Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
HUBUNGAN dua klan keluarga itu terjadi sejak 1950-an di Lembata, Flores, Nusa Tenggara Timur. Keluarga pemeluk Islam yang menghuni wilayah pesisir dan Katolik di pegunungan Lembata itu disatukan karena pola interaksi bai breun atau kawan akrab.
Hubungan saling menguntungkan itu melampaui sekat agama, tanpa syak wasangka. Tidak diketahui persis kapan pertalian bai breun itu dimulai. Namun, hingga generasi ketiga, pertalian itu tetap terjalin.
"Saya kurang ingat kapan persisnya kami mulai bersahabat dengan keluarga suku Buran di Waikomo. Saya masih sempat lihat Bapa Nara Buran. Saat itu kami masih kecil. Waikomo sudah seperti kampung halaman sendiri," ujar Abdulah Sambi, 74.
Menurut pria kelahiran Bajo, Sulawesi Selatan, yang biasa disapa Nenek Sambi itu, ia sudah lebih dari 50 tahun tinggal dan menetap di Rayuan Kelapa, Kelurahan Lewoleba Utara, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata.
Menurut pria muslim yang berprofesi sebagai nelayan itu, ia terus memupuk silaturahim dengan bai breun-nya, keluarga suku Buran.
"Keluarga Buran di Waikomo sudah seperti keluarga sendiri. Hubungan kami tidak terhalang oleh perbedaan agama dan tidak pernah kami perdebatkan. Hanya, kepada keluarga Buran kami bilang pantang makan daging babi, anjing, sesuai dengan ajaran Islam. Jadi mereka juga mengerti ketika menjamu kami. Itu saja," tutur Abdulah.
Semula keluarga Abdulah membangun rumah panggung di atas laut. Namun, atas bantuan Pastor Deken Lembata, Eugene Schmidt, kala itu, dibangunlah sebuah rumah tinggal untuk Abdulah sekeluarga berupa rumah permanen pertama di wilayah Pantai Rayuan Kelapa.
"Saat itu saya menjadi nakhoda kapal milik misi. Saya selalu melayani kegiatan para pastor yang mau tourner ke mana-mana. Sebagai imbalannya, saya mendapat bantuan rumah dari Schmidt," ujarnya.
Matanya terlihat menerawang mengingat kembali masa ketika ia masih kuat berkarya. Hubungan bai breun dengan keluarga Buran di Waikomo pun dibenarkan Yosep Dasi Buran.
"Kami sudah anggap keluarga Kakek Sambi seperti keluarga sendiri. Hubungan kami sejak zaman kakek saya, Nara Buran. Kalau kami ada ubi, jagung, atau pisang, kami bawa sebagai buah tangan ke Kakek Sambi. Nanti kami juga dikasih buah tangan berupa ikan," ujar Yosep Dasi Buran.
Bahkan, lanjutnya, ketika mertuanya yang juga muslim meninggal dunia, ia meminta keluarga Kakek Abdulah yang memandikan dan menyalati.
Menurut anggota DPRD Lembata Bediona Philipus, bai breun terbentuk karena interaksi saling membutuhkan antara petani dan nelayan.
"Biasanya ketika berinteraksi di pasar, bai breun sudah saling memesan. Petani di Lembata yang Katolik bawa jagung, ubi, pisang, kelapa, sementara nelayan (biasanya beragama Islam), membawa ikan. Kemudian dibarter saat bertemu di pasar karena saling membutuhkan. Dalam hubungan itu, tidak ada sekat agama," ujar Bediona. (X-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved