Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lulu Nur Hamidah berharap rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) direvisi. Pasalnya dengan dalih kesehatan, RPJMN tersebut dianggap memusuhi dan akan mematikan industri hasil tembakau (IHT) nasional lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
Padahal menurut dia, IHT merupakan warisan budaya nasional yang bernilai strategis. Selain memberikan sumbangan pemasukan keuangan negara yang besar juga menyerap jutaan tenaga kerja. Karena itu sudah sepantasnya dilindungi bukan dimatikan lewat simplifikasi dan kenaikan cukai.
Baca juga: Ekonomi Petani Tembakau di Ujung Tanduk
“Kami tidak setuju dengan kebijakan yang memusuhi dan mematikan industri hasil tembakau nasional. karena sudah jelas itu akan berdampak pada serapan produk tembakau yang rendah dan kemudian juga mengancam eksistensi pabrik rokok menengah dan kecil, juga tenaga kerja, petani serta buruh rokok yang ada di sektor itu. Termasuk produk turunannya yang terkait dengan industri hasil tembakau. Ini kan dampaknya akan sangat panjang bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya,” tegas Lulu Nur Hamidah kepada wartawan.
Ia menjelaskan, masalah kesehatan masyarakat tidak selalu disebabkan oleh rokok. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti lingkungan dan sanitasi yang buruk, polusi udara akibat kendaraan bermotor dan pabrik, serta faktor-faktor lain.
“Kenapa industri lain seperti industri plastik misalnya tanggung jawabnya sangat rendah untuk urusan menjaga lingkungan. Itu yang tidak diurus oleh pemerintah dan mereka itu juga seharusnya dipajaki tinggi. Tetapi ini yang terkait dengan petani (tembakau) yang selalu diobok obok,” paparnya.
Meski begitu, anggota DPR RI dari Dapil Jawa Tengah IV itu mendukung adanya regulasi yang mengatur siapa saja yang boleh dan tidak boleh merokok. Tempat yang boleh dan tidak boleh merokok. Sehingga anggota masyarakat yang tidak merokok seperti dirinya tidak terpapar asap rokok. Namun bukan peraturan yang mematikan produksi rokok baik langsung maupun lewat kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi.
Pada kesempatan tersebut, anggota DPR RI dari komisi yang membawahi masalah perkebunan Komisi IV, ini secara tegas menolak rencana Menteri Keuangan yang akan melakukan simplifikasi cukai pada 2021 sesuai PMK No. 77/02/2020. Alasannya jika kebijakan simplifikasi cukai dilakukan berdampak buruk kepada industri rokok dan kesejahteraan petani tembakau. Kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan perusahaan rokok asing. Padahal kewajiban pemerintah melindungi semua industri rokok baik skala menengah, kecil termasuk para petani tembakau.
“Dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini saya kira itu sudah baik karena dinilai mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah dan kecil," ujarnya.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB periode 2019-2024 itu memaparkan, berdasarkan hasil analisanya, kebijakan menerapkan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada beberapa hal. Pertama pabrikan kecil tidak akan mampu bertahan apabila berhadapan dengan pabrikan besar secara langsung.
“Dampak lainnya adalah, pabrikan kretek yang merupakan produk yang sangat besar dan khas dari Indonesia, warisan nusantara tidak akan mampu untuk bertahan.”
Ditambahkan Lulu, saat ini, ada sekitar 487 pabrikan rokok. Sebanyak 98% dari jumlah tersebut merupakan pabrikan menengah kecil . Jika simplifikasi diterapkan ia yakin banyak pabrikan rokok kecil dan menengah akan gulung tikar dan jutaan tenaga kerja akan kehilangan mata pencaharian.
Apabila PMK No. 077/02/2020 jadi diterapkan, otomatis serapan bahan baku yang dihasilkan para petani tembakau akan berkurang hingga 30%. Di samping itu, harga jual tembakau dari petani juga akan turun. Hal ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan petani tembakau.
Dipaparkannya, cukai rokok sudah dinaikan sebanyak 23% pada akhir 2019 lalu dan diberlakukan pada 2020. Jika tahun depan dinaikan lagi akan sangat memberatkan pelaku pabrikan menengah kecil serta petani tembakau lokal, saat semua sektor dan semua pelaku ekonomi sedang berjuang menghadapi resesi ekonomi akibat wabah covid 19.
Lebih lanjut, Lulu menjelaskan, jika pemerintah ingin mencari dana guna menutup kekurangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak seharusnya terus menerus menaikan cukai rokok yang memberatkan industri dan menyusahkan petani tembakau. Tapi bisa menarik dan menaikan sektor pajak lebih tinggi di bidang lainnya.
Penolakan terhadap rencana penerapan simplifikasi dan kenaikan cukai rokok juga dikemukakan wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang juga anggota Fraksi PKB DPR RI, Multazam ketika menerima kunjungan Pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) yang dipimpin ketua APTI Jawa Barat Suryana bulan lalu. Pada kesempatan tersebut, menurut Suryana, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI tersebut mendukung perjuangan APTI menolak rencana kebijakan simplifikasi dan kenaikan cukai tahun depan. (RO/A-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved