Pengadilan tidak Bisa Kabulkan Permohonan Suntik Mati

Ferdian Ananda Majni
08/5/2017 20:16
Pengadilan tidak Bisa Kabulkan Permohonan Suntik Mati
(AFP/BRENDAN SMIALOWSKI)

TIDAK sanggup lagi membiayai hidup keluarga karena kondisi fisik yang lumpuh, seorang bapak korban tsunami Aceh memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan suntik euthanasia atau suntik mati.

Ialah Berlin Silalahi, 46, salah seorang korban penggusuran dari barak pengungsi tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Aceh, mengajukan euthanasia (suntik mati) ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, beberapa hari lalu.

Pengajuan euthanasia dilakukan, Rabu (3/5), diwakili oleh istri Berlin Silalahi, Ratnawati, 40, dan kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang diketuai Safaruddin SH.

Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), yang juga kuasa hukum Berlin Silalahi, Safaruddin, Senin (8/5), kepada Media Indonesia, mengaku, permohonan euthanasia didaftarkan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Rabu (3/5) lalu.

"Klien kami mengajukan permohonan euthanasia atas kesadaran sendiri. Klien kami mengajukan permohonan tersebut karena kondisinya mengalami lumpuh dan sakit-sakitan," kata Safaruddin.

Menurutnya, karena mengalami kelumpuhan, kliennya tidak bisa lagi menafkahi keluarga. Sedangkan istrinya hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan. Bahkan, saat ini mereka berada di Kantor YARA.

"Kami hanya bisa sebagai penasihat hukum, karena melihat kondisi seperti ini, ya apa yang harus kami lakukan, kami berikan sementara kami juga mempunyai keterbatasan," sebutnya.

Ia menambahkan, selama ini kebutuhan sehari-hari keluarga Berlin Silalahi hanya mengandalkan bantuan sesama korban tsunami di Barak Bakoy. Namun, penderitaannya bertambah ketika Pemerintah Kabupaten Aceh Besar membongkar barak pada 27 April lalu.

"Pemohon atau klien kami sudah berupaya mengobati penyakitnya. Namun, klien kami tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan biaya pengobatannya dan kebutuhan sehari-harinya. Mereka korban tsunami 26 Desember 2004 yang hingga kini belum mendapatkan rumah bantuan," jelasnya.

Safaruddin menegaskan, setelah mengetahui kondisi kliennya seperti itu, pihaknya mencoba ajukan permohonan tersebut ke PN Banda Aceh dan menunggu keputusan hakim.

"Apakah nantinya lebih baik mempertahankan kondisi rakyat yang menderita ataukah memberikan apa yang diajukan. Alasan-alasan itu nantinya kami sampaikan di pengadilan karena pengadilan mewakili negara," terangnya.

Istri Berlin, Ratnawati, menjelaskan, permohonan mengakhiri hidup dengan suntik mati itu dipilih suaminya bukan tanpa alasan. Bahkan, mereka harus merelakan seorang anaknya diasuh oleh orang lain.

"Suami saya mengeluhkan penyakitnya, bapak tidak tahan dengan penyakit yang sudah menahun dideritanya. Karena kondisi seperti ini, seorang anak saya diasuh orang lain dan satu lagi masih ikut kami," katanya.

Menurutnya, mereka pernah berobat, baik pengobatan medis maupun alternatif hingga pada 2014 lalu suaminya mengalami kelumpuhan serta kerap masuk rumah sakit.

"Suami saya sebelumnya menderita penyakit asam urat. Sudah bawa ke rumah sakit dan pengobatan kampung tapi tidak sembuh juga," tuturnya.

Saat ini, mereka dan sekitar 78 jiwa dari 18 keluarga sudah tidak punya tempat tinggal setelah digusur dari barak penampungan yang selama ini dihuni korban tsunami.

Sementara itu, pejabat humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Eddy, menyebutkan, pengadilan sudah menerima berkas permohonan yang diajukan kuasa hukum Berlin. Namun, untuk memutuskan diterima atau ditolak ialah wewenang putusan hakim.

"Terhadap gugatan, apa pun bentuknya, pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan ke pengadilan. Masalah nanti bagaimana hasilnya diterima atau tidak, itu nanti urusan hakim," jelas Eddy.

Meski demikian, hukum di Indonesia tidak dikenal dengan istilah eutanasia atau suntik mati. Bahkan, proses mengakhiri hidup sedemikian rupa hanya dikenal dan terdapat di Belanda.

"Di Indonesia tidak ada suntik mati. Yang ada di Indonesia hukuman mati yang sebelumnya divonis oleh pengadilan. Jadi hukum positif tidak mengenal suntik mati. Itu hanya ada di Belanda. Di sini belum pernah ada yang mengajukan eutanasia sebelumnya," pungkasnya.

Sedangkan kelumpuhan yang dialami Berlin, korban tsunami yang mengajukan permohonan suntik mati itu secara medis masih memungkinkan untuk disembuhkan.

Dokter Spesialis Orthopedi RSUZA Banda Aceh, Dr Azharuddin SpOt K-Spine Fics, mengatakan, secara medis masih memungkinkan untuk disembuhkan jika melakukan pengobatan secara terus menerus.

"Menanggapi sakit kelumpuhan yang dialami Berlin, korban tsunami yang mengajukan permohonan suntik mati itu jika secara medis masih bisa disembuhkan dengan pengobatan secara rutin dan bertahap," katanya.

Bahkan, Azharuddin mengaku saat ini RSUZA sudah membentuk tim yang bertugas melayani pasien yang mengalami nyeri atau peradangan seperti Berlin.

"Saya sarankan agar pasien untuk terus melakukan pengobatan. Terlebih, pengobatan sekarang ini juga sudah gratis ditanggung oleh pemerintah melalui JKN," kata Wakil Direktur Pelayanan RSUZA. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya