Kasus Dokter Fiera Bentuk Sikap Anti-Pancasila

Yose Hendra
01/6/2017 22:06
Kasus Dokter Fiera Bentuk Sikap Anti-Pancasila
(Dokter Fiera Lovita (tengah) menyampaikan kesaksian terkait intimidasi organisasi massa yang dialami dirinya di gedung LBH Jakarta, Dipenogoro, Jakarta Pusat, Kamis (1/6). MI/Susanto)

MENGHAKIMI dan mengintimidasi seseorang karena berbeda pendapat merupakan sikap yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila. Teranyar ialah apa yang dialami oleh dokter Fiera Lovita di Solok, Sumatra Barat.

Saat ini, dr Fiera bersama keluarga telah hijrah ke Jakarta dan belum diketahui pasti kapan bakal kembali ke Sumbar. Otomatis dia menginggalkan pekerjaannya sebagai dokter di RSUD Kota Solok.

Alasan kepindahan dr Fiera jelas disebabkan intimidasi dan ancaman yang dia dapatkan setelah membuat status yang dianggap menghina pemimpin organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab di akun Facebook miliknya.

"(Ke Jakarta) Kita hanya ingin menenangkan diri saja. Untuk masalah waktu (kembali lagi), belum tahu kapan," ungkap suami dr Fiera, Yudi Prasetyo, kepada Media Indonesia, dua hari lalu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Padang, Roni Saputra, mengatakan, mereka yang melakukan intimidasi terkait unggahan dr Fiera merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila. Menurut Roni, Pancasila tidak mengajarkan bagaimana masyarakat Indonesia melakukan tindakan yang di luar nalar hukum, tidak pula mengajarkan menghakimi orang lain.

Pancasila, sebutnya, mengajarkan bagaimana membangun Indonesia yang majemuk, tetapi tetap dalam bingkai kesatuan. Dia berharap, penegak hukum harus benar-benar bertindak nyata dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya.

"Indonesia itu majemuk, punya suku yang beragam-ragam, punya agama dan keyakinan yang berbeda, dan berdiri di atas UUD 1945 dan Pancasila," tukas Roni di Padang, Kamis (1/6).

Roni melihat belakangan ini memang marak terjadi tindakan yang mengatasnamakan agama tertentu yang bergerak di dunia maya, dengan menyebarkan gambar dan identitas orang yang dianggap 'menistakan ulama'. Padahal, dalam hukum yg berlaku di Indonesia tidak ada satu pasal pun yang berbicara tentang penistaan ulama.

Lalu, seperti kasus dr Fiera, yang didatangi ke alamat tempat tinggal, bahkan ke tempat kerja, lalu di-bully ramai-ramai (kalau bahasa mereka dinasihati dengan sedikit ancaman), disuruh tanda tangan pernyataan, dan dilanjutkan di-bully di dunia maya.

"Atas kejadian ini, sayangnya penegak hukum lebih banyak diam, dan bahkan ada yang berusaha menutupi kejadian itu, dengan alasan kasus selesai dan damai," terangnya.

Roni juga menyayangkan sikap Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, yang mentwit tetapi tidak pernah bertanya langsung ke korban, artinya hanya membaca dari sebelah.

Sementara itu, seiring dengan meningkatnya suhu politik dan terpolarisasinya warga, Safenet menemukan adanya persekusi terhadap orang-oang yang dilabel sebagai penista agama/ulama sejumlah 52 orang. Hanya dalam beberapa hari, Koalisi Anti Persekusi menemukan 7 orang lain sehingga jumlah saat ini bertambah menjadi 59 orang.

Persekusi tersebut yang diwarnai perburuan terindikasi sebagai perbuatan yang sistematis atau meluas. Hal ini tampak dari cepatnya proses dalam menjangkau luasnya wilayah misal ditunjukakn dalam 1 hari bisa terjadi pola yang serupa di 6 wilayah di Indonesia yang saling berjauhan.

Persekusi ini jelas mengancam demokrasi karena sekelompok orang mengambil alih negara untuk menetapkan seseorang bersalah dan melakukan penghukuman tanpa melalui proses hukum. Ketakutan yang menyebar akan menjadi teror yang melumpuhkan fungsi masyarakat sebagai ruang untuk saling berbicara, berdebat secara damai sehingga menjadi masyarakat yang dewasa dalam menyikapi perdebatan. Untuk dapat melakukan hal itu kebebasan berpendapat ialah syaratnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya