Nanik Penjaga Budaya Batik Tenun Gedog

Abdus Syukur
27/4/2017 17:24
Nanik Penjaga Budaya Batik Tenun Gedog
(Pekerja tengah menenun dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari bambu dan kayu. MI/Abdus Syukur)

DARI kejauhan terdengar bunyi dog-dog berkali-kali yang cukup nyaring dan mendatangkan irama yang tersendiri di telinga. Begitu didekati, ternyata bunyi dog-dog berkali-kali itu berasal dari benturan peralatan kayu dan bambu yang digunakan seorang nenek untuk menenun kain.

Nenek berumur 70-an tahun itu duduk berselonjor dengan kaki sedikit membentang, untuk menekan atau mendorong alat kayu tenun yang digunakannya agar posisinya tetap seimbang.

Sementara, dua tangan keriput Mbok Rimpi, lincah bergerak melontarkan bilah bambu seukuran pensil yang diselipi benang, menembus jajaran benang. Sebilah bambu seukuran pikulan, ditarik ke bawah dan terdengar bunyi dog-dog berkali kali. Kemudian, bambu penyanggah ditarik menyamping, terdengar bunyi luncuran serta dog.

“Biar jadinya (susunan benang pada kain tenun) rapat,” ucap Mbok Rimpi yang menenun sejak gadis saat ditemui di Tuban, Kamis (27/4).

Mengasyikkan dan betah menunggui Mbok Rimpi menyusun benang hingga menjadi kain tenun. Karena dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran yang tinggi hingga dihasilkan kain tenun sepanjang 3 meter dengan lebar kurang dari 1 meter.

Karena prosesnya yang rumit dan butuh ketelatenan itu, untuk menenun kain berukuran sekitar 80 hingga 90 centimeter (cm) dan panjang 3 meter, pengerjaannya butuh waktu antara 15 hingga 20 hari.

“Paling cepat sehari hanya dapat segini (sekitar 20 cm),” ucap Mbok Rimpi tunjukkan ukuran tangan.

Itulah di antara proses batik gedog khas Tuban, dan ternyata kata gedog berasal dari benturan atau tumbukan alat-alat kayu yang digunakan untuk menenunnya.

“Disebut batik gedog karena bunyi dog-dog dari bilah bambu yang membentur kemplungan (dasar alat tenun). Bukan hanya sekedar kain yang dibatik. Kainnya dari hasil tenun tangan tradisional, selanjutnya baru dibatik,” kata Nanik Nandiana Ningsih, Koordinator Kelompok UKM Melati Mekar Mandiri Batik Gedog di Dusun Kajoran, Kecamatan Kerek, Tuban.

Dalam pembuatan batik gedog ini, Nanik memegang kuat budaya masyarakat di tempatnya. Seluruh proses dilakukan secara tradisional, bahkan bahan baku kapas, adalah hasil penanaman masyarakat setempat dan dilanjutkan pemintalan benang. Pewarnaan batik juga gunakan bahan alami.

“Pewarnanya juga alami, terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Seperti mahoni dan lainnya. Karena pada intinya, semua warna tumbuhan bisa digunakan untuk pewarnaan batik,” imbuh Nanik.

Upaya Nanik dan lebih dari 50 anggotanya dalam menjaga budaya leluhur, membuat PT Semen Gresik (SG) Tuban bersimpati membantunya. Mulai dari bantuan pemasaran melalui pameran-pameran, berbagai pelatihan, sertifikat hak atas kekayaan inteletual (Haki), hingga bantuan modal dialirkan.

“Saya dan para anggota bersyukur dan menyampaikan terima kasih kepada PT SG Tuban. Bantuan pemasaran dan pameran-pameran, membuat batik tenun gedog makin dikenal. Berbagai pelatihan untuk memberdayakan kami dan masyarakat juga terus dilakukan. Apalagi untuk modal, itu juga pasti,” ujar Nanik enggan sebut nominal.

Berkat bantuan PT SG Tuban itu, omzet penjualan Nanik dan seluruh kelompoknya, rata-rata setiap bulan minimal mencapai Rp80 juta. Bahkan jika ada ajakan untuk ikut pamaeran dan promosi dari PT SG Tuban, penjualan bisa mencapai Rp200 juta.

Nanik berharap, bantuan PT SG Tuban tidak berhenti dan akan terus dilakukan, terutama dalam pemberdayaan masyarakat lebih luas. Terutama dalam mewujudkan lingkungannya sebagai dusun atau desa wisata, karena memiliki budaya yang harus dipertahankan.

Keinginan itu berawal dari banyaknya orang yang berkunjung ke tempatnya untuk belajar dan menyaksikan lebih dekat proses pembuatan batik tenun gedog. Bahkan mereka rela bermalam beberapa hari dan terpaksa untuk bermalam dititipkan di rumah-rumah warga yang lain.

Agar pengunjung makin betah, lingkungan Dusun Kajoran perlu dibuat indah. Semisal dengan mengajak seluruh warga menanam kapas di pot-pot bunga, minimal 10 pot. Selain lingkungan makin indah, kapas yang ditanam hasil panenannya juga bisa menjadi tambahan penghasilan warga.

“Dari 10 pot tanaman, bisa hasilkan 5 kilogram kapas dan bisa dijual untuk tambahan kebutuhan rumah tangga. Apalagi jika punya waktu luang, kapasnya bisa dipintal sendiri jadi benang, hasilnya tambah besar. Ini menjaga budaya dan pemberdayaan masyarakat yang konkret, perekonomian makin kuat,” pungkas Nanik. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya