herman, kuasa hukum Dwi Hartadi, di Tanjungpinang, Minggu (24/7), mengatakan SMS bernada ancaman itu diterima kliennya Sabtu (23/7), dan langsung dilaporkan kepada pihak kepolisian.

"Ancaman itu ditujukan untuk Dwi dan keluarganya. Pengancam melayangkan SMS dengan kalimat yang mengerikan, akan menghabisi Dwi dan keluarganya dengan mudah bagaikan menepuk nyamuk," katanya.

Ia mengatakan, ada beberapa kata kunci yang dapat memperkuat dugaan SMS itu berhubungan dengan permasalahan tanah yakni harta yang direbut dan dilindungi anggota militer.

Harta yang dimaksud pengirim SMS diduga berhubungan dengan tanah. Baru-baru ini beberapa anggota militer membantu menengahi sengketa tanah antara Hartanto alias Cuncun dan Dwi. Beberapa oknum militer hadir saat Dwi bertemu dan menjelaskan kepada Edison yang mengatasnamakan Hartanto untuk menengahi konflik tanah seluas enam hektare di Desa Malang Rapat, Bintan,agar tidak meluas.

Oknum-oknum tentara itu hadir berdasarkan permintaan Dwi karena pada pertemuan sebelumnya kelompok Hartanto membawa oknum provos militer. Anggota militer itu dihadirkan setelah rapat di Koramil Kijang, tidak membuahkan hasil meski sejumlah pihak dilibatkan.

"SMS itu ditanggapi serius oleh Dwi, karena saat ini sedang hangat-hangatnya mengurusi permasalahan tanah itu," katanya.

Herman mengemukakan, tanah tersebut milik Mustaqim, pemilik PT Korindo. Dwi pernah bekerja di perusahaan tersebut sehingga dikenal dengan nama Dokter Korindo. MUstaqim adalah mantan pimpinan Dwi di Korindo.

"Sejauh ini tidak ada masalah yang dihadapi klien saya, selain permasalahan tanah yang saat ini dikuasai oleh orang yang tidak berhak menduduki tanah tersebut," ujarnya.

Herman menjelaskan Dwi membantu Said Ismed, yang mendapat kuasa dari Mustaqim untuk menguruskan tanah tersebut. Ismed sudah melaporkan kasus tanah itu kepada pihak kepolisian.

Laporan itu terkait dugaan pemalsuan surat tanah.

Selama mengikuti permasalahan itu, Herman membenarkan banyak kejanggalan pada surat milik lawan kliennya. Jika diteliti lebih mendalam pada surat kemilikan tanah milik lawan Mustaqim, ditemukan pemilik tanah usia di bawah 10 tahun sudah menggarap tanah.

Ada pula fakta pada keterangan surat tersebut bahwa orang yang belum lahir menggarap lahan tersebut. Selain itu, pada peta surat tanah dengan luas tanah tidak sama. Sebagian surat menggunakan materai, sebagian lagi pakai logo Kepri. Wilayah ini di tahun 1989 belum menjadi provinsi.

"Ada surat keterangan tanah yang terbit tahun 1989, tetapi tertulis Provinsi Kepulauan Riau. Padahal Kepri ditetapkan sebagai provinsi tahun 2002. Ditemukan pula tahun 1989 ditulis Kecamatan Gunung Kijang, padahal saat itu masih Kecamatan Bintan Timur," katanya. Surat-surat itu menerangkan bahwa lahan tersebut dibeli oleh seorang pengusaha bernama Hartanto alias Acun dan M Ardian dari Hasim, Aisyah, Salama dan Sumini. Tetapi pada 1 Juli 2016 dalam rapat mediasi di kantor desa setempat, Hasim mengaku tidak pernah membuat dan menandatangani surat-surat itu.

Kemudian pada malam harinya, Hasim, Aisya, Salama dan Sumini tinggal satu rumah dan sempat diintervensi oleh sejumlah orang untuk mencabut surat pengakuan itu. Akhirnya, permintaan itu dipenuhinya.

"Kemudian Hasim melaporkan permasalahan itu kepada kades dan membuat surat pengakuan diintervensi oleh pihak itu," katanya.

Selain surat keterangan tanah yang ditemukan banyak kejanggalan, juga ditemukan tiga sertifikat atas nama Tengku Amelia, Kristina Harahap dan Rasman BMUE. Ketiga sertifikat hak milik itu tidak terdaftar di BPN.

Ketiga surat itu dipalsukan oleh Tanjung. Tanjung sudah mengakuinya melalui surat pernyataan.

"Hasim, Aisyah, Salama dan Sumini sudah mengakui menjual lahan itu kepada Mustaqim tahun 1983. Tanah milik Mustaqim itu telah bersertifikat hak milik dan terdaftar di BPN," ujarnya.

Herman mengatakan, permasalahan tanah milik kliennya semakin rumit lantaran dikuasai oleh Ardian dan Hartanto. Bahkan di atas lahan itu sudah didirikan pondok dan pembatas lahan.

Upaya mediasi gagal dilakukan lantaran Edison, orang yang mengatasnamakan Ardian dan Hartanto bertahan di lokasi tanah itu. Pada bulan Juli terjadi perang mulut antara klien Herman dengan Edison.

"Saat pertama datang ke sana, ada oknum provos korem. Jadi kami laporkan permasalahan ini ke korem, kemudian Koramil Kijang membantu menyelesaikan masalah ini," katanya. (ANT/OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya