Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
SEPERTI biasa di pagi buta, api sudah berkobar di tungku pembakar. Sejurus kemudian potongan besi baja itu dibakar di perapian. Tampak besi baja itu berwarna merah menyala dari hasil pembakaran yang kemudian ditempa dengan palu besi. Kegiatan menempa besi seperti itulah yang dilakoni pasangan suami istri Masrum, 50 dan Sriyati, 48 warga Desa Kedaton, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur selama bertahun-tahun. Sehari-hari mereka membuat potongan besi menjadi sabit dan cangkul. Pasangan suami istri ini memiliki beberapa anak lelaki, tetapi semuanya tidak berminat sebagai pande besi. "Sebagai pande besi itu gantungan hidup kami sekeluarga," terang Sriyati, mengawali perbincangan dengan Media Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurutnya pekerjaan yang dilakoninya itu dahulu tabu. "Tapi saya terpaksa melakukannya karena kebutuhan hidup tidak bisa dikesampingkan. Lupakan soal tabu," tambahnya. Dalam sehari, pasangan suami istri ini mampu membuat sabit 25 bilah. Pasangan suami istri ini merupakan satu dari 25 perajin besi yang tersisa di Desa Kedaton. Desa tersebut dikenal sebagai kampung pande besi karena masyarakatnya secara turun temurun bekerja sebagai penempa besi untuk dijadikan alat-alat pertanian. Kerajinan tangan yang dihasilkannya dijual cukup murah, antara Rp15 ribu hingga Rp90 ribu per bilah. Untuk sabit misalnya dijual antara Rp15 ribu-Rp30 ribu per bilah.
Untuk bendo (parang) dijual Rp40 ribu-Rp50 ribu per bilah. Sedangkan mata cangkul dijual dengan harga Rp80 ribu hingga Rp90 ribu. Bila memasuki musim tanam, banyak petani yang berdatangan ke Kedaton untuk memesan cangkul dan sabit, termasuk memperbaiki alat pertanian. Namun musim tanam kali ini berbeda dengan dahulu. "Sekarang tidak sama lagi dengan dahulu. Sekarang lebih sedikit orang memesan sabit atau cangkul. Penghasilan kami juga semakin berkurang," terang Masrum. Berkurangnya jumlah pesanan alat pertanian terbuat dari besi ini, dikarenakan perkembangan teknologi yang menyebabkan alat-alat itu tidak dipakai lagi. Selain itu membanjirnya alat pertanian produksi pabrik, bahkan dari China merajalela di pasaran.
"Harga jual peralatan pertanian dari China lebih murah daripada produk buatan kami. Ini meresahkan kami," kata Kunasit, 45 perajin besi lainnya. Tingginya harga produksi alat pertanian lokal ini karena harga bahan baku utama yakni besi masih mahal antara Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per kg. Perajin masih harus mengeluarkan biaya untuk peralatan pendukung lainnya yang seluruhnya dioperasikan dengan tenaga listrik. Mereka hanya memproduksi saat ramai pesanan. Sementara kebutuhan untuk makan termasuk membayar listrik tidak sebanding dengan pemasukan. Tidak menentunya masa depan para pande besi inilah yang juga memicu terus berkurangnya jumlah pande besi di Kedaton. "Kami akan bertahan sampai akhir," pungkas Kunasit.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved