Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Simplifikasi Cukai Bisa Rugikan Pemerintah, Petani, dan Buruh

Wisnu Arto Subari
03/8/2020 08:00
Simplifikasi Cukai Bisa Rugikan Pemerintah, Petani, dan Buruh
Petugas Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Malang melakukan identifikasi tanaman tembakau di persawahan Desa Walitelon, Jateng.(ANTARA/ANIS EFIZUDIN )

RENCANA Penerapan Simplifikasi Penarikan Cukai tahun depan dinilai justru  merugikan pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Sebab selain akan mengurangi pendapatan negara, konsumsi rokok illegal dan murah di kalangan masyarakat justru akan meningkat. Sementara perusahaan rokok skala kecil dan menengah diprediksikan akan berguguran.

Pada saat yang sama jutaan petani tembakau dan buruh industri rokok  akan kehilangan pekerjaan. Untuk itu, jalan yang terbaik, pemerintah tetap mempertahankan tata cara penarikan cukai yang selama ini sudah berlangsung dan memenuhi target.  Hal tersebut disampaikan Pengurus  Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Sahmihudin dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Malang, Prof Dr Chadra Fajri Ananda.

Baca juga: Cukai Rokok Naik 23%, Industri Hasil Tembakau akan Kesulitan
    
“Jika simplifikasi cukai dapat mematikan industri rokok nasional dan Jika dengan cara yang lama, target penerimaan negara dari cukai rokok, tetap terpenuhi, menurut saya pemerintah sebaiknya tidak perlu melakukan simplifikasi atau penyederhanaan penarikan cukai, dari 10 tier menjadi 3 tier. Tetap pakai yang selama ini sudah berjalan dengan baik,” papar Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Chandra Fajri Anda.
    
Menurut dia rencana simplifikasi penarikan cukai hanya akan menguntungkan  perusahaan asing dan merugikan perusahaan lain, khususnya perusahaan rokok menengah dan kecil. Saat ini terdapat sekitar 500 perusahaan rokok, baik kecil  besar maupun menengah. Jika simplifikasi diterapkan, amat mungkin akan mematikah pabrik rokok kecil dan menengah.  Hanya menyisakan  sekitar tiga perusahaan rokok besar.
    
“Jika perusahaan atau pabrikan rokok hanya tersisa sekitar tiga atau empat perusahaan, jelas akan mengurangi pembelian tembakau dari para petani. Sebaliknya, pemerintah juga dirugikan karena cukai dan pajak pajak lainnya  akan semakin berkurang,” tegas Sahmihudin.

Menurut Sahmihudin, akibat kenaikan cukai rokok sangat tinggi pada 2019 lalu saja, tembakau petani  banyak yang tidak terserap. Kondisi yang sama dipastikan akan terjadi jika pemerintah menerapkan kebijakan itu.

Lebih lanjut, Ketua APTI Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menjelaskan, yang disasar dari rencana penerapan simplifikasi adalah mematikan rokok kretek. Padahal rokok kretek yang ada di Indonesia adalah warisan dan tradisi budaya nasional.
    
“Jika simplifikasi diterapkan, pabrik rokok kelas menengah dan kecil yang selama ini memproduksi rokok kretek akan mati, karena harus membayar cukai yang jauh lebih mahal. Rokok kretek yang menjadi warisan tradisi budaya nasional akan hilang, digantikan rokok putih dan rokok elektrik,” papar Sahmihudin.

Sahmihudin menjelaskan, bergugurannya perusahaan atau pabrik rokok menengah dan kecil  ditambah lagi oleh kenaikan cukai rokok setiap tahun membuat harga rokok menjadi sangat mahal. Harganya ditentukan oleh perusahaan rokok besar yang masih eksis. Jika harga rokok mahal hal ini berakibat masyarakat akan beralih ke rokok murah.

Dan jika pemerintah menaikan cukai rokok dan memberlakukan simplifikasi dengan alasan melindungi  kesehatan masyarakat. Alasan tersebut tidak tepat. Kebiasan merokok masyarakat tidak bisa dihentikan oleh mahalnya harga rokok.

“Jangan beralasan melakukan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok  untuk melindungi kesehatan masyarakat. Masih banyak makanan dan minuman yang merusak kesehatan masyarakat, itu juga harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sebaliknya, rokok elektrik yang lebih membahayakan kesehatan para perokoknya, harus mendapat perhatian pemerintah,” tegas Sahmihudin.

Menurut Sahmihudin, jika rencana kenaikan dan penerapan simplifikasi penarikan cukai rokok yang akan diterapkan tahun 2021 merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) bertujuan mematikan industri rokok nasional, maka RPJMN tersebut harus dicabut. Diiganti dengan RPJMN yang melindungi industri rokok nasional.

Hal senada disampaikan Chandra Fajri Ananda. Menurutnya, saat ini tidak mungkin pemerintah  mematikan industri rokok nasional. Sebab jutaan tenaga kerja  hidup dan bekerja  di sektor ini. Kalau dipaksa untuk  mematikan industri rokok nasional, emerintah harus siap menyediakan lapangan kerja bagi petani tembakau dan buruh rokok. Dalam kondisi resesi ekonomi seperti  saat ini, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menyediakan lapangan kerja pengganti industri rokok.

Jika  pemerintah belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja industri rokok, namun sudah mematikan industri hasil tembakau, pasti  akan mendapatkan protes bertubi tubi dari jutaan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. (Ant/A-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya